Suasana Hari Raya Idul Fitri yang harusnya menjadi momen berkumpul bersama keluarga tak sepenuhnya dirasakan oleh Sahreni (60). Di tengah riuhnya silaturahmi dan hidangan lebaran, perempuan paruh baya ini tetap bekerja sebagai penyapu jalan.
Pemandangan Sahreni menyapu jalanan di sekitar taman depan Pelabuhan Malundung pada hari yang seharusnya menjadi momen libur ini, tentu mengundang tanya.
Ketika ditanya mengapa memilih bekerja daripada berkumpul dengan keluarga, Sahreni menjawab dengan senyum tipis. "Sudah kemarin hari raya," jawabnya merangkum sebuah dedikasi dan tanggung jawab yang besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sahreni mengaku, keputusannya untuk tetap bekerja di hari raya adalah inisiatifnya sendiri."Selain itu, rasa tanggung jawab yang memaksa saya untuk membersihkan area tugas," ujarnya saat ditemui detikcom di sela-sela pekerjaannya, Selasa (1/4/2025).
Ia menjelaskan, meskipun tanggal merah, pekerjaan lembur tetap tersedia bagi para pekerja jalanan. Bahkan, upah yang didapatkan jauh lebih besar.
Jika di hari biasa ia menerima bayaran sekitar Rp 50-60 ribu, maka di hari raya, ia bisa mengantongi Rp 100 ribu untuk waktu kerja yang relatif singkat, hanya 1-3 jam.
Di balik keteguhannya bekerja, tersimpan kisah pilu seorang janda yang harus berjuang menghidupi diri dan seorang anaknya yang juga berstatus janda.
Lakoni Penyapu Jalanan Gantikan Suami yang Meninggal
Pekerjaan sebagai penyapu jalanan ini baru ia lakoni sekitar dua tahun terakhir, menggantikan peran sang suami yang telah meninggal dunia.
"Saya dan anak sama-sama janda," ucapnya dengan nada lirih.
Alasan lain yang mendorong Sahreni untuk tetap bekerja di hari raya adalah rasa takut akan teguran jika area kerjanya tidak bersih.
![]() |
Ia menyadari betul pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, apalagi di momen perayaan seperti ini. Sambil menyeka peluh di dahinya, Sahreni mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki banyak pilihan selain menjadi penyapu jalanan.
"Apa yang aku makan kalau tidak ada kerjaanmu," katanya dengan nada pasrah.
Meski demikian, ia bersyukur memiliki BPJS Kesehatan yang bisa menanggung biaya pengobatan jika ia sakit.
Namun, ketika ditanya mengenai gaji dan perhatian pemerintah, mata Sahreni berkaca-kaca. Ia menceritakan bahwa sejak suaminya meninggal, ia harus mengontrak rumah dan berusaha membangun rumah seadanya.
Dengan gaji sekitar Rp 1.700.000 per bulan, ia harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar kontrakan.
"Cukup tidak cukup, yang penting ada buat saya makan," ujarnya dengan suara bergetar.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai perhatian pemerintah, Sahreni hanya terdiam, tampak enggan untuk berbicara banyak.
Namun, air mata yang tiba-tiba menetes dari sudut matanya, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut.
"Semenjak suami saya meninggal, aku lah yang ganti," tuturnya sambil terisak, menggambarkan beratnya beban hidup yang harus ia tanggung.
(mud/mud)