Pernyataan Lengkap Sultan Jogja soal Pak Lurah Tak Usah Ikut Kampanye

Adji G Rinepta - detikJogja
Senin, 30 Okt 2023 15:06 WIB
Sapa Aruh Sultan HB X dalam acara Jogja Nyawiji ing Pesta Demokrasi yang digelar di Monumen Jogja Kembali, Sleman, Sabtu (28/10/2023). Foto: Adji G Rinepta/detikJogja
Jogja -

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan wejangan dan arahan atau Sapa Aruh kepada Lurah dan Pamong Kalurahan se-DIY. Dalam arahan itu, Sultan juga meminta agar Lurah tidak ikut kampanye demi menjaga netralitas Kalurahan jelang Pemilu 2024.

Sapa Aruh Sultan tersebut disampaikan dalam acara bertajuk Jogja Nyawiji ing Pesta Demokrasi yang digelar pada Sabtu (28/10/2023) di Monumen Jogja Kembali, Sleman. Acara tersebut diinisiasi oleh paguyuban Lurah dan Pamong Kalurahan se-DIY, Nayantaka.

"Pak Lurah melu kampanye, ora usah (Pak Lurah nggak usah ikut kampanye)," kata Sultan.

Sultan pun meminta Lurah untuk netral agar bisa mengkondisikan wilayahnya. Hal ini agar tidak membuat masyarakat terpolarisasi dengan pilihannya di Pemilu 2024.

"Perkara dirinya (Lurah dan Pamong) punya hak untuk menentukan pilihan politiknya, silakan. Tapi ora usah melu kampanye," terang Sultan.

Adapun secara garis besar, Sapa Aruh Sultan mengingatkan kepada Lurah dan Pamong Kalurahan untuk menjaga integritas dan netralitas jelang dan pada saat Pemilu 2024. Simak pernyataan lengkap Sultan tentang Lurah dan Pamong Kalurahan tak usah ikut kampanye demi menjaga netralitas di bawah ini.

Berikut Isi Lengkap Sapa Aruh Sultan

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Semoga kedamaian, keberkahan, dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menyertai kita semua,

Saudaraku semua yang saya hormati, yang hadir dalam kesempatan ini. Marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Suci, Allah SWT, agar kita senantiasa dalam lindungan-Nya.

Diiringi untaian doa, semoga momentum ini, dapat menjadi awal aksi nyata, untuk menyambut pesta demokrasi Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta, seiring ikhlas ikhtiar 'Jogja Nyawiji ing Pesta Demokrasi'.

Saudara-saudaraku semuanya. Kita belum bisa membayangkan, akan seperti apa maraknya greget saut kegaduhan selama masa kampanye nanti. Apakah juga masih marak perang baliho, pamflet, spanduk, dan iklan, juga ditingkahi oleh riuhnya pidato politik, dan pembacaan puisi untuk menyerang lawan?

Demikian juga, masihkah terdengar suara keras teriakan yel-yel, yang berakhir dengan joget bersama, dan konvoi peserta kampanye, yang dalam praktiknya telah melahirkan gesekan sosial.

Tak beda di dunia maya, dapat dipastikan fenomena Undhaking Pawarta, Sudaning Kiriman akan mewarnai sirkulasi informasi kita. Seiring berkembangnya teknologi, media sosial pun kerap menjadi kubangan pergunjingan sosial, seiring kemampuannya menjadi alat yang ampuh, sebagai senjata dalam pertarungan politik.

Kondisi itulah, yang dikhawatirkan akan mempertajam polarisasi masyarakat. Dalam polarisasi, proses komunikasi semacam itu, tidak punya niat pada keinginan untuk berunding, malah cenderung menjadi etalase ego pribadi, di mana seorang amatir pun dapat bertingkah layaknya politisi atau ahli.

Sudah bukan rahasia, berita di media sosial kerap dijadikan alat konfirmasi keyakinan bagi masing-masing kubu, yang terlanjur berlumur kebenaran versinya sendiri. Di era Post-Truth inilah, fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya.

Oleh karenanya, penting mewaspadai potensi bahaya dari polarisasi. Perlu ada pemahaman bersama, bahwa beda pandangan politik sah-sah saja, namun kedewasaan berpikir mutlak diperlukan. Karena ada kekhawatiran soal keIndonesiaan kita, seiring lunturnya persaudaraan, dan luruhnya Indonesia sebagai rumah bersama, hanya karena kontestasi politik semata.

Saudara-saudaraku,
Pemilu Serentak 2024, tidak semata-mata digelar untuk mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden, serta kursi-kursi Dewan Yang Terhormat. Tetapi selain proses pembelajaran politik untuk mendewasakan berdemokrasi, juga titik tolak awal estafet kepemimpinan menuju Indonesia yang sejahtera, berkeadilan dan bermartabat.

Untuk itu, gareget "Jogja Nyawiji ing Pesta Demokrasi", diharapkan menjadi pemantik kohesi, yang mampu melindungi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dari destruksi sosial-politik.

Patutlah kita berkaca pada sejarah perjalanan bangsa, serta kembali mengingat betapa besar peran Yogyakarta, dalam merajut peradaban demokrasi Indonesia.

Bukankah Pemilu Lokal tahun 1951, yang diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX, telah nyata menjadi guru sekaligus tonggak demokrasi di Indonesia?

Pemilu lokal tahun 1951 itu, bahkan telah melibatkan masyarakat, di tengah bangunan sistem kerajaan yang dianut Yogyakarta. Dan faktanya, hasil pemilu tersebut, dijadikan sebagai parameter untuk penyelenggaraan pemilu pertama Indonesia tahun 1955.

Saudara-saudaraku sekalian,
Seiring semangat "Jogja Nyawiji ing Pesta Demokrasi", inilah tugas lurah dan pamong, yang tergabung dalam Paguyuban Lurah dan Pamong Kalurahan se-Daerah Istimewa Yogyakarta, Nayantaka. Untuk menjadi kekuatan moral, turut meredam konflik emosional, mengajak masyarakat serta memberdayakan Jagawarga, untuk menjaga pesta demokrasi dengan mengedepankan nurani, nalar, dan akal sehat.

Semua hanya bisa terlaksana, apabila lurah dan pamong mengedepankan sikap netral, mengedepankan kondusifitas dan kohesi sosial.

Harapan saya adalah, agar rakyat tidak terkotak-kotak hanya karena berbeda calon dan aspirasi. Apalagi hujat-menghujat dan bermusuhan, karena berada di pihak yang berbeda kubu dan partai. Masyarakat menginginkan kemajuan dan kemartabatan bangsa, bukan menjadikan Pemilu sekadar ajang perebutan kekuasaan semata.

Selengkapnya pesan Sultan agar Pak Lurah tak usah ikut kampanye.




(ams/ahr)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork