Di balik kebun tebu dan hamparan lahan urug di Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, tersimpan fragmen masa lalu yang menceritakan peradaban besar di Jawa Timur (Jatim). Candi Tondowongso menghadirkan bukti arkeologis berupa struktur bata, gugus candi, dan puluhan arca.
Hal ini menegaskan jejak kebudayaan klasik Jawa yang sering dikaitkan dengan kerangka sejarah Kerajaan Kadiri dan masa-masa sebelumnya. Temuan ini memancing serangkaian survei dan ekskavasi yang kemudian menjadi bahan studi ilmiah oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Arkeologi.
Hasil penelitian lapangan menempatkan Tondowongso pada rentang kronologi sekitar akhir abad X sampai awal abad XI Masehi, berdasarkan analisis Carbon-14 dan perbandingan gaya arca-arsitekturnya dengan situs-situs sezaman seperti Candi Gurah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, lapisan tanah di lokasi menunjukkan jejak berulang dari material vulkanis Gunung Kelud yang menimbun situs hingga beberapa meter, satu dari banyak faktor yang menjelaskan kondisi candi yang kini sebagian rusak dan tertimbun.
Penemuan Awal Situs
Dilansir dari buku Repositori Kemendikdasmen berjudul "Situs Tondowongso" yang ditulis Sugeng Riyanto, jejak sejarah penemuan Situs Tondowongso bermula secara tidak sengaja pada akhir tahun 2006 di Dusun Tondowongso dan Dusun Sumberpetung, Desa Gayam, Kecamatan Gurah.
Saat itu, warga setempat sedang melakukan aktivitas penggalian tanah untuk kebutuhan tanah urug. Pada tahap awal ini, para penambang tanah menemukan dua bujuran struktur bata kuno yang berorientasi timur-barat dan utara-selatan.
Eskalasi temuan baru terjadi sebulan kemudian, tepatnya pada Januari 2007, ketika warga menemukan sejumlah arca bercorak Hindu. Arca-arca tersebut meliputi Brahma (Siwa Catur Muka), Durga, Nandi, dan Yoni.
Yang kemudian disusul penemuan arca Candra, Surya, Agastya, hingga Nandiswara. Seluruh benda bersejarah ini ditemukan terkubur di dalam materi vulkanik pada kedalaman antara satu hingga tiga meter.
Merespons temuan ini, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim melakukan ekskavasi penyelamatan pada tahun yang sama. Upaya ini menampakkan gugus bangunan candi yang terdiri atas satu bangunan induk dan tiga bangunan perwara, serta bagian pagar gugus bangunan candi dan struktur gapura di sisi barat.
Sejarah penemuan situs ini terus berkembang beberapa tahun kemudian. Pada akhir September 2012, aktivitas penambangan pasir di lahan milik warga di sebelah barat sungai kembali menyingkap struktur bata sepanjang 6 meter yang diyakini sebagai pagar kompleks sisi barat.
Temuan ini mengubah dugaan luas area situs menjadi jauh lebih besar dari perkiraan semula. Konteks penemuan ini sering dikaitkan dengan Candi Gurah yang berjarak hanya 200 meter di selatannya, yang telah lebih dulu ditemukan pada tahun 1957, warga yang sedang menggali sumur.
Lokasi penemuan Situs Tondowongso Foto: Perpustakaan Digital Budaya Indonesia |
Arsitektur dan Koleksi Arca
Secara arsitektural, Candi Tondowongso dibangun dari bata besar dan menampilkan pola tata ruang yang khas. Candi induk berukuran sekitar 8 x 8 meter, ditemani tiga perwara di depan, serta pagar keliling yang pada satu sisi membentuk gapura.
Ketebalan dinding pagar yang terdeteksi mencapai 170 cm, memberi indikasi struktur pelindung yang kokoh dan kemungkinan fungsi kompleks yang lebih luas dari sekadar kuil kecil. Candi Tondowongso menyimpan koleksi arca yang bersejarah dan menarik untuk dipelajari, antara lain sebagai berikut.
Brahma
Brahma ini digambarkan duduk sila di atas padmasana ganda. Bertangan empat, kedua tangan depan masing-masing diletakkan di atas lutut. Arca ini dibuat dari batu dan berukuran tinggi keseluruhan 82 cm, tinggi arca 65 cm, lebar 53 cm, dan tebal 40 cm.
Keadaan arca tidak utuh, pada lutut dan bagian bahu sebelah kiri, pipi kiri kepala arca pecah, raut muka bagian belakang tampak seperti belum selesai dikerjakan. Alis hanya berupa goresan, mata agak terbuka, hidung mancung dan bibir tertutup. Sandaran arca berbentuk persegi hingga bahu.
Candra
Candra atau dewa bulan dianggap sebagai lambang kesuburan. Di dalam mitologi diceritakan bahwa Candra dihubungkan dengan Soma dalam pengadukan air susu/amerta. Arca Candra di Situs Tondowongso ini ada dua buah.
Salah satu di antaranya terletak di dekat arca SuryΔ dan Nandi, dan yang lain terletak di dinding pagar keliling sebelah timur. Ukuran arca yang dapat diketahui, tinggi keseluruhan 80 cm, tinggi arca 60 cm, lebar 48 cm, tebal 19 cm.
Surya
SΕ«rya yang juga dikenal dengan nama dewa matahari yang dalam kitab Weda disebut sebagai sumber panas dan sinar. Seringkali SΕ«rya disamakan dengan Sawitri atau Aditya.
Di India, SΕ«rya dipuja sebagai dewa kesuburan yang diberi lambang swastika sebagai prototipe cakra atau roda. Tokoh ini mempunyai ukuran tinggi keseluruhan 75 cm, tinggi lapik 14 cm, lebar 47 cm, dan tebal 30 cm.
Nandi
Arca Nandi yang terletak dekat arca Candra dan SΕ«rya digambarkan duduk dengan kedua kaki bagian depan dilipat ke belakang di atas lapik padma ganda. Tanduk berdiri agak ke belakang dan daun telinga berbentuk agak bulat.
Kepala tegak ke depan dan mata terbuka. Ekor terlipat ke depan dengan ujung rambut ekor mengarah ke atas menempel di paha sebelah kanan. Nandi ini dibuat dari batu andesit dan berukuran panjang 87 cm, lebar 40 cm dan tinggi 42 cm.
Yoni
Yoni di Tondowongso ini ditemukan di dalam suatu bilik yang dibuat dari batu putih dan penggarapannya sangat rapih dan halus sekali. Cerat Yoni menghadap ke timur dan di bawah cerat terdapat hiasan kepala naga. Yoni ini berukuran tinggi 28 cm dan panjang sisi-sisinya berukuran 31 x 31 cm.
Jejak Kerajaan Kadiri
Situs Tondowongso merupakan bukti fisik monumental yang merekam jejak peradaban Wangsa Isana, khususnya pada masa Kerajaan Kadiri di Jawa Timur. Dikutip dari buku berjudul "Tondowongso Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi", berdasarkan analisis carbon dating yang menunjuk angka tahun 1006 Masehi serta gaya arsitekturnya, situs ini diyakini telah ada sejak masa akhir pemerintahan Dharmawangsa Tguh atau awal Airlangga.
Situs ini terus difungsikan serta dikembangkan hingga masa kejayaan Kerajaan Kadiri pada abad ke-11 hingga ke-12 Masehi. Keberadaan situs ini sangat penting karena mengisi kekosongan data arkeologis (archaeological blank) pada masa peralihan kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Secara geografis, situs ini terletak sangat strategis di Desa Gayam, Kecamatan Gurah, yang berjarak hanya sekitar 12 km dari Daha, ibukota Kerajaan Kadiri, sehingga sangat mungkin situs ini berada di bawah naungan langsung kerajaan tersebut.
Jejak kebesaran Kadiri di situs ini terlihat jelas dari kompleksitas bangunan dan kualitas seni pahatnya yang tinggi. Tondowongso bukan sekadar candi tunggal, melainkan kompleks permukiman keagamaan (mandala) yang luas, diperkirakan mencapai 1 hektare lebih jika diintegrasikan dengan temuan Candi Gurah dan Gapura Ponijo di sekitarnya.
Kompleks ini memiliki pagar keliling yang masif, gapura, candi induk, dan perwara dengan latar belakang agama Hindu Siwaisme, yang merupakan agama dominan pada masa Kadiri.
Temuan arca-arca seperti Brahma, Surya, Candra, dan Nandi yang digarap sangat halus menunjukkan kualitas seni yang tinggi (raya), sepadan dengan pencapaian masa keemasan kesusastraan yang terjadi pada era Kadiri. Kemiripan gaya seni dan arsitektur dengan Candi Gurah semakin memperkuat dugaan bahwa keduanya berasal dari periode yang sama.
Riwayat situs ini berakhir seiring dengan surutnya kekuasaan Kerajaan Kadiri akibat dinamika politik dan bencana alam. Runtuhnya Kadiri setelah serangan Ken Arok dari Singhasari pada tahun 1222 Masehi menyebabkan perpindahan pusat peradaban dari Daha ke Tumapel, yang berdampak pada ditinggalkannya kompleks keagamaan ini karena kehilangan patronase kerajaan.
Setelah ditinggalkan dan tidak terawat, kondisi fisik situs semakin diperparah faktor alam, terutama letusan Gunung Kelud dan banjir lahar yang terjadi berulang kali, termasuk letusan besar pada era Majapahit tahun 1334 Masehi, yang akhirnya mengubur jejak peradaban ini di bawah material vulkanik sedalam beberapa meter.
Dengan dokumentasi lapangan dan publikasi ilmiah yang kini tersedia, Tondowongso memperkaya khazanah arkeologi Jawa Timur dan menegaskan kembali pentingnya pendekatan terpadu antara bukti lapangan, penanggalan ilmiah, dan studi tipologi.
Temuan ini tidak hanya menambah data kronologis, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang dinamika budaya dan religius di wilayah yang pernah menjadi bagian dari jaringan kekuasaan Kadiri.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)












































Lokasi penemuan Situs Tondowongso Foto: Perpustakaan Digital Budaya Indonesia