Terbentang gagah di antara dua sisi tebing curam, Jembatan Gladak Perak bukan sekadar penghubung jalan raya di selatan Jawa Timur. Bagi siapapun yang melintasinya, jembatan ini menyuguhkan pemandangan memukau sekaligus menggetarkan.
Sebuah struktur beton dan baja yang "melayang" di atas aliran sungai lahar dingin Gunung Semeru yang legendaris. Kabut tipis yang kerap turun menyelimuti kawasan ini seolah menyimpan rapat ribuan cerita dari masa lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di balik pesona visualnya yang kini menjadi ikon kebanggaan Kabupaten Lumajang, tersimpan lapisan sejarah yang berdarah dan heroik. Jembatan ini adalah saksi bisu dari ambisi kolonial Belanda menaklukkan alam liar demi hasil bumi, jeritan para pekerja paksa yang bertaruh nyawa.
Hingga dentuman bahan peledak para pejuang kemerdekaan yang rela memutus akses vital ini demi kedaulatan bangsa. Artikel ini akan mengajak detikers menapak tilas perjalanan panjang Gladak Perak, sebuah monumen infrastruktur yang berdiri di atas pondasi sejarah dan pengorbanan.
Jejak Sejarah Jembatan Gladak Perak
Keberadaan Jembatan Gladak Perak tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda di Jawa Timur pada awal abad ke-20. Pada masa itu, wilayah Lumajang (yang secara administratif berada di bawah Keresidenan Probolinggo) merupakan sentra produksi perkebunan yang vital.
Wilayah ini menghasilkan komoditas seperti tembakau, gula, dan teh. Demi kelancaran distribusi hasil bumi ini, pemerintah kolonial merancang pembangunan infrastruktur jalan raya dan jembatan secara masif, termasuk rencana jalur lintas selatan yang menghubungkan Malang dan Lumajang.
Foto udara kondisi jembatan Geladak Perak, Lumajang, Jawa Timur Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya |
Proses pembangunan jembatan ini dimulai sekitar tahun 1925 dan memakan waktu yang sangat lama, yakni hampir 15 tahun hingga rampung pada tahun 1940. Lamanya pengerjaan ini disebabkan medan yang sangat ekstrem.
Jembatan harus melintasi aliran Sungai Besuksat yang merupakan jalur lahar Gunung Semeru dengan jurang yang sangat curam. Dengan panjang sekitar 100 meter dan lebar 3 meter, jembatan berangka besi dan beralaskan beton ini dibangun menggunakan peralatan yang masih sederhana.
Jembatan Gladak Perak memiliki peran krusial sebagai satu-satunya akses penghubung kedua wilayah tersebut. Di balik kemegahan konstruksinya, tersimpan kisah pilu dari memori kolektif masyarakat setempat.
Berdasarkan penuturan juru kunci, pembangunan jembatan ini melibatkan kerja paksa yang menelan banyak korban jiwa akibat terjatuh ke dalam jurang. Nama "Gladak Perak" sendiri memiliki makna historis.
"Gladak" berarti bangunan atau jembatan, sementara "Perak" merujuk pada besarnya biaya pembangunan yang menggunakan mata uang perak pada masa itu. Fungsi jembatan ini berubah drastis ketika memasuki masa Revolusi Kemerdekaan sekitar tahun 1947.
Saat itu, pasukan Belanda dan Sekutu berupaya masuk kembali ke Lumajang melalui jalur selatan dari arah Malang. Namun, pergerakan mereka terhambat di kawasan Candipuro berkat perlawanan sengit dari pasukan khusus Corp Zeni Pioner 22.
Pasukan yang awalnya dipimpin oleh Letnan Satu Imam Soekarto (yang kemudian gugur) dan dilanjutkan oleh Letnan Mariakup ini, menerapkan strategi bumi hangus untuk menghambat laju musuh.
Aliran sungai di Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur Foto: Antara Foto/Eri |
Puncak dari strategi pertahanan tersebut adalah keputusan taktis untuk menghancurkan Jembatan Gladak Perak pada tahun 1947. Sebagai satu-satunya akses penghubung, pemutusan jembatan ini memberikan dampak yang sangat signifikan bagi perjuangan rakyat.
Langkah ini berhasil menghambat mobilisasi pasukan Belanda memasuki wilayah Lumajang, sekaligus memberikan waktu berharga bagi para tentara gerilya untuk menyusun kekuatan dan berlindung di area hutan serta pegunungan. Kini, Jembatan Gladak Perak bukan sekadar infrastruktur, melainkan saksi bisu sejarah heroik.
Ia merekam ambisi kolonial dalam mengeruk kekayaan alam, penderitaan rakyat dalam kerja paksa, hingga keberanian pejuang Corp Zeni Pioner yang rela menghancurkan akses vital demi mempertahankan kedaulatan wilayah dari cengkeraman penjajah kembali.
Daya Tarik Wisata
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Lumajang, Jembatan Gladak Perak tercatat sebagai Cagar Budaya yang dipelihara tahun 2020 di Kabupaten Lumajang. Status tersebut memberikan potensi tinggi Jembatan Gladak Perak untuk menjadi salah satu objek wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Daya tarik utama Jembatan Gladak Perak terletak pada nilai sejarahnya yang kental sebagai situs cagar budaya. Jembatan yang dibangun sejak masa kolonial Belanda tahun 1925 ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan monumen hidup yang merekam perjalanan bangsa.
Arsitekturnya yang klasik dengan konstruksi baja dan beton tua menawarkan nuansa nostalgia khas (vintage). Lebih dari itu, jembatan ini memiliki nilai patriotisme yang tinggi karena pernah menjadi medan pertempuran sengit antara pasukan Corp Zeni Pioner Lumajang melawan agresi militer Belanda pada tahun 1947.
Foto udara kondisi jembatan Geladak Perak, Lumajang, Jawa Timur Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya |
Selain sisi historis, Jembatan Gladak Perak dianugerahi keindahan alam yang memukau karena letaknya yang strategis di kaki Gunung Semeru. Pengunjung disuguhi pemandangan dramatis berupa aliran sungai jalur lahar dingin, tebing-tebing curam di sisi barat, serta hamparan dataran rendah di sisi timur.
Udara pegunungan yang sejuk menambah kenyamanan, menjadikan lokasi ini tempat yang ideal untuk menikmati panorama alam yang asri. Namun, perlu digarisbawahi bahwa Jembatan Gladak Perak berada di jalur lahar Gunung Semeru dengan jurang yang cukup curam.
Gunung Semeru juga masih aktif memuntahkan material abu vulkanik yang membuat jalanan licin dan berbahaya untuk kendaraan melintas. Jika ingin menikmati keindahan dan mendalami sejarahnya, jangan lupa pantau keadaan melalui laman resmi yang memberikan informasi keadaan terkini sekitar Jembatan Gladak Perak.
Dengan memahami kisah di balik kokohnya pilar-pilar jembatan, tidak hanya menjadi wisatawan yang menikmati pemandangan, tetapi peziarah sejarah yang menghargai setiap tetes keringat dan darah yang pernah tumpah di tanah ini. Gladak Perak akan tetap berdiri, membelah sungai lahar, dan terus bercerita.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)














































