Tanggal 3 April akan selalu diingat oleh penggemar Persebaya Surabaya, Bonek. Di tanggal inilah Eri Irianto mengembuskan napas terakhirnya usai memperkuat Bajul Ijo.
Eri saat itu tengah berada di puncak kariernya. Usianya masih 26 tahun. Si pemilik tendangan geledek itu memberikan dampak yang signifikan di lini tengah Persebaya.
Namun takdir berkata lain, Rabu, April 2024 atau tepat 24 tahun yang lalu Eri pergi untuk selamanya. Ini setelah ia terlibat benturan dengan pemain lawan saat Persebaya menjamu PSIM Yogyakarta di Liga Indonesia 1999/2000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertandingan kala itu dihelat di Stadion Tambaksari, Surabaya, sore hari. Laga berlangsung sebagaimana mestinya. Sampai akhirnya terjadi benturan antara Eri dan pemain PSIM asal Gabon, Samson Noujine Kinga.
Akibat benturan tersebut, Eri pun tidak bisa melanjutkan pertandingan dan minta diganti. Nova Arianto masuk menggantikan pria asal Sidoarjo itu.
Eri lantas dibawa ke RSU dr Soetomo. Setelah menjalani berbagai perawatan, Eri akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Tidak ada yang menyangka benturan itu membuat Eri kehilangan nyawanya.
"Berbenturan. Ya saya main di pertandingan yang sama. Saya dan teman-teman yang lain berpikir tak ada masalah," kata rekan Eri, Uston Nawawi dilansir dari detikSport.
"Karena semua kan mengiranya itu benturan biasa, begitu kan. Itu kejadiannya di babak pertama, memang saat itu cuacanya sedang terik, panas," sambungnya.
Uston mengingat-ingat lagi kejadian itu. Disebutnya, kondisi saat itu hampir mirip dengan insiden yang menimpa Choirul Huda yang meninggal saat memperkuat Persela Lamongan pada Liga 1 2017.
Keduanya sama-sama meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit. Kematian Eri dan Choirul sama-sama baru diketahui setelah pertandingan tuntas.
"Kami berpikir itu pelanggaran biasa, tak menyangka sampai fatal seperti itu. Setelah pertandingan, kami baru tahu almarhum meninggal, iya seperti Choirul Huda," tutur Uston.
Nova Arianto juga ikut membagikan pengalaman memilukan tersebut. Berbeda dengan Uston, Nova baru mengetahui kematian Eri setelah tiba di Semarang keesokan harinya. Ya, setelah pertandingan Nova memutuskan pulang sejenak ke kampung halamannya.
"Saat itu normal seperti pertandingan biasa. Saya menggantikan almarhum karena almarhum mengeluh sakit, jadi dia digantikan saya saat itu," tutur pria yang kini menjadi pelatih kepala Timnas Indonesia U-16 tersebut.
"Dan setelah pertandingan pun saya menjalaninya secara normal saja. Saya bersama Agus Murod kembali ke Semarang (seusai laga)," ucapnya.
"Dan baru mendapat kabar pagi setelah kami sampai di Semarang. Kami semua nggak percaya saat itu," kenangnya.
Kematian Eri menjadi kabar duka bagi Persebaya dan insan sepakbola Indonesia. Maklum, namanya memang kerap menghiasi Timnas Indonesia era 90-an akhir.
Semusim sebelumnya, Eri juga jadi bagian penting Persebaya yang melaju ke final Ligina 1998/1999. Dia turut bermain melawan PSIS Semarang di Stadion Klabat, Manado, 9 April 1999.
Sayangnya, Persebaya kala itu takluk dari PSIS Semarang. Skor akhir 0-1 untuk PSIS berkat gol tunggal Tugiyo di menit akhir babak kedua.
Menariknya, itu bukan kali pertama Eri sukses membawa klub sampai ke partai puncak. Pada final Ligina 1994/1995, dia juga berhasil mengantarkan Petrokimia Putra mencapai babak akhir.
Semua itu membuktikan bahwa Eri bukan pemain yang biasa. Dia dapat memberikan dampak signifikan bagi klub yang dibelanya.
Usai kepergian Eri, Persebaya kemudian memensiunkan nomor punggung 19. Itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Eri yang meninggal dunia usai membela Bajul Ijo.