Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya merilis hasil survei terkait tingkat permisifitas politik. Hasilnya, 54,8% warga Jatim mengaku menerima uang politik dari paslon, tapi tidak memilih.
Merespons hal ini, Pengamat Politik Unair, Prof Hotman Siahaan menjelaskan, di Jawa Timur, ada pemilih rasional dan ada pemilih tradisional. Hal ini berbeda dengan pemilih transaksional, yang melihat dari besarnya uang, kegunaan dan lain-lain.
"Dalam konteks politik transaksional, orang yang menerima uang tidak memilih calon itu rasionalisme mereka. Mereka hanya membutuhkan uangnya, tidak peduli suaranya," ujar Hotman ketika dikonfirmasi detikJatim, Rabu (6/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa jadi (jika ada yang lebih besar). Kan rasionalisme ini mana yang paling menguntungkan. Ya kalau ada yang lebih besar diterima yang lebih besar. Bisa juga terima semuanya, tetapi yang dipilih yang paling besar yang memberikan sama dia," sambungnya.
Menurutnya, memilih atau tidak terhadap calon yang memberikan uang, masuk rasionalisme mereka dalam mencari keuntungan. Pemilih transaksional akan memilih yang mana yang menguntungkan bagi pemilih.
"Namanya uang nggak ada urusan, siapa saja yang kasih diterima. Sepanjang dia punya pemikiran bukan berdasarkan dari program yang diajukan dari calon. Orang kan yang sudah kaya apa nggak terima uang kan nggak juga, sehingga pemilih kita ini sangat transaksional dan ini terjadi di mana-mana," tandasnya.
Sebelumnya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya merilis hasil survei mengenai politik uang di Jawa Timur menjelang Pilkada 2024. Survei menunjukkan bahwa 38,3% masyarakat Jatim menganggap politik uang sebagai hal yang wajar, sementara 54,8% responden menerima uang dari calon tetapi tidak memilih mereka.
Sebaliknya, 35,9% menerima uang dan memilih calon yang memberi uang tersebut. Hanya 5,9% dari masyarakat yang menolak menerima uang. Rata-rata nominal uang yang diharapkan oleh masyarakat adalah Rp100.000, dengan 35,2% responden menginginkan jumlah tersebut.
Beberapa kabupaten/kota yang paling permisif terhadap politik uang termasuk Ponorogo, Sampang, Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, Malang, Lumajang, Lamongan, dan Jember. Bentuk politik uang yang teridentifikasi meliputi pemberian uang tunai, janji jabatan setelah pemilihan, bantuan sosial, infrastruktur, dan paket wisata.
Survei ini melibatkan 1.065 responden yang tersebar di 38 kabupaten/kota dengan margin error 3% dan tingkat kepercayaan 95%. Direktur PUSAD UM Surabaya, Satria Unggul Wicaksana menekankan bahwa praktik politik uang menjadi masalah serius dalam konteks Pilkada 2024.
(hil/iwd)