Dalam debat perdana, Cabup Sugiri Sancoko mengklaim benih padi yang bisa menghasilkan panen 14 ton per hektare merupakan karya warga Ponorogo. Ternyata klaim itu salah. Padi yang disebut varietas Kreasi Insan Petani (KIP) itu merupakan karya Prof. Hariyadi.
Engky Bastian yang namanya disebut mengenalkan Giri dan Lisdyarita ke Prof. Hariyadi pun akhirnya angkat bicara.
"Saya lihat debat dari live platform digital. Kaget nama saya kok disebut-sebut. Sejauh ini fakta apa yang terjadi sebenarnya banyak masyarakat tidak tahu. Apa yang dikatakan itu kurang pas kalau menurut saya. Tidak sesuai fakta," tutur Eba, panggilan akrab Engky Bastian saat ditanya wartawan, Rabu (30/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eba menambahkan, padi KIP itu penemunya bukan warga Ponorogo. Tidak seperti yang diucapkan Sugiri di hadapan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Ponorogo meresmikan Waduk Bendo.
"Benih itu penemunya Prof. Hariyadi dari Malang. Dan benih itu awalnya namanya HMS. Waktu itu, tim pak Giri termasuk saya mengenalkan pak Giri dan Bu Lisdyarita ke Profesor Hariyadi," terang Eba.
Akhirnya, lanjut Eba, mereka langsung ke Malang dan menemui Prof. Hariyadi. Di lokasi Pusat Kajian Pertanian Organik Terpadu (PKPOT) di kawasan Pakisaji inilah mereka melihat tanaman padi HMS yang mampu menghasilkan 14 ton per hektare. Bahkan dengan treatment khusus yang dilakukan oleh Prof. Hariyadi mampu menghasilkan 16 ton per hektar saat itu .
"Karena tertarik, Giri menawarkan ke Prof. Hariyadi ke Ponorogo untuk jadi ketua P4 (Pusat Pengembangan Pertanian Ponorogo). Termasuk menawarkan untuk benih itu kalau berhasil bisa dipatenkan dan jadi benih KIP dan diklaim ciptaan masyarakat Ponorogo. Termasuk mengurus legal standing ke Kementan. Tapi Pak Giri harus mengganti senilai sekitar Rp 1 Miliar untuk biaya pengurusan dokumen ke Kementan dan hak cipta," papar Eba.
"Saat itu, Prof. Hariyadi setuju. Kemudian melakukan uji coba atau demplot di lahan di Babadan, total ada 2 hektar. 1 hektar di selatan pabrik mori di Desa Babadan, sama 1 hektar di utara Babadan. Dengan pelaksanaan dan pengawasan penuh Prof. Hariyadi," tandas Eba.
Kemudian, lanjut Eba, setelah padi berusia satu bulan. Prof. Hariyadi kecewa karena tidak ada komitmen dari Pak Giri seperti yang diungkapkan di awal. Akhirnya pemberian nutrisi terhenti.
"Padi terus tumbuh tapi tidak sesuai ekspektasi, karena hasilnya hanya 5 ton per hektar," papar Eba.
Menurut Eba, saat di debat pertama , Pak Giri mengutarakan kalau padi KIP masih dalam penelitian. Padahal tidak seperti itu. Karena Prof. Hariyadi kecewa akhirnya proyek tersebut tidak dilanjutkan.
"Saya memang masuk tim kreatif. Tapi karena ada kekecewaan dan tidak komitmen membuat Prof. Hariyadi kecewa. Tidak seperti yang diutarakan dalam debat kalau (padi) ini masih dalam penelitian," pungkas Eba.
(abq/iwd)