Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye calon kepala daerah di kampus disambut baik sejumlah pihak. Sebab, kampus adalah tempatnya cendekia dan orang terdidik.
Salah satunya, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Kampus negeri di Surabaya ini menghormati putusan MK.
"Putusan MK harus kita hormati karena memang sifatnya final dan mengikat," kata Warek III Bidang Riset, Inovasi, Pemeringkatan, Publikasi, dan Science Center Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Bambang Sigit Widodo kepada detikJatim, Sabtu (24/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait dengan kampanye di kampus, Sigit punya beberapa catatan. Tentunya, aturan ini harus selaras dengan putusan MK.
"Untuk kampanye di kampus Unesa harus berdasarkan ketentuan atas seizin pimpinan, dan pastinya tidak membawa atribut," ujarnya.
Menurutnya, kampus tidak hanya sebagai tempat untuk politik praktis yang dapat memecah belah civitas. Oleh karena itu, Unesa mengizinkan kampanye.
"Maka harus diatur tata cara, bukan pada pengerahan massa, tapi pada kampanye dialogis yang sifatnya konstruktif, memberikan pendidikan politik yang baik bagi civitas. Misalnya, jika ingin membedah visi calon pilkada mengenai pendidikan maka bis dikemas dalam bentuk FGD yang menghadirkan para pakar pendidikan di kampus," jelasnya.
Selain itu, kampus juga harus seimbang dalam memfasilitasi kampanye di kampus. Di mana, semua calon bisa kampanye di kampus, tak hanya calon tertentu saja.
"Jika kampus mengizinkan, maka harus memfasilitasi secara seimbang semua calon. Bukan pada salah satu calon atau calon tertentu saja," pungkasnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan terhadap UU Pilkada yang mengatur tentang larangan kampanye Pilkada di perguruan tinggi. MK menyatakan, kampanye dapat dilakukan di kampus jika mendapat izin dan tanpa menggunakan atribut kampanye.
Dilansir dari detikcom, gugatan itu diajukan dua mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yakni Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria. Sidang putusan perkara nomor 69/PUUXXII/2024 itu digelar di Gedung MK, Selasa (20/8).
"Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar hakim ketua Suhartoyo.
"Menyatakan frasa 'tempat pendidikan' dalam norma Pasal 69 huruf i UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2015 nomor 23, tambahan Lembaran Negara republik Indonesia nomor 5588) bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," tambah hakim.
(abq/hil)