Surabaya menjadi kota terbesar kedua di Indonesia dengan jumlah populasi penduduk mencapai sekitar 3 juta orang. Masyarakat di Kota Surabaya pun berasal dari berbagai suku, ras, dan agama di Indonesia. Meski demikian, mereka hidup berdampingan dan menjunjung rasa toleransi dan keharmonisan.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan dari dulu masyarakat Surabaya telah menjunjung tinggi toleransi. Pada pertempuran 10 November 1945, seluruh suku, ras dan agama di Indonesia berjuang untuk merebut kemerdekaan di Kota Pahlawan. Hal inilah yang membuat Surabaya menjadi menjadi perwujudan Kota Toleransi.
"Matur nuwun (terima kasih) untuk seluruh warga Kota Surabaya yang telah menjaga perdamaian, yang telah menjaga persaudaraan satu dengan yang lainnya," kata Eri dalam keterangan tertulis, Jumat (4/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eri mengatakan Pemerintah Kota Surabaya turut memperkuat perwujudan Kota Toleransi ini melalui berbagai upaya. Pihaknya juga menggandeng seluruh elemen dalam menjaga kemajemukan dan toleransi di Kota Pahlawan.
Salah satu perwujudan Surabaya sebagai Kota Toleransi dapat dilihat di kawasan Kampung Pecinan Kembang Jepun dan Ampel yang berada di distrik Surabaya Utara. Wilayah ini telah menjadi pembauran warga etnis Jawa, Madura, Cina dan Arab yang tinggal berdampingan.
Bahkan, di sini juga berdiri sejumlah rumah ibadah yang jaraknya tak kurang dari 1 kilometer. Sejumlah rumah ibadah terdiri dari klenteng, gereja, masjid dan vihara. Meski warga di sana berbeda etnis dan keyakinan, selama ini mereka hidup berdampingan dan saling menghormati satu dengan lainnya.
Eri menyebut Surabaya merupakan kota terbuka bagi seluruh golongan dan agama. Ia berharap rasa toleransi ini dapat terus ditularkan kepada anak cucu dan generasi penerus ke depan.
"Perasaan ini harus kita wujudkan terus kepada anak cucu kita. Saya yakin insyaallah Surabaya tidak ada radikalisme, Surabaya tidak ada kekacauan, karena semuanya dijaga oleh arek-arek Suroboyo yang cinta perdamaian," harap dia.
Beragam upaya lain juga terus dilakukan Pemkot Surabaya untuk menjaga kesatuan dan persatuan di Kota Pahlawan. Hal ini termasuk saat momentum Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2022.
Dalam merefleksikan peringatan Hari Sumpah Pemuda, Pemkot Surabaya menggelar Deklarasi Surabaya Damai dan Silaturahmi Toleransi Kebangsaan pasca Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda di halaman Balai Kota Surabaya, Jumat (28/10) pagi.
Deklarasi ini diikuti 38 komunitas perguruan bela diri di Kota Pahlawan. Melalui Deklarasi ini, Pemkot Surabaya mengajak komunitas tersebut untuk bersama menjaga keamanan dan kedamaian di Kota Surabaya.
Eri juga mengajak para pemuda dari komunitas bela diri dan perguruan silat turut ambil bagian dalam menjaga keamanan dan ketentraman di Kota Pahlawan.
"Karena kekuatan kita adalah semua elemen yang ada di Kota Surabaya. Saatnya para pemuda ikut menjadi bagian, bukan hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi bagian untuk Surabaya," kata dia.
Halaman Selanjutnya: Silaturahmi Toleransi Kebangsaan
Beberapa di antaranya, Tari Remo dari Jawa Timur, Jaipong dari Sunda, Tati Sigeh Pengunten dari Lampung, Mocopat dari Penghayat Kepercayaan Surabaya, Tarian Empat Etnis dari Suku Bugis, Tari Pasambahan dari Suku Minang, dan Kasuari Dance dari Papua.
Di momen itu, Pemkot Surabaya juga menggelar Doa Bersama Lintas Agama serta Deklarasi Surabaya Kota Toleran oleh perwakilan berbagai suku dan pemuda di Kota Surabaya.
"Saya yakin, jikalau Surabaya dengan pemuda-pemudanya yang hari ini membacakan Deklarasi Persamaan Satu Negara Indonesia, dalam darah kita terpatri NKRI harga mati," ujar Eri.
Dalam kesempatan yang sama, Tokoh Ulama Nasional Miftah Maulana Habiburrahman menyampaikan agar daerah lain dapat mencontoh kerukunan masyarakat di Kota Surabaya. Ia menilai meski ada sekitar 34 suku bangsa yang menghuni Surabaya, namun mereka tetap hidup rukun dan saling menghormati antar satu dan lainnya.
"Wong Indonesia (Orang Indonesia) kalau bisa akur (rukun) seperti di Surabaya ini, insyaallah menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur," kata Gus Miftah, sapaan akrabnya.
Di sisi lain, Perwakilan Tokoh Agama Katolik Yusi mendukung upaya pemkot dalam menjaga keberagaman dan kesatuan di Surabaya. Menurutnya, upaya tersebut dapat memperkuat kemajemukan di Surabaya.
"Biasa kami lakukan di Kota Surabaya untuk doa dari masing-masing agama. Perayaan-perayaan agama pun kita mengadakan acara yang sama. Artinya, hal itu semakin menguatkan Surabaya menjadi salah satu kota toleransi di Negara Indonesia," kata Yusi.
Sementara itu, Tokoh Agama Konghucu, WS Liem Tiong Yang menilai Surabaya merupakan kota yang layak menjadi pelopor kota toleransi dan keberagaman di Indonesia. Bahkan, ia meyakini Surabaya mampu menjadi barometer bagi daerah lain dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi umat beragama.
"Karena hampir semua suku di Indonesia ada di Surabaya, sehingga bisa menjadi barometer bagi kota-kota lain karena keberagaman tetap terjaga di Kota Surabaya. Masyarakat bisa melihat keberagaman dan kesatuan di Surabaya dengan enjoy (nyaman) dan itu harus dijaga terus," pungkasnya.