Di tengah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang masih kerap terjadi, pendekatan restorative justice (RJ) masih menjadi salah satu opsi. Bukan untuk melemahkan penegakan hukum, melainkan sebagai upaya pemulihan.
Kanit II Renakta Polda Jawa Timur Kompol Ruth Yeni menegaskan, restorative justice bukan jalan pintas penanganan perkara. Dalam praktiknya, RJ justru menuntut komitmen dan pengawasan yang ketat.
"Tujuan restorative justice, khususnya untuk perkara KDRT, itu dikedepankan karena tujuan utamanya pemulihan," ujar Ruth saat dijumpai detikJatim, Senin (22/12/2025).
Menurutnya, RJ dalam perkara KDRT berorientasi pada pemulihan kedua belah pihak, terutama korban. Upaya ini ditempuh dengan mempertimbangkan kondisi psikis, serta dampak jangka panjang, termasuk terhadap anak.
"Proses pemulihan tetap kita upayakan dan dijamin prosesnya baik lidik maupun sidik," katanya.
Ruth menjelaskan, konsep RJ sejatinya sejalan dengan mekanisme mediasi yang juga diterapkan dalam perkara perceraian.
"Di pengadilan agama, orang mau cerai saja masih diberi kesempatan mediasi. RJ itu juga bagian dari mediasi," ujarnya.
Namun, ia menekankan, RJ bukan sekadar rekomendasi. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, penyidik memastikan seluruh komitmen yang disepakati benar-benar dilaksanakan.
"Dalam RJ itu dipastikan dulu komitmennya. Harus terlaksana 100 persen. Baru setelah itu diberikan kepastian hukum, perkaranya dihentikan," tegas Ruth.
Meski demikian, Ruth tidak menampik bahwa kasus kekerasan bisa terulang, termasuk pada perkara yang sebelumnya ditempuh melalui RJ.
Ia menjelaskan, ada pula korban yang sebelumnya mengalami KDRT namun memilih menyelesaikan sendiri tanpa laporan. Ketika kekerasan terjadi kembali, barulah korban melapor. Ada pula yang sudah pernah melapor, lalu melapor lagi di kemudian hari.
Upaya restorative justice ini pun berjalan di tengah masih tingginya angka kekerasan domestik di Jawa Timur. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat 327 kasus KDRT. Dari jumlah tersebut, kekerasan fisik menjadi bentuk yang paling dominan, disusul kekerasan psikis.
"Kekerasan fisik KDRT sebanyak 282 kasus, menyusul psikis 23 kasus," ungkap Ruth.
Data ini menunjukkan bahwa kekerasan masih menjadi persoalan serius. Ruth juga menekankan, tidak semua kasus dapat atau layak diselesaikan melalui RJ. Keputusan selalu didasarkan pada kondisi korban, risiko keberulangan, serta komitmen pelaku.
Di balik proses hukum yang berjalan, ia berharap publik memahami bahwa penanganan perkara kekerasan bukan sekadar soal cepat atau lambat, tetapi soal dampak yang paling aman dan adil bagi semua pihak.
"Karena bukan hanya menangani perkara saja, tapi ada juga upaya pemulihan bagi korban, termasuk pelaku agar tak mengulangi perbuatannya," pungkas Ruth.
Simak Video "Video: Kronologi Aktor Korsel Lee Ji Hoon Dilaporkan Istri Atas KDRT"
(auh/hil)