Kondisi Psikis Anak 7 Tahun Disiksa Ayah Tiri yang Ternyata Perempuan

Kondisi Psikis Anak 7 Tahun Disiksa Ayah Tiri yang Ternyata Perempuan

Eka Fitria Lusiana - detikJatim
Selasa, 16 Sep 2025 18:20 WIB
Kekerasan pada anak
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. (Foto: Edi Wahyono)
Surabaya -

Anak berusia 7 tahun berinisial AMK menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya yang merupakan pasangan lesbian. Baik oleh ibu kandungnya maupun ayah tirinya yang ternyata seorang perempuan.

Adalah pasangan lesbian EF dan SNK, yang kerap memukuli, menendang, bahkan membanting korban. Bukan cuma itu, bocah itu juga sempat disiram bensin dan dibakar hingga wajahnya luka saat berada di kebun tebu. Berbagai tindakan kekerasan itu memunculkan dampak buruk bagi korban.

Seorang psikolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Atikah Dian Ariana M.Sc., M.Psi menyebutkan ada 3 dampak kekerasan yang terjadi pada korban. Pertama dampak psikologis, dampak fisik, serta dampak sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak psikologis umumnya menimbulkan trauma secara emosional. Mulai dari ketidakmampuan mengekspresikan amarah, ketakutan berlebihan, hingga merasa tidak mendapat kasih sayang.

Sedangkan, kekerasan fisik yang dia dapatkan dari kedua orang tuanya itu akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang lebih serius seperti penurunan fungsi otak.

ADVERTISEMENT

"Ada satu riset yang menunjukkan bahwa mereka (korban) mengalami kekerasan fisik, terutama pada masa anak-anak. Nanti ketika dewasa mereka mengalami penurunan fungsi otak yang lebih cepat, seperti dimensia," ujar Atikah, Pakar Psikologi.

Atikah juga menyebutkan bahwa dampak sosial dari korban kekerasan adalah kesulitan membangun relasi yang sehat, terutama dengan lawan jenis.

Hal ini mengingat korban dibesarkan dari pasangan sesama jenis. Meski terdapat riset yang menunjukkan anak yang dibesarkan oleh pasangan sesama jenis tidak menunjukkan perubahan secara signifikan. Tetapi Atikah menilai ada kemungkinan anak meniru perilaku yang sama.

"Ketika dia cukup berkembang dari segi nilai dan moral yang terjadi justru berkonflik secara intrapersonal, jadi dia memahami secara normatif berhubungan dengan lawan jenis itu yang diharamkan," ujarnya.

"Tapi di lingkungan terdekat dia melihat hal yang berbeda. Ini bisa menimbulkan kekaburan identitas, dia bingung mana yang benar; mengikuti masyarakat atau mengikuti contoh di rumah. Dampaknya tentunya ke membangun relasi dengan orang lain." katanya.

Faktor-faktor Kekerasan

Atika juga menjelaskan bahwa faktor kekerasan seringkali berawal dari permasalahan kondisi psikologi orang tua. Mulai dari masalah mental yang serius, belum cukup memiliki kematangan emosional, hingga pola asuh yang salah di masa lalu.

"Ada yang nyebut siklus kekerasan karena orang tua memiliki modal (kekerasan) yang dia terima sewaktu kecil. Bisa juga modal literasi, orang tua tidak memahami bahwa dampak yang dia lakukan itu bisa ke mana-mana dan fatal," sebut pakar.

Atikah juga menyebut bahwa pelaku kekerasan sering kali merupakan korban di masa lalu. Sehingga, risikonya lebih besar meski tidak selalu terjadi.

Selain itu, faktor budaya masa lalu yang menganggap kekerasan adalah bentuk kedisiplinan, masih dilanggengkan, sehingga diwajarkan. Faktor selanjutnya adalah ekonomi, kemiskinan seringkali menjadikan seseorang gelap mata dan disalurkan kepada figure yang dianggap lemah.

"Biasanya orang menjadi lebih mudah gelap mata. Mereka seperti terjebak dalam situasi yang frustasi dan butuh penyaluran emosi," jelas Atikah.

Upaya Penyembuhan

Kekerasan yang tidak segera ditangani akan menimbulkan beragam masalah dan bisa muncul dampaknya ketika dewasa. Untuk itu, pakar menyarankan perlunya pendekatan secara integratif dan melibatkan banyak pihak.

Terutama, bantuan secara profesional terkait masalah psikologis. Selain itu, perlunya dukungan sosial dari pihak terdekat dan bantuan pemerintah dengan dinas terkait.

"Selanjutnya proses pelibatan masyarakat. Edukasi harus diberikan secara berkelanjutan, sehingga kita bukan selalu reaktif pada satu kasus ke kasus lain, tetapi masyarakat juga bisa berperan untuk menjadi monitor dan mengevaluasi berbagai macam aktivitas yang terjadi di lingkungan mereka, sekaligus mengantisipasi agar situasi seperti ini tidak terjadi di manapun dan siapapun," pungkasnya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads