Pakar Hukum UB Ingatkan Larangan Sebar Identitas TPKS Sebelum Putusan

Pakar Hukum UB Ingatkan Larangan Sebar Identitas TPKS Sebelum Putusan

Muhammad Aminudin - detikJatim
Kamis, 14 Agu 2025 21:00 WIB
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga
Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: Getty Images/kieferpix)
Malang -

Kasus dugaan pencemaran nama baik menyeret korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bergulir di Polresta Malang Kota. Adanya perkara ini menjadi pengingat bagi masyarakat untuk tidak menjustifikasi seseorang selama proses hukum belum selesai.

Hal ini disampaikan Pakar Hukum dari Universitas Brawijaya (UB) Dr Prija Djatmika ketika menyoroti penanganan perkara dugaan pencemaran nama baik dengan pelapor Dokter YA di Polresta Malang Kota.

Di sisi lain, Dokter YA merupakan tersangka pada kasus dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan korban seorang perempuan asal Bandung, Jawa Barat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Walaupun tersangka kan belum tentu bersalah secara hukum. Memberi kesaksian itu kepada penyidik dan persidangan. Bukan upload identitas tersangka dan tuduhan perbuatannya di media sosial," ujar Prija kepada detikJatim, Kamis (14/8/2025).

Prija juga menegaskan, korban atau publik tidak berhak mengunggah atau menyebarkan identitas lengkap terduga pelaku di media sosial sebelum adanya penetapan tersangka dan putusan pengadilan yang inkrah (final).

ADVERTISEMENT

"Ini bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik karena belum ada kepastian hukum terhadap tuduhan tersebut," tegasnya.

Menurut Prija, banyak kasus TPKS yang masih berada di tahap penyelidikan polisi dan belum sampai pada tahap penyidikan maupun penetapan tersangka.

Hal ini disebabkan bukti yang dimiliki masih kurang, terutama karena kejadian yang dilaporkan terjadi dua tahun lalu dan tidak disertai bukti visum, rekaman video, atau bukti lain yang cukup kuat.

"Keterangan saksi memang diperlukan, tapi satu alat bukti keterangan saksi saja tidak cukup. Harus ada minimal dua alat bukti lain seperti keterangan ahli atau surat petunjuk," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan KUHP Pasal 310 ayat 3.

Publikasi informasi yang dilakukan demi kepentingan umum atau pembelaan diri hanya bisa dibenarkan jika pelaku sudah terbukti bersalah secara hukum.

Prija juga mengingatkan agar masyarakat dan media menggunakan inisial dalam pemberitaan terkait kasus kekerasan seksual selama proses hukum berlangsung.

"Trial by social media atau pengadilan oleh publik bukanlah hal yang dibenarkan. Karena bisa merugikan semua pihak dan berpotensi menimbulkan proses hukum baru terkait pencemaran nama baik," tandasnya.

Prija menambahkan, meskipun seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka, secara hukum yang bersangkutan (Dokter YA) belum tentu bersalah sampai ada putusan pengadilan yang final.

"Oleh karena itu, segala bentuk tuduhan dan identitas tersangka sebaiknya disampaikan secara prosedural melalui jalur hukum yang berlaku, bukan melalui media sosial," bebernya.

Prija mengungkapkan, proses yang tengah berjalan menunjukkan bahwa hukum berlaku sama bagi semua orang. Siapapun yang diketahui melakukan dugaan tindak pidana wajib untuk mempertanggung jawabkan.

"Hukum tidak diskriminatif. Yang dilakukan (kepolisian) saat ini memang proseduralnya begitu," pungkasnya.




(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads