MK telah mengabulkan gugatan Nomor 115/PUU-XXII/2024 dan 105/PUU-XXII/2024 terkait pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Institusi pemerintah, korporasi, profesi, dan jabatan telah dikecualikan sebagai pihak yang bisa melaporkan dugaan pencemaran nama baik.
Selain putusan itu, berarti hanya korban individu yang bisa melaporkan dugaan pencemaran nama baik, kritik yang disampaikan warganet terhadap pemerintah atau pihak-pihak yang telah dikecualikan itu tidak bisa lagi diproses secara pidana. Mengenai putusan ini, Pakar IT Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Supangat PhD menyorotinya dari sisi sistem informasi.
Menurut Supangat, kritik yang bertujuan untuk kepentingan umum saat ini mendapat perlindungan hukum yang lebih jelas. UU ITE tidak lagi bisa digunakan sebagai alat membungkam suara publik saat menyampaikan ketidakpuasan atau tuntutan secara terbuka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan putusan ini, ruang maya tetap berada dalam kerangka demokratis, bukan di bawah bayang-bayang kriminalisasi. Selain itu, MK menilai bahwa bentuk kerusuhan dan keonaran di dunia maya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, mengingat teknologi digital yang terus berkembang pesat," kata Supangat kepada detikJatim, Jumat (9/5/2025).
Dia mengatakan, MK menafsirkan ulang frasa 'orang lain' pada Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE. Lembaga pemerintah, institusi publik, jabatan, atau profesi kini tidak termasuk kategori tersebut. Dengan kata lain, kritik terhadap lembaga atau jabatan publik tidak bisa dijerat dengan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik bila berorientasi pada kepentingan umum.
"Penegasan ini sangat penting dalam mendorong budaya pengawasan publik. Masyarakat didorong untuk terus terlibat aktif dalam proses demokrasi tanpa harus takut akan konsekuensi hukum yang tidak jelas," ujarnya.
Baginya, di ranah sistem informasi, putusan MK tersebut memperluas pemahaman bahwa teknologi informasi bukan hanya alat bantu administrasi melainkan juga ruang interaksi sosial penuh makna.
"Sistem informasi di institusi pendidikan, pemerintahan, dan sektor swasta harus dibangun dengan prinsip transparansi, aksesibilitas, dan akuntabilitas. Sistem ini harus dirancang untuk memfasilitasi partisipasi, menerima masukan, dan membuka ruang bagi dialog yang sehat, selaras dengan nilai-nilai demokrasi," jelasnya.
Literasi Digital dan Peran Institusi Pendidikan
Dia menilai, kebebasan yang diakui hukum tetap harus diimbangi tanggung jawab sosial. Sistem informasi perlu didukung kebijakan moderasi konten yang adil, serta edukasi literasi digital secara terus menerus. Edukasinya terkait pengguna media sosial, termasuk kawula muda di institusi pendidikan harus paham bahwa kritik bukan ujaran kebencian.
"Tugas pengelola sistem informasi tidak hanya menjaga keutuhan data, tetapi juga menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman, dan beretika. Ini adalah pekerjaan kolaboratif antara teknologi, kebijakan, dan kesadaran pengguna," urainya.
Direktur Direktorat Sistem Informasi (DSI) Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya ini menyebut, institusi pendidikan memegang peran penting sebagai ruang untuk tumbuhnya budaya berpikir kritis dan bertanggung jawab.
Media sosial dan platform digital lainnya harus dianggap bukan sekadar tempat berbagi informasi tetapi juga ladang pembelajaran sosial. Kritik yang dibangun dengan data dan niat baik merupakan bagian dari proses pendidikan itu sendiri.
"Maka, sistem informasi pendidikan harus terbuka terhadap umpan balik. Tidak perlu takut terhadap kritik, selama kritik itu membawa harapan dan perbaikan. Ruang-ruang digital internal seperti forum kampus, sistem aduan, atau portal informasi publik harus dioptimalkan untuk mendorong partisipasi aktif tanpa rasa takut akan kriminalisasi," bebernya.
Supangat mengatakan, putusan MK mengingatkan bahwa hukum harus mampu berjalan seiring dengan semangat zaman. Ketika masyarakat semakin aktif di dunia digital, ruang hukum harus hadir untuk melindungi, bukan membungkam. Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas tanpa batas, namun batas tersebut harus jelas dan tidak digunakan semena-mena.
Selain itu, sstem informasi memiliki posisi strategis untuk menjaga keseimbangan ini. Dengan struktur teknologi yang adaptif dan kebijakan informasi yang berpihak pada transparansi, sistem informasi dapat menjadi pilar penting dalam menopang demokrasi digital yang matang dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, Supangat menyebutkan teknologi dan hukum seharusnya saling memperkuat dalam menjaga kualitas demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi memberi sinyal bahwa kritik adalah bagian dari kehidupan bernegara yang tidak bisa dilarang begitu saja.
"Peran sistem informasi bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjaga agar ruang digital tetap menjadi milik bersama yang aman untuk berpikir, menyampaikan pendapat, dan berbagi aspirasi," pungkasnya.
(dpe/abq)