Kasus judi online semakin hangat dibincangkan. Terbaru, keterlibatan 11 pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang ternyata berafiliasi dengan sejumlah situs judi online. Pakar menyebutkan perlu adanya solusi dalam konteks penguatan kebijakan hukum hingga literasi digital.
"Saya pakai istilah sebagai isu kejahatan purba. Sejak dulu yang namanya perjudian sudah ada, sudah pernah ada. Bedanya dengan sekarang adalah soal mediumnya. Kalau dulu ada sabung ayam, dadu, mungkin itu medium fisik," ujar Radius Setiyawan, Dosen Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya kepada detikJatim, Rabu (6/11/2024).
Radius menyebutkan saat ini pertarungan dalam judi online adalah pertarungan langsung. Era baru atau era siber. Dia sebutkan bahwa perilaku orang bisa berbeda hingga memiliki dampak berbahaya saat medium dari fisik berubah menjadi siber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu saat ini (judi online) lebih punya dampak yang berbahaya ketika mediumnya berubah dari fisik ke siber, termasuk interaksi yang dihasilkan juga akan berbeda," katanya.
Beberapa tahun terakhir, judi online menjadi pembahasan yang menarik. Di sisi lain, ada kasus serupa yang disebut Radius yakni investasi bodong. Menurutnya, ini bagian dari kejahatan dunia siber.
"Saya kira ini patut diapresiasi (soal penangkapan pelaku judi online), terkait instrumen undang-undang itu satu hal yang harus diapresiasi. Soal efektif atau tidaknya, beberapa tahun terakhir ada penangkapan tapi baru-baru ini ada staf Kemkomdigi yang ditangkap. Ini menunjukkan tidak ada efek jera," ujarnya.
Dia pun menyebutkan model-model judi online semakin ke sini semakin berbeda. Model siber menyatukan interaksi yang tidak terikat dalam ruang dan waktu, sehingga bisa dilakukan dalam teritorial yang jauh.
"Solusinya dalam konteks kebijakan atau hukum, pemerintah harus mulai menciptakan dan membuat perundang-undangan yang memfokuskan pada kejahatan dunia siber," kata Peneliti Utama PUSAD UM Surabaya itu.
Radius pun mengungkapkan bahwa masyarakat perlu tahu, masyarakat harus mempunyai kesadaran kritis pada bagian praktik yang merugikan secara personal maupun secara sosial.
"Pemerintah perlu melakukan penguatan di wilayah kebijakan hukum. Kedua ada literasi digital, diperankan institusi pendidikan, keagamaan. Agama perlu andil, terutama pada kajian-kajian soal fiqih digital, dalam konteks pendidikan juga begitu, konteksnya dengan literasi digital," ujarnya.
"Ketika undang-undang sudah dibuat secara otomatis ada instrumen untuk menindak, selain penangkapan, juga perlu polisi siber. Ini untuk memastikan, mengidentifikasi kecenderungan siapa yang mempromosikan. Memang sudah ada patroli siber tapi saya rasa ini perlu diimasifkan," katanya.
Dilansir dari detikNews, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa transaksi judi online pada 2024 meningkat signifikan mencapai Rp283 triliun dengan semester pertama mencapai Rp174,56 triliun. Kenaikan ini mencapai 237,48% dibandingkan tahun lalu.
Ivan menjelaskan bahwa rendahnya nominal deposit, mulai dari Rp10 ribu, memungkinkan lebih banyak orang termasuk anak-anak untuk terlibat dalam judi online. Ini menciptakan tren transaksi yang semakin masif dan meluas di berbagai kalangan masyarakat.
(dpe/iwd)