Gema takbir para santri terdengar bergemuruh di Pengadilan Negeri Bondowoso sore itu. Ini setelah hakim ketua Soejtipto menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap Sakrimo, terdakwa pembunuh Kiai Rosyidi.
Sakrimo merupakan eksekutor pengasuh Ponpes Nurul Ulum, Curahdami, Bondowoso tersebut. Sakrimo tak sendirian saat membunuh, namun turut terlibat juga saudaranya Bunawi dan Siti Rahmah, istri kedua Kiai Rosyidi.
Pembunuhan terhadap Kiai Rosyidi sebenarnya terjadi pada sekitar bulan Agustus tahun 1989. Sebelum menghabisi kiai 60 tahun itu, Sakrimo, Bunawi dan Rahmah sebelumnya telah membuat rencana dengan matang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Motifnya tak lain hanya karena ingin mengusai ponpes dan mengambil keuntungan semata setelah pembunuhan. Sakrimo dan Bunawi sendiri masih bersaudara dan merupakan anak angkat Kiai Rosyidi.
Niat pembunuhan itu lantas dilaksanakan saat Kiai Rosyidi tengah kusyuk berkhalwat atau menyendiri di kamarnya pada malam hari. Saat itu lah, Sakrimo memasuki kamar Kiai Rosyidi dan mencekiknya.
Belum puas, Sakrimo kemudian menghantam Kiai Rosyidi dengan sepotong kayu hingga meregang nyawa. Sakrimo bersama Bunawi dan Siti Rahmah kemudian mengubur dan menyemen jenazah Kiai Rosyidi di kamarnya tersebut.
Untuk menutupi kejahatannya, Rahmah kemudian selalu menyebut bahwa Kiai Rosyidi sedang tak ada di ponpes karena pergi berkhalwat ke luar daerah. Sakrimo dan Rahmah lambat-laun mengambil alih ponpes yang diasuh Kiai Rosyidi.
Dari sini, Sakrimo, Bunawi dan Rahmah kemudian membuka praktik penggandaan uang. Tak hanya itu, ketiganya juga kerap menjual aset milik ponpes jutaan rupiah dan hasilnya dinikmati sendiri.
Aksi ketiga pelaku itu tak pernah terendus atau mengundang kecurigaan para santri. Sebabnya, para santri menaruh rasa hormat pada kiai dan keluarganya. Bahkan kasus pembunuhan itu mampu bertahan hingga sekitar 4 tahun.
Namun sepandai-pandai menyimpan kebusukan, aksi ketiga pelaku juga terbongkar. Hal ini diawali dari rasa kecurigaan Kiai Ali Mahrus yang masih keponakan Kiai Rosyidi.
Kiai Rosyid lantas melapor ke polisi. Dari serangkaian penyelidikan dan pemeriksaan saksi, polisi akhirnya menemukan jenazah Kiai Rosyidi terkubur di kamarnya sendiri.
Polisi selanjutnya menetapkan Sakrimo, Bunawi dan Rahmah sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan, Rahmah awalnya mengakui sebagai pembunuh suaminya.
Namun polisi tak percaya begitu saja. Sebab pengakuan Rahmah tersebut untuk melindungi Sakrimo sebagai eksekutor. Selama mengusai pondok, Sakrimo juga diketahui kerap melakukan hubungan badan dengan Rahmah yang tak lain masih ibu angkatnya itu.
Lain lagi dengan dengan pengakuan Sakrimo dan Bunawi. Mereka kekeh tak mengakui pembunuhan itu. Namun bukti-bukti berkata lain, jaksa selanjutnya menjerat ketiganya dengan pasal pembunuhan dan penipuan.
Ketiganya kemudian menjadi pesakitan di persidangan dengan berkas terpisah. Nyaris dalam setiap persidangan, ribuan santri selalu memenuhi Pengadilan Negeri Bondowo. Massa santri menuntut agar ketiganya dihukum berat.
Dalam sidang tuntutannya, Sakrimo dan Rahmah dituntut jaksa dengan hukuman mati. Sedangkan Bunawi dengan hukuman seumur hidup. Namun saat sidang vonis yang digelar pada Rabu, 5 Mei 1993, Sakrimo dan Rahmah lolos dari hukuman mati.
Ini karena majelis hakim hanya menghukum pria 32 tahun itu penjara seumur hidup. Sedangkan Bunawi divonis 15 tahun pidana penjara. Pria 24 tahun itu dianggap turut serta dengan ikut merencanakan dan mengubur jasad Kiai Rosyidi.
Adapun Rahmah divonis dengan hukuman penjara 17 tahun. Sama, majelis hakim menilai perempuan 47 tahun itu terlibat dan bersekongkol dengan Sakrimo menghabisi suaminya sendiri.
Massa santri sebenarnya tak puas dengan vonis itu, akibatnya kericuhan sempat mewarnai sidang vonis. Namun kondisi itu tak berlangsung lama, sebab ratusan aparat yang menjaga dengan sigap menguasai kondisi.
Crime Story merupakan rubrik khusus yang mengulas kisah kriminal yang pernah terjadi di Jatim. Crime Story tayang setiap Senin dan Jumat. Untuk mengetahui kisah Crime Story lainnya, klik di sini.