Kecam Vonis Bebas Ronald, Komnas Perempuan Minta KY Awasi Kasasi

Kabar Nasional

Kecam Vonis Bebas Ronald, Komnas Perempuan Minta KY Awasi Kasasi

Fajar Pratama - detikJatim
Minggu, 28 Jul 2024 13:24 WIB
Ronald Tannur
Ronald Tannur. Foto: Praditya Fauzi Rahman
Surabaya -

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti. Komnas Perempuan mendukung jaksa mengajukan upaya hukum kasasi.

Komisioner Tiasri Wiandani menyampaikan Komnas Perempuan menilai vonis bebas itu mencederai hak atas keadilan korban dan keluarganya. Kekecewaan Komnas Perempuan didasarkan sikap Ronald, bukti CCTV yang beredar, hingga hasil visum et repertum yang menunjukkan luka pada hati akibat benda tumpul dan bekas lindasan ban mobil.

"Upaya terdakwa untuk menolong korban bukan berarti menghilangkan fakta bahwa terdakwa tidak melakukan penganiayaan, bahkan seharusnya dapat dilihat upaya pertolongan yang dilakukan terdakwa terlambat atau lalai yang menyebabkan korban tewas," kata Tiasri dalam keterangannya dikutip dari detikNews, Minggu (28/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komnas Perempuan menilai vonis bebas Ronald menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus ini juga semakin meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.

Komnas Perempuan pun mengapresiasi upaya JPU yang mengonstruksi kasus ini dengan menambahkan restitusi dalam tuntutan sebagai bagian dari upaya pemulihan terhadap anak korban yang kehilangan ibu sebagai penopang kehidupannya. Komnas Perempuan mendukung JPU mengajukan upaya hukum kasasi.

ADVERTISEMENT

Sementara menurut Komisioner Siti Aminah Tardi, sistem hukum di Indonesia belum mengatur femisida sebagai tindak pidana sendiri, namun dapat dijangkau dengan pasal-pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan yang menyebabkan kematian, dan kelalaian yang menyebabkan kematian.

Hakim sendiri telah diberikan panduan untuk menggali berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dialami korban dan dampaknya melalui Perma 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

"Kami mengapresiasi penyidik dan jaksa penuntut umum tidak hanya menuntut pidana, namun menambahkan membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris Rp 263,6 juta, yang menunjukkan perspektif dan keberpihakan kepada keluarga korban, khususnya anak korban yang kehilangan ibu yang selama ini membiayainya," kata Siti.

Komnas Perempuan juga meminta Badan Pengawasan MA (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY) memberikan perhatian dan pengawasan terhadap kasus ini. Hal ini sebagai upaya pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan korban serta keluarga korban.

Sebelumnya, jaksa diketahui akan menempuh upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas anak eks anggota DPR RI F-PKB, Edward Tannur ini. JPU akan melakukan proses administrasi untuk mendaftarkan kasasi, dan dalam 14 hari ke depan akan memberikan memori kasasinya.

"Di sini banyak yang akan menanyakan mengenai apa sikap kami yang akan kami ambil terkait dengan putusan majelis hakim tersebut. Kami nyatakan saat ini kami menyatakan akan melakukan langkah upaya hukum yaitu berupa kasasi," kata Kasi Intelijen Kejari Surabaya Putu Arya Wibisana di Kejari Surabaya, Kamis (25/7/2024).

Seperti diketahui, penganiayaan hingga menewaskan Dini terjadi pada Selasa (3/10/2023). Dini mengalami pemukulan sejak dari dalam ruangan hingga tempat parkir, diletakkan di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit (RS).

Rangkaian penganiayaan ini menunjukkan ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida, yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku. Dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya.

Dalam catatan Komnas Perempuan, pada 2023 terdapat 159 kasus dengan indikator femisida. Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim (intimate partner femicide/IPF) yaitu pembunuhan yang dilakukan suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.

Pada 2023, femisida intim mencapai 67% dari keseluruhan kasus femisida yang diberitakan, termasuk dalam relasi pacaran seperti yang terjadi pada korban dan terdakwa. Femisida intim dalam relasi perkawinan atau pacaran menjadi puncak dan eskalasi dari berbagai kekerasan dan ketidakadilan berbasis gender yang dialaminya.

Menurut Komisioner Theresia Iswarini, yang mendasarkan pada hasil pengembangan pengetahuan yang dilakukan di berbagai negara tampak bahwa kebijakan yang diberikan untuk pemulihan keluarga korban femisida merupakan tahapan penting dalam proses penanganan kasus pembunuhan perempuan. Kebijakan tersebut berupa pemberian pendampingan psikologis, peer support, serta bantuan finansial kepada keluarga korban.

"Kita memerlukan kebijakan pemulihan pada keluarga korban femisida karena dapat menjadi kunci untuk keluarga korban femisida yang terkena dampak secara psikis agar dapat memulihkan dirinya. Juga restitusi dan bantuan finansial dari pemerintah juga berguna sekurangnya untuk mencegah kemiskinan absolut yang mungkin muncul akibat hilangnya perempuan dalam suatu keluarga," ujar Theresia.




(irb/irb)


Hide Ads