Polda Jatim telah mengungkap 3 penembak misterius di 4 lokasi berbeda baik di Tol Sidoarjo dan Jalan Raya Babatan, Surabaya. Satu di antara mereka masih di bawah umur. Pakar hukum meminta pidana tetap diterapkan agar ada efek jera.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa menyoroti kasus ini. Sejumlah hal yang dia soroti adalah kepemilikan senjata hingga orang tua para pelaku.
"Sejauh mana aspek psikologi dari pengendara atau orang-orang yang berada di jalan, ini SIM-nya gimana proses mendapatkannya? Ini perlu dievaluasi, mendapatkan izin mengemudi, aspek emosional, psikologis," kata Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya kepada detikJatim, Senin (27/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedua, kepemilikan senjata ini tentu diatur sangat ketat. Izin dan lain-lain. Ketika mereka (pembeli) di luar kewenangan, di luar SOP, tentu menjadi persoalan. Khawatirnya ini akan merambah menjadi semacam penormalan praktik kekerasan, penggunaan pistol di jalanan," katanya.
Satria menegaskan bahwa kasus ini menjadi PR kepolisian dalam hal sosialisasi penggunaan airsoft gun secara hukum dan bahayanya. Karena penggunaan airsoft gun menurutnya juga memiliki syarat. Seperti batasan usia minimal 24 tahun hingga persyaratan psikologis.
"Apalagi ini yang pakai anak. Orang tua sejauh mana mengontrol tindakan dari anaknya yang dapat mengakses senjata yang potensi membahayakan masyarakat. Ketika ada anak di bawah umur, sejauh mana keluarga, orang tua, mereka harus bertanggung jawab," jelasnya.
Motif ketiga pelaku itu karena terobsesi game online. Menurut Satria ini merupakan tindakan yang sangat berbahaya. Sebab, pelaku menyetir mobil dengan sambil menembakkan airsoft gun sangat berbahaya.
Dia tegaskan bahwa polisi harus melakukan tindakan hukum bagi ketiga pelaku meskipun ada diversi hukum bagi anak di bawah umur. Dia juga mewanti-wanti jangan sampai polisi kendor hanya gegara orang tua para tersangka merupakan orang kaya.
"Proses hukum berdasarkan bukti-bukti. Jika anak di bawah umur, di peradilan anak mengenal diversi. Bukan hanya faktor uang atau kekayaan keluarga kemudian tidak diproses hukum, tapi sejauh mana keinsafan atau upaya tak mengulangi lagi penggunaan senjata. Ini titik tekannya di orang tua," ujarnya.
(dpe/iwd)