Anak 9 tahun berinisial GEL yang kerap disiksa ibu kandungnya berinisial ACA (26) di Manyar Tirtoyoso Selatan VIII, Surabaya diduga mengalami trauma tertunda. Pemkot Surabaya akan mendampingi GEL dengan psikolog atau psikiater menunggu kondisi fisiknya pulih.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Surabaya Ida Widayati mengatakan bahwa secara kasat mata GEL tidak mengalami gangguan psikis. Dia bahkan terlihat tegar meski berkali-kali disiksa ibunya.
"Kalau dilihat (secara) fisik anak ini tatak (kuat) banget. Nggak nangis terus," kata Ida ketika dihubungi detikJatim melalui telepon, Selasa (23/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kata dia, hal itu justru menjadi perhatiannya. Secara psikologis anak itu bisa jadi mengalami gangguan yang tidak diungkapkan. Buktinya, anak itu mengakui perlakuan kekerasan ibunya itu sampai terbawa mimpi.
"Cuma awal saya tanya, bisa tidur nggak? Atau pas tidur mimpi inget-inget perlakuan ibu nggak? Katanya 'kadang-kadag Bu, cuma nggak bisa tidurnya karena sakit sementara' gitu," paparnya.
Ida pun khawatir bahwa GEL mengalami trauma yang tertunda. Artinya, trauma pasca-kekerasan yang dia alami dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri itu akan membekas dan akan muncul sewaktu-waktu dan mendorong anak itu di kemudian hari menjadi pelaku kekerasan.
"Menurut saya mungkin bisa jadi ini trauma yang tertunda nanti. Pas dia jadi pelaku, kan, bahaya. Kami dampingi (dengan) psikolog atau pskiater, cuma nunggu sembuh dulu. Bahaya ini, bisa jadi trauma tertunda yang bisa dilampiaskan di kemudian hari," urainya.
Karena itulah DP3A-PPKB akan mendatangkan psikolog atau psikiater untuk mendampingi GEL. Namun, Ida mengatakan, pemeriksaan oleh psikolog atau psikiater ini baru bisa dilakukan ketika kondisi fisiknya pulih.
"Kami akan dampingi dengan psikolog atau psikiater cuma harus menunggu (luka fisiknya) sembuh dulu," ujar Ida.
Dalam sejumlah jurnal ilmiah trauma tertunda ini mirip dengan gejala PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis atau sangat tidak menyenangkan yang terjadi secara tertunda.
Dilansir dari berbagai sumber, istilah untuk PTSD tertunda itu adalah PTSD Onset Tertunda. Disebutkan bahwa PTSD onset tertunda ini merupakan subjek penelitian baru. Ilmuwan menemukan hampir satu dari empat diagnosis PTSD sebenarnya terjadi secara tertunda.
Artinya seseorang tidak mengalami gangguan stres pascatrauma yang dapat didiagnosis hingga setidaknya 6 bulan setelah terjadinya peristiwa traumatis. Disebutkan pula perlu waktu bertahun-tahun bagi seseorang untuk mulai menunjukkan respons trauma tersebut.
Saat ini, GEL yang telah mendapatkan sejumlah siksaan berbeda seperti disiram air panas, dipaksa minum air mendidih, bahkan dicabut giginya dengan tang itu telah ditangani di RSUD dr Soewandhie Surabaya.
"Sudah dibawa ke RS Soewandhie, cuma nggak perlu opname (rawat inap). Jadi di shelter sambil pemulihan fisik dan didampingi (petugas di sana)," kata Ida.
Ida pun berpendapat bahwa ibu kandung anak yang masih bersekolah di salah satu SD Negeri di Surabaya itu mengalami gangguan kejiwaan. Asumsi itu muncul karena perlakuan ibunya yang terkesan sangat keji terhadap anak-anak yang tidak berdaya.
"Menurut saya ibunya sakit, ya. Setiap kesalahan anak dia lakukan penyiksaan beda-beda. Banyu umep (air mendidih) disuruh kumur. Rusak dalamnya, kulit pipi kan lembut," kata Ida.
Padahal, menurut Ida, GEL sebenarnya merupakan anak yang sangat penurut kepada ibunya. Bahkan menurutnya anak itu tidak berani melawan apa yang telah diperintahkan oleh ibunya, meski apa yang diperintahkan itu menyakiti dirinya.
ACA (26), ibu kandung korban yang tinggal di Manyar Tirtoyoso Selatan VIII, Surabaya telah ditangkap dan ditahan. Penyiksaan yang dia lakukan terhadap anak kandungnya itu terbongkar setelah polisi menerima laporan dari Dinsos Surabaya pada 17 Januari 2024.
Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Hendro Sukmono mengatakan begitu mendapatkan laporan tersebut pihak kepolisian mendampingi korban untuk menjalani visum di RS Bhayangkara Polda Jatum.
"Kemudian Unit PPA polrestabes Surabaya melakukan klarifikasi terhadap pelapor, korban, maupun saksi. Lalu kami gelar perkara dan berangkat ke rumah pelaku untuk melakukan pengamanan terhadap terduga pelaku ACA di rumahnya," imbuh Hendro.
Atas perbuatannya, ACA terancam dijerat Pasal 44 ayat (2) UU RI Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT dan atau Pasal 80 ayat (2) dan (4) UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan ke dua atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Dia terancam hukuman 10 tahun penjara.
(dpe/iwd)