Tiga petani Blitar divonis bebas dalam sidang dakwaan penyerobotan lahan perkebunan cengkeh. Mereka pun mendapat dukungan dari warga untuk menuntut negara mengembalikan tanah nenek moyang.
Pagi itu, Jumat (13/10), situasi di Pengadilan Negeri (PN) Blitar lebih ramai dari biasanya. Puluhan warga Dusun Klakah, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, berkumpul di sana. Namun, karena hanya 10 orang yang diperkenankan masuk ruang sidang, warga lainnya duduk di lantai depan Ruang Sidang Candra.
Ekspresi wajah-wajah lugu itu menyiratkan semangat keberanian. Mereka menaruh harapan, tiga tetangganya yang didakwa menyerobot lahan perkebunan cengkeh mendapatkan putusan seadil-adilnya. Tiga terdakwa adalah Djemuri (63), Jiat Riadi (62), dan Priyanto Sukiran (52).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sidang terbuka yang dimulai pukul 09.30 WIB ini mendapat penjagaan ketat aparat keamanan. Dalam dakwaan yang dibacakan penyidik Polres Blitar Aipda Yuni Erfadianto, terkait sengketa lahan PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran Petak F9, F10, G9, G10, dan H10, ketiga petani didakwa melanggar pasal 6 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 51 tahun 1960 tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya atau Pasal 167 ayat (1) KUHPidana.
Hal tersebut turut dibenarkan saksi-saksi dari pihak PT Perkebunan Cengkeh, yakni Haris Saptiadi Mulyo, Doni Ardianto, dan Sunardi. Mereka menyampaikan para terdakwa dan sekitar 70 warga lainnya melakukan penyerobotan lahan dengan cara menanam ubi kayu di tanah milik PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran.
Kepemilikan tanah PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran dibuktikan dengan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas nama pemegang hak PT Perkebunan Tjengkeh berkedudukan di Malang, tertanggal 7 Maret 2017. Dan, sudah diperpanjang hingga tahun 2047.
Namun kesaksian ini dilemahkan oleh keterangan Kades Doko Danang Dwi Suratno. Danang menerangkan pihak desa tidak mempunyai catatan ataupun surat bukti HGU keberadaan PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran.
"Sudah berusaha meminta surat sebagai alas hak PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran tersebut, namun selalu diabaikan. Jadi saya tidak bisa menyalahkan apa yang dilakukan warga saya, selama saya belum melihat langsung fisik HGU itu," kata Danang dalam kesaksiannya.
Keterangan Danang juga dikuatkan dengan keterangan dari saksi Marto Slamet (89), serta keterangan para terdakwa yang menyatakan tanah tersebut bukanlah milik PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran. Melainkan tanah para terdakwa serta warga lainnya, yang diperoleh dari nenek moyang, sehingga soal kepemilikan masih berada dalam yuridiksi Peradilan Perdata.
"Kami yang tinggal di sana adalah keturunan nenek kami yang sudah lama tinggal di sana. Tahun 1952 kami sudah memegang Petok D dari pemerintah. Lalu tahun 1958, petok itu diminta pemerintah katanya wilayah itu mau dibangun lapangan udara. Dua tahun kemudian, tahun 1960 ternyata sudah ada perkebunan cengkeh itu. Kami merasa ditipu," paparnya dengan suara bergetar.
Saat itu, warga mulai bergolak. Pemkab Blitar kemudian melakukan musyawarah dan sepakat lokasi tersebut dikelola perkebunan cengkeh hanya dalam jangka waktu 25 tahun. Ternyata janji itu hanya isapan jempol belaka.
Aksi warga yang nekat menanam di lokasi perkebunan, sering memunculkan bentrokan fisik. Bahkan pada 2000, terjadi tragedi berdarah di lokasi itu. Dilaporkan dua warga Branggah tewas, enam terluka parah hingga mengalami cacat permanen.
"Dua warga kami tewas, banyak yang terluka diberondong senapan aparat. Bupati waktu itu berjanji, warga disuruh bersabar. Nanti tahun 2022 tanah akan dikembalikan kepada warga. Tapi nyatanya sampai sekarang kami menanam malah dipolisikan dan disidang. Kami mohon usut tuntas penembakan itu pak hakim," kata Marto yang disambut teriakan "merdeka!" oleh pengunjung di luar ruang sidang.
Sidang dihentikan pada pukul 11.20 WIB untuk melaksanakan salat Jumat, dan baru dimulai kembali pukul 01.15 WIB. Majelis Hakim Mohammad Syafi'i membacakan putusan sidang.
Ia mengatakan dengan menimbang berdasarkan keterangan para saksi, PN Blitar berpendapat substansi permasalahan dalam perkara ini pada prinsipnya tentang sengketa kepemilikan tanah antara PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran dengan para terdakwa dan warga yang seharusnya tunduk dalam yuridiksi Peradilan Perdata.
Majelis hakim juga menyebut, berdasarkan uraian dari pertimbangan hukum di atas maka unsur-unsur yang menjadi syarat-syarat dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, dalam implikasinya terhadap perkara ini tidak tepat. Perbuatan para terdakwa bukanlah tindak pidana sehingga harus dilepas dari segala tuntutan hukum.
"Perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana. Sehingga kami memutuskan melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum. Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. Dan menetapkan supaya biaya perkara sebesar Rp 5.000 dibebankan kepada negara," kata Syafi'i selalu hakim tunggal saat membacakan putusannya.
Pukul 15.00 WIB, sidang ditutup majelis hakim. Putusan bebas ini ternyata tak cukup melegakan ketiga petani dan warga Branggah yang mengikuti jalannya persidangan. Mereka ingin tanah warisan nenek moyangnya dikembalikan kepemilikannya kepada warga.
"Kembalikan tanah itu pada kami. Usut tuntas kasus penembakan yang menewaskan Pak Sumarlin dan Pak Samidi. Sampai sekarang tidak tersentuh hukum itu. Kami butuh hidup tenang," tandas Djemuri dengan gontai melangkah pulang.
(irb/dte)