Eksekusi 28 rumah di di Jalan Dukuh Pakis IV A, Kecamatan Dukuh Pakis, Surabaya diwarnai perlawanan dari penghuninya. Aksi saling dorong dengan polisi dan juru sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pun tak terhindarkan.
Eksekusi dimulai sejak pukul 09.00 WIB. Puluhan petugas dan alat berat juga telah disiagakan di lokasi. Sedangkan jumlah rumah yang hendak dirobohkan sebanyak 28 unit.
Juru Sita PN Surabaya Ria Widya Adhi mengatakan eksekusi berdasarkan penetapan PN Surabaya Nomor 11/EKS/2021/PN Sby juncto Nomor 944/Pdt.G/2019/PN Sby tanggal 9 Mei 2023. Putusan itu menyebutkan hakim menolak seluruh eksepsi turut tergugat seluruhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sengketa ini antara Weny Untari (pemohon) dan Sidik Dewanto dkk sebagai tergugatnya. Yang mengajukan gugatan (Weny) pada tahun 2019 dan sudah putus sejak 10 Maret 2020," kata Adhi, Rabu (9/8/2023).
Dalam pelaksanaannya, Adhi menerangkan dalam putusan hakim PN Surabaya juga menghukum para Tergugat atau siapapun yang mendapatkan hak atau menghuni di lahan itu. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari, terhitung sejak perkara ini mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk segera mengosongkan objek sengketa tersebut.
Namun eksekusi tersebut rupanya tak berjalan mulus, sebab para penghuni di 28 rumah yang dihuni 25 KK menolak dan melawan. Salah satunya dengan memblokade gang berukuran sekitar 3 hingga 4 meter itu.
Usai membacakan petikan putusan, juru sita, polisi, buruh angkat yang berusaha masuk ke lokasi dihadang penghuni. Aksi saling dorong pun tak terhindarkan. Mendapat perlawanan ini, Kabag Ops Polrestabes Surabaya AKBP Toni Kasmiri lalu menginstruksikan personelnya agar mengamankan siapapun yang menghalangi proses eksekusi. "Kalau ada yang memblokir tangkap," teriak Toni.
Aksi saling dorong itu berlangsung sekitar 30 menit dan penghuni akhirnya memutuskan untuk menyerah. Mereka mengaku tak bisa berbuat lebih, lalu pasrah dan mengeluarkan perabot dari rumah. Tak lama alat berat mulai mengeksekusi bangunan.
Warga yang rumahnya dieksekusi tampak mengais sejumlah harta benda yang tersisa. Seluruhnya, diletakkan di balai RW, tetangga, hingga lahan kosong di sekitar lokasi.
Salah satu warga setempat, Imam mengaku tak tahu bila 28 rumah yang dieksekusi itu berdiri di atas tanah milik Yayasan Joky Club, Jenderal Suryo. Sebab, warga saat ini merupakan anak dan cucu dari para orang tua yang dulunya berdagang di Pasar Bunga Kayoon Surabaya.
"Warga ini dulunya disuruh menempati tanah di sini untuk ditinggali. Mereka (warga saat ini) itu anak cucunya, dulunya (para orang tua dan kakek nenek) penjual bunga di Jalan Kayoon. Lalu, tahun 1978 direlokasi ke Dukuh Kupang oleh Jenderal Suryo," kata Imam.
Hal senada disampaikan Alfie. Pria berusia 74 tahun itu menyebut tanah yang dihuni para warga itu dulunya hanya persil yang oleh Camat Dukuh Pakis kala itu dipersilahkan untuk dihuni tapi bukan untuk diperjualbelikan.
"Memang ini dulunya para pedagang bunga di Kayoon, diminta menempati Pak Camat di sini dan tidak boleh dijual. Jadi, ada yang dijual dan sebagainya itu urusan mereka, yang jelas dulu ini tanah dari Pak Camat untuk menempati saja, memang tidak untuk dijual, kisaran tahun 1978-an, saya masih kerja kok saat itu," tutur Alfie.
Alfie mengakui kesalahan ada pada orang tua dan kakek nenek warga yang dieksekusi. Menurutnya, rumah yang dijual tak jelas administrasi kala membeli tanah itu.
"Warga juga gak pegang apa-apa (surat-surat) sebenarnya dan memang tidak diperjualbelikan, tidak ada surat sahnya. Ini sudah jatuh cucu kalau tidak ya anak, jadi orang tuanya yang dulu sudah tidak ada dan rata-rata 1 rumah jadi beberapa KK begitu. Dulu, ini masih jalan setapak pas saya kerja," jelasnya.
Sementara itu, salah satu warga, Hari (48) mengaku hanya pasrah saat rumahnya dieksekusi. Ia menyatakan tak tahu harus mengungsi ke mana bersama anak dan istrinya. "Iya, saya juga kena eksekusi, mulai sini (sisi depan) sampai belakang. Ya pasrah saja, mau bagaimana lagi," tandas Hari.
(abq/iwd)