"Memohon kepada majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menyatakan perbuatan terdakwa M. Samanhudi Anwar terbukti melakukan pencurian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP dalam perampokan rumah dinas Wali Kota Blitar. Menjatuhkan pidana selama 5 tahun dan menyatakan terdakwa tetap ditahan," kata Syahrir saat membacakan surat tuntutan di Ruang Cakra PN Surabaya, Selasa (5/9/2023).
Syahrir menjelaskan sikap dan tutur kata sopan Samanhudi selama sidang, mengakui dan menyesali perbuatannya adalah hal yang meringankan hukumannya. Sementara, perbuatannya yang dinilai merugikan orang lain, pernah dihukum pidana, serta sebagai tokoh masyarakat dianggap menjadi hal yang memberatkan pidananya.
Usai hal tersebut, Samanhudi lantas meminta kepada hakim untuk kembali hadir dalam sidang. Ia ingin menyampaikan nota pembelaan secara langsung. Sidang tuntutan ini memang digelar secara online.
![]() |
"Izin yang mulia, saya akan bacakan pembelaan saya pribadi di depan majelis secara offline, serta pembelaan dari pengacara," ujarnya.
Namun, keinginannya 'bertepuk sebelah tangan'. Sebab, majelis hakim yang diketuai Abu Achmad Sidqi Amsya menolaknya. Menurut Abu, jaringan normal dan suara yang terdengar jelas membuat keinginan sidang secara offline itu ditolak.
"Suara terdakwa terdengar dengan baik dan kami tetapkan online, jadi silakan saudara menyampaikan dalam sidang secara online. Majelis beranggapan tidak ada prinsip yang mengganggu ya, saya kira begitu ya dan bisa diterima ya," tuturnya.
Sementara itu, penasihat hukum Samanhudi, Henru Purnomo dan Wahyu Endrawan meminta waktu 1 minggu dan meminta hakim menyetujui keinginan kliennya untuk membacakan pledoi secara offline dengan alasan tidak membahayakan keselamatan siapapun. Namun, hal itu sia-sia lantaran hakim tetap menolaknya.
Usai sidang, Hendro menyebut tuntutan dari JPU sangat fantastik bila dibandingkan dengan hal-hal yang sudah terungkap di persidangan. Ia kekeh menyebut Samanhudi sama sekali tidak mengotaki perampokan, termasuk sakit hati dan dendam dari Samanhudi pada wakilnya, Santoso.
"Itu sakit hati hanya isu dan rumor yang timbul karena Samanhudi memberikan orasi yang sedemikian dahsyat dan dimengerti oleh masyarakat bahwa itu suatu hal yang sifatnya orasi. Tapi, dari penyidik dan jaksa (menganggap) sebagai hasutan, rasa ungkapan sakit hati, padahal tidak. Di sini tidak bisa dibedakan antara bahasa politik dan bahasa sehari-hari," katanya.
Hakim lantas memutuskan sidang dilanjutkan pekan depan Tepatnya, pada Selasa (12/9/2023) pukul 09.00 WIB dengan agenda pembelaan.
(pfr/iwd)