Susdianto alias Sugiono alias Sugik membunuh empat orang yang merupakan satu keluarga pada 1996. Mereka yakni Sukardjo, istri dan dua orang anaknya. Sugik kemudian divonis hukuman mati. Namun begitu, ia lolos dari eksekusi.
Sehari-hari, Sugik merupakan tukang becak di Surabaya. Pria asal Lumajang itu mencari nafkah dengan becak yang ia sewa dari Abdul Kholik.
Nahas, suatu hari becak yang ia parkir ternyata hilang dicuri orang. Ia kemudian melaporkan kehilangan itu kepada pemiliknya dan harus mengganti sebesar Rp 200 ribu dalam tempo seminggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugik yang waktu itu masih berumur 19 tahun bingung ke mana harus mencari uang untuk mengganti becak yang hilang. Ia kemudian teringat dengan keluarga Sukardjo di Jalan Jojoran, Surabaya.
Antara Sugik dan keluarga Sukardjo sebenarnya tak ada masalah. Sugik teringat karena memang kerap mangkal di sekitar Jojoran. Ia teringat Sukardjo karena berniat mencuri motor milik Sukardjo.
Rencana pun dilaksanakan. Sugik kemudian datang ke rumah Sukardjo. Saat itu rumah sedang sepi dan hanya ada anaknya yang bernama Danang Priyo Utomo.
Saat ditanya Danang, Sugik berdalih disuruh ibunya untuk mengecat tembok rumah. Tak curiga, Danang kemudian mempersilakan Sugik. Segera Sugik berpura-pura mengambil kuas dan roll untuk mengecat.
Bukan mengecat, Sugik malah menghantam Danang dengan kayu hingga tewas. Mengetahui Danang tewas, Sugik menjadi gelisah. Ia kemudian berusaha kabur.
Tapi saat itu, di luar rumah sedang banyak orang. Lalu ia mengurungkan niatnya kabur. Ia memutuskan tetap di dalam rumah. Tak lama datang Eko Sucahyo, anak Sukardjo lainnya.
Sama, Eko juga langsung dihabisi oleh Sugik. Lalu disusul Hariningsih dan terakhir Sukardjo. Mereka bernasib sama. Dibantai Sugik dengan kayu saat masuk rumah.
Dalam waktu setengah hari, Sugik telah menghabisi empat nyawa. Ia lalu bingung. Sugik kemudian membuat lubang di kamar mandi. Sugik pembunuh berdarah dingin.
Waktu membuat lubang itu, Sugik sempat keluar dan ngopi di warung yang berada di sekitar rumah Sukardjo. Usai ngopi, ia kemudian masuk rumah lagi.
Namun karena tak kunjung rampung, Sugik akhirnya memutuskan pulang ke kosnya. Keesokan harinya, ia melanjutkan menggali lubang. Empat mayat satu keluarga itu kemudian dikubur begitu saja dalam satu lubang.
Sebelum pergi, ia sempat merogoh kantong Sukardjo dan menemukan uang sebesar 228 ribu. Sugik lalu meninggalkan rumah itu dengan membawa motor Suzuki. Ia kemudian dengan tenang mengganti becak yang hilang ke Abduk Kholik.
Usai membayar becak yang hilang, Sugik bersenang-senang di lokalisasi Gang Putat Jaya. Sedangkan motor itu, ia akan gadaikan di pegadaian dekat Pasar Wonokromo.
Karena sudah malam, ia berencana menggadaikan keesokan harinya. Namun belum sempat ia menggadaikan motor itu, tepat pada 28 Februari 1996, ia keburu ditangkap polisi.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Sugik divonis hukuman mati. Beberapa kali upayanya untuk lolos dengan banding hingga kasasi mentok. Tak terkecuali grasi yang dilayangkan pada zaman Presiden Jokowi juga ditolak.
Pada 2016, setelah menjalani 20 tahun hukuman penjara, kabar eksekusi Sugik tengah dipersiapkan. Namun pada saat yang sama kondisi kejiwaan Sugik mengalami gangguan. Ia selanjutnya dirujuk ke rumah sakit jiwa.
Pada 2019, kabar mengenai Sugik tersiar. Ia batal dieksekusi mati karena mengidap penyakit kejiwaan. Itu disampaikan Kepala Kejati Jatim Mohamad Dhofir.
"Kami di Jawa Timur ada empat terpidana eksekusi mati. Ada satu orang Sugiono, dia posisi ada di LP Porong. Rupanya kemarin waktu kami cek ke sana, dia dalam posisi sakit jiwa. Jadi pemeriksaan pertama itu dokter menyatakan sakit jiwa," kata Dhofir saat itu.
Tak hanya itu, Dhofir menyebut pihaknya juga telah mendatangi Sugik untuk memastikan kondisi kejiwaannya. Hasilnya, Sugik memang masih mengidap penyakit jiwa. "Kita datang lagi masih dinyatakan sakit jiwa," tutur Dhofir.
Menurut Dhofir, di Jatim ada empat orang terpidana mati. Namun, tiga di antaranya masih mengupayakan grasi hingga peninjauan kembali atau PK. Sedangkan berkas Sugik telah ditolak, baik grasi maupun PK-nya.
"Kalau eksekusi mati, di antara empat itu, hanya Sugiono yang proses hukumnya selesai. Grasinya sudah ditolak, PK-nya ditolak. Tinggal dieksekusi, namun dia masih posisi sakit," ungkap Dhofir.
"Kalau orang yang mau dieksekusi, pasti ditanyakan pesan terakhirnya apa. Itu syarat orang yang mau dieksekusi. Karena dia gila, jadi tidak bisa ngomong permintaan terakhirnya apa, sehingga di situlah menjadi kendala kita untuk melaksanakan eksekusi kita terhadap satu orang," pungkas Dhofir.
Crime Story merupakan rubrik khusus yang mengulas kisah kriminal yang pernah terjadi di Jatim. Crime Story tayang setiap Jumat.