Kuasa hukum Abdul Wahed Dwi Nopianto mengaku keberatan dengan tuntutan 10 tahun dari JPU. Setelah menghadiri sidang pembacaan tuntutan di ruang Candra Pengadilan Negeri Surabaya Dwi menyampaikan tanggapannya.
Kepada detikJatim ia menyatakan bahwa penyerangan terhadap Abdul Halim itu dilakukan oleh kliennya demi menjaga marwah keluarga. Maka dari itu, tuntutan yang dilayangkan JPU dianggapnya tidak berdasar.
"Memang, klien kami bersalah dengan melakukan itu (penganiayaan berujung kematian). Tapi, hal itu dilakukan bukan karena gengsi, tapi menjaga harga diri keluarga," kata Dwi saat ditemui usai sidang, Senin (20/6/2022).
Dwi menjelaskan, apa yang dilakukan kliennya adalah akibat dari emosi sesaat. Meski pada akhirnya tindakan tersebut berujung pada kematian korban.
"Sekarang bayangkan, bagaimana sih rasanya kalau istri sendiri dibegitukan sama orang lain? Apa yang klien kami lakukan murni karena emosi sesaat," ujarnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hasan Efendi membacakan tuntutan terhadap terdakwa 10 tahun pidana penjara.
"Memohon kepada majelis hakim, menuntut terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan sesuai dengan pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan pidana penjara 10 tahun dikurangi masa tahanan," kata Hasan Efendi di sidang itu, Senin (20/6/2022).
Dalam persidangan itu Kuasa Hukum Abdul Wahed Dwi Nopianto menyampaikan keberatan itu dan berencana menjawab tuntutan itu dengan pledoi di persidangan yang akan datang.
"Kami minta waktu 1 minggu yang mulia," ujarnya kepada Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Sutrisno. Dwi menilai bahwa tuntutan 10 tahun dari JPU itu tidak berdasar
"Yang jelas, tuntutan dari JPU tidak berdasar. Kami akan melakukan pembelaan terhadap klien kami," katanya.
Pembunuhan itu terjadi setelah Wahed resmi keluar dari penjara pada 16 Juni 2021. Enam bulan kemudian, tepatnya pada Desember 2021, ia mendapati janin di perut istrinya sudah berusia 9 bulan siap lahir. Artinya, kehamilan istrinya terjadi 3 bulan sebelum Wahed bebas dari penjara. Wahed pun merasa curiga.
Istrinya Maimuna akhirnya mengaku bahwa dirinya telah berkenalan dengan Abdul Halim melalui Facebook. Kemudian pada Desember 2020 di sebuah warkop di kawasan Suramadu, Kenjeran, Surabaya keduanya bertemu untuk pertama kalinya.
Seiring waktu berjalan Maimuna dan Abdul Halim mulai menjalin asmara. Mereka bahkan sudah 3 kali melakukan hubungan badan di sebuah hotel di kawasan Kenjeran, Surabaya hingga akhirnya Maimuna berbadan dua.
Terdakwa Abdul Wahed pun mendesak istrinya untuk memberitahu siapa laki-laki yang telah menghamilinya. Istrinya hanya memberi tahu ciri-ciri fisiknya, jenis sepeda motor, serta plat nomor sepeda motor milik Abdul Halim.
"Saat itu diberitahu istri, ciri-ciri fisik, motor, dan plat nomor (motor korban)," kata terdakwa kepada Ketua Majelis Hakim.
Pada Sabtu 18 Desember 2021 lalu terdakwa Abdul Wahed sengaja mencari pria yang dimaksud istrinya di kawasan Jalan Bibis, Surabaya bersama salah seorang rekannya berinisial S yang masih dicari polisi.
Keduanya akhirnya menemukan laki-laki yang dimaksud istrinya. Korban Abdul Halim saat itu mengendarai Yamaha Jupiter warna hitam kombinasi hijau bernopol L 3810 MU. Persis seperti yang disebut Maimuna.
(dpe/iwd)