121 Tahun Berdiri Kokoh, Gereja Merah Jadi Saksi Sejarah Kota Kediri

121 Tahun Berdiri Kokoh, Gereja Merah Jadi Saksi Sejarah Kota Kediri

Andhika Dwi - detikJatim
Jumat, 19 Des 2025 18:30 WIB
121 Tahun Berdiri Kokoh, Gereja Merah Jadi Saksi Sejarah Kota Kediri
Gereja Merah Jadi Saksi Sejarah Kota Kediri (Foto: Andhika Dwi/detikJatim)
Kediri -

GPIB Immanuel Kediri atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Gereja Merah, menjadi salah satu bangunan bersejarah yang hingga kini masih kokoh berdiri dan aktif digunakan sebagai tempat ibadah. Gereja berusia 121 tahun ini menyimpan jejak sejarah panjang sejak masa kolonial Belanda.

Juru Pelihara GPIB Immanuel Kediri, Hendrik Lorenz, mengungkapkan bahwa keterbatasan arsip menjadi tantangan dalam menelusuri sejarah awal pembangunan gereja tersebut. Namun, satu fakta penting yang masih tercatat adalah peletakan batu pertama pada 21 Desember 1904.

"Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pendeta J.A Broers, pendeta pertama yang melayani di Kediri," kata Hendrik, Jumat (19/12/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pendeta Broers merupakan pendeta asal Belanda yang pertama kali melayani jemaat Protestan di Kediri. Menurut Hendrik, pembangunan gereja dikerjakan oleh J. V. D Dungen Gronovius yang berperan sebagai pelaksana pada masa itu.

Meski tidak ditemukan arsip teknis seperti gambar bangunan atau catatan detail proses konstruksi, pembangunan gereja diperkirakan berlangsung selama dua hingga tiga tahun. Latar belakang pendirian gereja bermula ketika Pendeta Broers meminta izin kepada Residen Kediri kala itu untuk memanfaatkan lahan kosong sebagai tempat ibadah.

ADVERTISEMENT

Gereja ini kemudian menjadi pusat ibadah jemaat Protestan di Kediri, yang mayoritas terdiri dari tentara, pejabat kolonial, serta warga Eropa dari berbagai negara seperti Belanda dan Belgia. Keberadaan pabrik-pabrik gula dan industri lainnya di Kediri turut mendorong keberagaman jemaat gereja tersebut.

Secara arsitektur, Gereja Merah mengusung gaya neogotik khas Eropa, yang tampak dari bentuk bangunan, jendela-jendela tinggi, serta balkon kayu di bagian dalam gereja yang masih asli hingga kini.

"Bangunan ini murni dari susunan batu bata merah tanpa rangka besi. Semua ditumpuk menggunakan pasir dan kapur seperti konstruksi zaman dulu," jelas Hendrik.

Julukan 'Gereja Merah' sendiri baru populer pada sekitar tahun 2014, usai erupsi Gunung Kelud. Saat itu, bagian depan gereja terbuka akibat runtuhan material vulkanik, sehingga warna merah bata bangunan tampak jelas dan menarik perhatian pelajar serta masyarakat yang berkunjung.

Warna merah pada gereja bukan sekadar estetika, namun memiliki fungsi untuk menyamarkan lumut serta menegaskan identitas bangunan yang sepenuhnya terbuat dari bata merah.

Hingga kini, Gereja Merah masih dirawat secara manual oleh jemaat. Perawatan dilakukan rutin, termasuk perbaikan jendela kaca patri yang sebagian sudah diganti akibat kerusakan. Sementara itu, balkon kayu, pintu utama, serta sebagian besar struktur bangunan masih asli.

Gereja Merah telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, dengan status peringkat provinsi. Meski berusia lebih dari satu abad dan sempat terdampak erupsi Gunung Kelud, bangunan ini dinilai masih kokoh dan aman digunakan.

"Kami berharap masyarakat Kediri ikut menjaga dan melestarikan bangunan bersejarah ini. Gereja Merah bukan hanya milik jemaat, tetapi juga bagian dari identitas dan sejarah Kota Kediri," pungkas Hendrik.




(auh/hil)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads