Di balik tembok tua Gereja Merah Kediri, tersimpan sebuah kitab suci yang diam-diam menjadi saksi perjalanan panjang iman dan sejarah. Sebuah Alkitab kuno, dicetak pada 1867 dan ditulis dalam bahasa Belanda lama, masih terawat rapi hingga hari ini.
Usianya yang telah melampaui satu abad, menjadikannya bukan sekadar kitab ibadah, melainkan juga artefak bersejarah yang bernilai tinggi.
Alkitab tua itu memiliki kisah perjalanan yang tak kalah panjang. Juru pelihara Gereja GPIB Immanuel Kediri, Hendrik Lorenz menuturkan, kitab tersebut pertama kali dibawa ke Kediri oleh Pendeta Brurie Yohanes Assah, yang pernah melayani jemaat di kota ini pada rentang 1985 hingga 1990.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah menyelesaikan tugas pelayanannya di Kediri, Pendeta Brurie melanjutkan pengabdian ke Plaju, Sungai Gerong, Palembang. Di sanalah ia mengetahui keberadaan Alkitab kuno tersebut.
Ingatannya kemudian tertuju pada Gedung Gereja Merah Kediri yang dikenal sebagai bangunan tua dan relatif aman untuk menyimpan benda bersejarah.
"Beliau berpikir Gereja Merah lebih layak untuk penyimpanan, karena bangunannya kokoh dan usianya juga sudah tua, sementara lokasi asal Alkitab itu saat itu sedang dibongkar," kata Hendrik, Kamis (18/12/2025).
Alkitab kuno di Kediri Foto: Andhika Dwi/detikJatim |
Demi alasan keamanan, Alkitab tersebut sempat dibawa ke Yogyakarta ketika Pendeta Brurie melanjutkan studi. Perjalanan kitab tua itu berakhir di Kediri pada 1999, setelah dibawa kembali dengan bantuan jemaat, lengkap dengan surat jalan dan keterangan resmi.
Sejak saat itulah, Alkitab kuno tersebut menjadi bagian dari kekayaan sejarah Gereja Merah Kediri.
Pada masa-masa awal penyimpanannya, Alkitab berusia ratusan tahun itu tidak hanya disimpan sebagai koleksi. Hendrik mengenang, kitab tersebut sempat digunakan dalam ibadah Minggu. "Dulu saya letakkan di tengah dan dibuka setiap hari Minggu, disesuaikan dengan inti khotbah yang dibacakan," ujarnya.
Baca juga: Simbol Natal dan Maknanya |
Namun seiring bertambahnya usia kitab tersebut, pihak gereja mulai membatasi penggunaannya. Kini, Alkitab kuno itu hanya dikeluarkan pada ibadah hari-hari besar, demi menjaga kondisinya agar tetap lestari. Dengan berat sekitar lima kilogram, sampul tebal, serta pengunci besi, fisiknya masih terlihat kokoh meski dimakan usia.
Dicetak di Belanda dengan bahasa Belanda lama, Alkitab ini tidak mencantumkan nama penulis maupun penerjemah secara jelas. Meski demikian, terdapat pengesahan resmi dari percetakan di Belanda. Secara keseluruhan, kondisinya dinilai masih cukup baik.
"Sekitar 80 persen masih bagus, walaupun ada beberapa bagian yang sobek dan terlepas. Tahun lalu Alkitab ini juga sudah didigitalisasi oleh Dinas Kearsipan," jelas Hendrik.
Hingga kini, belum ada kajian akademik khusus yang meneliti lebih jauh isi maupun nilai historis Alkitab tersebut. Namun ke depan, pengelola gereja bersama pemerintah daerah memiliki harapan besar agar kitab bersejarah ini bisa dirawat lebih optimal.
"Kami berharap Alkitab ini bisa ditempatkan di ruang khusus berbahan kaca agar dapat dilihat pengunjung. Ada juga usulan digitalisasi dengan barcode, supaya isinya bisa diakses tanpa harus membuka fisik Alkitab," pungkas Hendrik.
Di tengah hiruk pikuk zaman, Alkitab kuno di Gereja Merah Kediri menyimpan kisah iman, perjalanan, dan sejarah yang terus hidup dari generasi ke generasi.
(irb/hil)












































