Salah satu legenda yang masih dikenal luas di Jawa Timur adalah legenda Joko Umbaran, tokoh yang diyakini memiliki hubungan erat dengan kesenian Bantengan. Menurut beberapa sumber, Joko Umbaran disebut sebagai sosok inspiratif yang menjadi simbol keberanian dalam kesenian Bantengan.
Namun, seperti banyak cerita rakyat lainnya, kisah tentang Joko Umbaran memiliki beragam versi dan belum ditemukan sumber sejarah yang benar-benar pasti. Meski begitu, nama Joko Umbaran tetap melekat kuat dalam seni pertunjukan Bantengan yang berkembang di Malang dan wilayah sekitarnya.
Asal-usul Cerita Joko Umbaran
Tidak banyak catatan tertulis yang dapat memperkuat sejarah Joko Umbaran. Namun, masyarakat Malang meyakini cerita ini berasal dari masa Kerajaan Singosari. Joko Umbaran digambarkan sebagai seorang pemuda pemberani dan menjadi pahlawan rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia dipercaya memiliki kekuatan luar biasa layaknya seekor banteng. Karena itu, simbol banteng kemudian dikaitkan erat dengan sosoknya. Keberanian dan kekuatan Joko Umbaran inilah yang dipercaya menjadi dasar munculnya kesenian Bantengan.
Kirab 1000 bantengan di Kota Batu Foto: Kirab 1000 bantengan di Kota Batu (M Bagus Ibrahim/detikJatim) |
Dalam pertunjukan Bantengan, unsur kekuatan, ketangkasan, serta ritual spiritual dianggap selaras dengan karakter Joko Umbaran yang gagah dan tidak mudah dikalahkan. Hingga kini, nama Joko Umbaran masih sering disebut sebagai figur inspiratif dalam tradisi Bantengan.
Warisan Budaya dari Lereng Gunung
Beberapa catatan menyebut bahwa kesenian Bantengan sudah ada sejak era Kerajaan Singhasari di Kabupaten Malang, pada abad ke-13. Pada masa awal kemunculannya, pertunjukan Bantengan belum menggunakan topeng kepala banteng seperti saat ini.
Karnaval Bantengan Nuswantara di Kota Batu Foto: M Bagus Ibrahim/detikJatim |
Bentuk tarian pun lebih sederhana dan banyak menampilkan gerakan Kembangan, yaitu teknik dasar pencak silat sebagai bentuk pemanasan sebelum bertarung. Seiring waktu, Bantengan berkembang menjadi seni pertunjukan yang memadukan unsur tari, bela diri, musik tradisional, dan ritual spiritual.
Pertunjukan ini biasanya melibatkan penari, pawang, serta pemain musik yang memainkan instrumen seperti gamelan, kendang, dan gong. Sebelum pementasan dimulai, pawang melakukan ritual khusus untuk memohon perlindungan kepada roh leluhur.
Hal ini menjadikan Bantengan tidak hanya sebagai hiburan, tetapi bagian dari tradisi spiritual masyarakat setempat. Kesenian Bantengan banyak dijumpai di daerah lereng pegunungan, terutama wilayah Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi, hingga Raung-Argopuro.
Pertunjukan Bantengan biasanya dimainkan dua orang yang berada di dalam kostum banteng. Pemain bagian depan bertugas memegang kepala banteng sekaligus mengontrol gerakan, sedangkan pemain bagian belakang berperan sebagai tubuh dan ekor bantengan.
Fenomena Kesurupan dalam Pertunjukan Bantengan
Salah satu hal yang sering muncul dalam pertunjukan Bantengan adalah fenomena kesurupan. Hal ini dipicu keberadaan dua tokoh yang dikenal sebagai irengan dan abangan.
Irengan adalah laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam, sedangkan abangan mengenakan pakaian merah. Keduanya dipercaya memiliki peran penting dalam suasana magis yang muncul selama pertunjukan berlangsung.
Perpaduan musik, ritual, dan energi spiritual yang dihadirkan dalam Bantengan seringkali membuat para pemain atau penonton mengalami kondisi trance atau kesurupan. Meski begitu, kondisi tersebut dianggap sebagai bagian dari tradisi, sehingga pawang memiliki peran penting untuk mengendalikan jalannya pertunjukan.
Ornamen dan Perlengkapan dalam Kesenian Bantengan
Dalam Kesenian Bantengan, terdapat sejumlah ornamen khas yang menjadi ciri utama pertunjukan dan memperkuat identitas budaya di dalamnya. Setiap elemen dibuat dengan detail dan dipilih secara khusus untuk menciptakan tampilan yang gagah sekaligus sarat makna.
Ornamen dan perlengkapan dalam kesenian bantengan Foto: Dok. PDIP |
- Tanduk dari banteng, sapi, kerbau, atau hewan sejenisnya.
- Kepala banteng yang dibuat dari kayu waru, dadap, loh, miri, nangka, dan beragam jenis kayu lainnya.
- Mahkota bantengan berupa sulur wayang dari kulit atau kertas.
- Kelontong, keranjang penjalin, serta kain hitam untuk menutupi badan dan kaki pemain.
- Gongseng kaki yang dipasang sebagai aksesori saat menari.
- Keluhan atau tali kendali untuk mengatur gerakan bantengan.
Semua ornamen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap visual, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang berkaitan dengan kekuatan serta perlindungan spiritual dalam tradisi Bantengan.
Bantengan di Era Modern
Hingga kini, kesenian Bantengan tetap menjadi salah satu warisan budaya yang diminati masyarakat Jawa Timur. Pertunjukan ini kerap hadir dalam berbagai acara budaya, festival daerah, hingga perayaan hari besar sebagai simbol kekuatan, keberanian, dan solidaritas.
Kehadirannya selalu mampu menarik perhatian karena memadukan unsur musik, tarian, serta atraksi yang penuh energi. Meski mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu, nilai tradisi dan filosofi Bantengan tetap dijaga agar tidak kehilangan karakter aslinya.
Komunitas pelestari seni ini terus merawat perangkat, ritual, hingga teknik pertunjukan agar tetap sesuai pakem, sekaligus membuat inovasi yang relevan dengan generasi muda. Dengan cara inilah Bantengan tetap hidup dan diterima luas oleh masyarakat masa kini.
Bahkan, saat ini kesenian Bantengan tengah diupayakan untuk didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Upaya ini bertujuan menjaga kelestarian Bantengan sekaligus memberikan perlindungan terhadap identitas budaya masyarakat Jawa Timur.
Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)














































