- Pendirian Pabrik Gula De Djatiroto 1. Masa Perintisan dan Pendirian (1884-1912) 2. Puncak Kejayaan Kolonial dan Penggabungan (1918-1942) 3. Masa Pendudukan Jepang dan Peralihan (1942-1957) 4. Masa Kemandirian dan Bertahan (Pasca-1957 hingga Kini)
- Lingkup Kompleks Industri
- Dampak Sosial dan Fasilitas Pendukung
Lebih dari satu abad beroperasi, Pabrik Gula (PG) De Djatiroto masih mempertahankan arsitektur kolonial yang megah dan sistem transportasi unik menggunakan lokomotif penarik lori tebu. Dibangun di atas lahan hutan dan rawa, PG Djatiroto adalah manifestasi ambisi besar perusahaan Belanda, menjadikannya kompleks industri yang terintegrasi.
Mulai beroperasi pada 1910, pabrik ini telah menjadi pusat kegiatan sosial dan ekonomi yang mendominasi kawasan sekitarnya. Dari sistem pengairan, fasilitas sosial, hingga perubahan nama. Lalu, bagaimana jejak sejarah yang masih tersimpan di dalamnya?
Baca juga: Pabrik Gula Merah di Tulungagung Terbakar |
Pendirian Pabrik Gula De Djatiroto
Dikutip dari laman Perpustakaan BBPMP Provinsi Jawa Barat, sejarah Pabrik Gula (PG) Djatiroto, yang berlokasi di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, tidak lepas dari era eksploitasi kolonial Belanda di mana gula menjadi komoditas vital untuk pasar Eropa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Masa Perintisan dan Pendirian (1884-1912)
Ladang tebu milik Pabrik Gula Jatiroto Foto: Tropenmuseum |
1884: Pembangunan PG Djatiroto dimulai sebagai inisiatif Handel Vereeniging Amsterdam (HVA), sebuah perusahaan swasta Belanda yang ambisius mencari lokasi strategis.
1901: Lokasi yang cocok ditemukan di Desa Ranupakis, Kecamatan Klakah, Lumajang. Proses pembersihan lahan besar-besaran (babat hutan) dimulai.
1905-1910: Pembangunan fisik pabrik selesai pada tahun 1910, dan PG Ranupakis (nama awal Djatiroto) mulai beroperasi.
Pabrik Gula Djatiroto di Jawa Timur dengan gerbong tangki dan instalasi pengisian dari N.V. Pure Cane Molasses Company Java,Foto: Tropenmuseum |
1912: Peningkatan Kapasitas dan Perubahan Nama. Setelah produk gula dipasarkan namun belum mampu memenuhi permintaan pasar Eropa, HVA mengambil langkah signifikan. Kapasitas giling PG Ranupakis ditingkatkan dari 1.100 ton tebu per hari (TTH) menjadi 2.400 TTH. Bersamaan dengan peningkatan ini, HVA mendirikan pabrik baru dan memilih nama PG Djatiroto, karena wilayah Jatiroto telah menjadi daerah perkebunan tebu utama untuk pabrik Ranupakis.
2. Puncak Kejayaan Kolonial dan Penggabungan (1918-1942)
1918: Pemerintah Belanda mengeluarkan Grondhuur Ordonnantie (Ordonansi Sewa Tanah). Peraturan ini sangat menguntungkan HVA, yang kini dapat menyewa tanah rakyat dalam jangka waktu panjang (21,5 tahun) untuk meningkatkan kapasitas produksi tebu.
1920: Penutupan dan Konsolidasi PG Ranupakis. Karena mendapat sewa lahan yang luas dari rakyat, termasuk tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang sebagian besar berada di Jatiroto, HVA memutuskan menutup PG Ranupakis dan menggabungkannya ke dalam PG Djatiroto. Keputusan ini juga didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi Jatiroto lebih strategis dan memiliki jenis tanah yang lebih cocok dibandingkan Ranupakis.
Depo lokomotif Pabrik Gula Djatiroto Foto: Tropenmuseum |
Pengembangan Produk Ikutan: Selain memproduksi gula, PG Djatiroto juga mengembangkan produk lain sebagai hasil ikutan atau samping, yaitu pabrik spiritus dan alkohol.
Interior Pabrik Gula Djatiroto Foto: Tropenmuseum |
3. Masa Pendudukan Jepang dan Peralihan (1942-1957)
Masa Pendudukan Jepang: Produksi gula mengalami penurunan drastis karena banyak lahan tebu yang dialihfungsikan menjadi lahan tanaman makanan (seperti padi dan jagung) untuk kebutuhan logistik militer Jepang.
Pasca-Jepang: Ketika Belanda kembali, fungsi PG Djatiroto dikembalikan seperti semula, namun situasi politik dan keamanan sangat labil.
Foto udara Pabrik Gula Djatiroto Foto: Tropenmuseum |
1957: Nasionalisasi dan Penyerahan ke Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, PG Djatiroto dinasionalisasi sebagai bagian dari program pemerintah untuk mengambil alih perusahaan asing. Penyerahan resmi dari pihak Belanda (diwakili Grit Van Lietje, administrator HVA) kepada pihak Indonesia (diwakili Soekanto, Soekandar, dan Mochtar Effendy) tertuang dalam surat pemerintahan militer No SPPKM/016/12/1957.
4. Masa Kemandirian dan Bertahan (Pasca-1957 hingga Kini)
Pabrik Gula (PG) Jatiroto Lumajang Foto: Nur Hadi Wicaksono/detikJatim |
Tantangan Awal: Setelah penyerahan, administrator pertama ditunjuk, yaitu R. Moeljono Hadipoera. Periode ini penuh tantangan karena banyak pegawai Belanda yang kembali ke negaranya, menyebabkan kekosongan tenaga ahli. Selain itu, PG Djatiroto harus berjuang keras mencari pasar baru dan mengatasi masalah penggantian onderdil/suku cadang mesin.
Faktor Kunci Bertahan: Meskipun menghadapi berbagai masalah dan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, PG Djatiroto tetap dapat bertahan hingga saat ini. Salah satu faktor kunci adalah kepemilikan tanah HGU yang cukup luas, yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tebu. Hal ini mempermudah pengaturan masa giling, ditambah pasokan dari tebu rakyat dan mendatangkan karyawan musiman saat masa giling tiba.
Lingkup Kompleks Industri
PG Djatiroto terletak di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Lokasinya berada di bagian timur wilayah Lumajang, berbatasan dengan Kabupaten Jember.
Pabrik Gula Jatiroto Foto: Nur Hadi Wicaksono |
Luas Wilayah: Kompleks PG Djatiroto memiliki luas total mencapai sekitar 700 hingga 7.200 hektare pada masa jayanya (termasuk pabrik, kebun, dan perumahan). Lahan yang subur dengan jenis tanah Aluvial, Mediteran, Regusol, dan Latusol sangat mendukung perkebunan tebu.
Sistem Pengairan: Untuk mendukung kebutuhan air yang besar, Belanda membangun saluran air yang terstruktur, sebagian besar air pabrik bersumber dari Sungai Bondoyudo.
Infrastruktur Transportasi: PG Djatiroto masih mempertahankan salah satu ciri khas industri gula kolonial, yaitu penggunaan lokomotif uap dan kereta lori. Sistem ini digunakan untuk menarik lori bermuatan tebu dari lokasi tebangan di kebun menuju emplasemen pabrik.
Dampak Sosial dan Fasilitas Pendukung
PG Djatiroto dibangun sebagai sebuah kompleks industri yang terintegrasi penuh, tidak hanya terdiri dari bangunan pabrik, tetapi juga fasilitas pendukung untuk para karyawan dan masyarakat.
Fasilitas Sosial (Kamp Kolonial): Kompleks ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti rumah sakit, klinik, masjid, gereja, pasar, dan lembaga pendidikan (TK, SD, SMP) untuk melayani kebutuhan sosial karyawan dan keluarga yang tinggal di area tersebut.
Arsitektur Kolonial: Bangunan di kompleks ini didominasi oleh arsitektur kolonial Belanda kuno yang megah. Salah satunya adalah rumah dinas kepala kebun yang kini difungsikan sebagai kantor, menampilkan halaman luas yang sering digunakan untuk kegiatan komunal.
Perubahan Sosial Ekonomi: Keberadaan PG Djatiroto telah membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Desa Kaliboto Lor dan sekitarnya. Pabrik ini menjadi penyerap tenaga kerja yang besar, baik sebagai karyawan tetap maupun musiman selama masa giling, yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat setempat.
Status Saat Ini: PG Djatiroto merupakan salah satu dari 16 pabrik gula yang kini berada di bawah naungan PTPN XI (Persero) dan masih aktif beroperasi, menjadikannya salah satu warisan industri tertua di Indonesia yang tetap eksis.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/hil)


















































