Candi Jolotundo, atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Petirtaan Jolotundo, berdiri di lereng utara Gunung Penanggungan, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Kompleks petirtaan ini menyimpan lapisan sejarah, ritual, dan simbolisme yang membuatnya tetap menjadi tujuan ziarah dan wisata keagamaan sampai hari ini.
Soda batu andesit dengan dua sendang berpisah (utara untuk perempuan, selatan untuk laki-laki) serta kolam ikan di luar struktur utama. Namun di balik kesederhanaan itu tersimpan kisah yang panjang, ada kaitan dengan Raja Udayana dan kelahiran Prabu Airlangga, inskripsi-inskripsi kuno, serta kepercayaan bahwa airnya memiliki khasiat penyucian dan penyembuhan.
Debit air yang tak pernah surut meski kemarau panjang membuatnya berbeda dari banyak petirtaan lain. Kepercayaan dan praktik ritual yang terus hidup oleh warga setempat menjadikan situs ini bukan sekadar cagar budaya statis, melainkan ruang hidup yang menghubungkan masa lampau dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Seloliman.
Asal-Usul dan Bukti Sejarah
Dilansir dari laman resmi Perhutani, Jolotundo merupakan sebuah situs peninggalan bersejarah yang dibangun pada tahun 997 M oleh Raja Udayana dari Bali, dan sering dikaitkan dengan era Kerajaan Majapahit.
Pembangunan situs ini didasari oleh motif cinta kasih mendalam Raja Udayana untuk menyambut kelahiran putranya, Prabu Airlangga. Prabu Airlangga sendiri lahir pada tahun 991 M dari pernikahan Raja Udayana dengan Putri Gunapriya Dharma dari Jawa.
Bangunan utama situs ini memiliki dimensi yang cukup besar, dengan panjang 16,85 meter, lebar 13,52 meter, dan ketinggian mencapai 5,2 meter. Lokasinya yang strategis di lereng Gunung Penanggungan, pada ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut, menawarkan suasana yang asri dan sejuk.
Pengunjung dapat menikmati udara segar yang jauh dari polusi, dikelilingi oleh pepohonan rindang berusia puluhan tahun yang menciptakan atmosfer tenang dan damai.
Hingga kini, kondisi Jolotundo diyakini tidak banyak berubah dari bentuk aslinya. Bukti sejarah konkret berupa inskripsi pahatan dalam huruf Jawa Kuno ditemukan di lokasi ini, yang mengaitkannya dengan masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (911-1016 M).
Selain itu, dinding-dinding bangunan dihiasi relief pahatan tangan yang dipercaya menggambarkan pesan-pesan sosial dari era Kerajaan Majapahit. Di dalam kompleks ini juga terdapat dua kolam (sendang) batu berukuran 2x2 meter, yang konon digunakan oleh Raja dan putrinya untuk mandi, dimana kolam sisi selatan untuk laki-laki dan sisi utara untuk perempuan.
(irb/hil)