Lamongan memiliki peran penting di masa lalu dilihat dari temuan benda-benda bersejarahnya dari masa Jawa kuno hingga kedatangan bangsa Eropa. Lamongan bukan hanya bagian dari peradaban Jawa kuno, tetapi juga memiliki peran strategis sebagai kota pelabuhan yang penting.
Pemerhati sejarah Lamongan, Supriyo memaparkan, Lamongan memiliki banyak temuan prasasti dan perunggu yang membuktikan wilayah Lamongan memiliki peran penting sejak abad ke-10 M. Beberapa prasasti yang disorot, seperti Prasasti Cane (abad ke-11), menunjukkan peran strategis penduduk Lamongan sebagai 'benteng' bagi Raja Airlangga.
Sementara itu, Prasasti Canggu (1358 M) dari masa Raja Hayam Wuruk membuktikan desa-desa di sepanjang Sungai Brantas dan Bengawan Solo, termasuk yang ada di Lamongan, diberi hak otonomi dan bebas pajak atas jasa penyeberangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lamongan sebenarnya dikenal kaya akan sumber sejarah masa kuno (hindu-buddha). Sumber sejarah berupa prasasti, baik berupa batu atau perunggu merupakan temuan yang cukup dominan di Lamongan. Hal ini menunjukkan cukup banyak keputusan penting di masa kerajaan Jawa kuna yang terkait dengan Lamongan terutama di abad 11," kata Supriyo dalam seminar sejarah berbarengan dengan Museum Expo yang digelar Disparbud Lamongan di Lamongan Sport Center, Selasa (23/9/2025).
Pria yang juga pegiat Rumah Sejarah dan Budaya Lamongan ini memaparkan, sumber sejarah masa klasik di Lamongan setidaknya teridentifikasi dari Abad 10 M masa pemerintahan Pu Sindok yang berdasarkan temuan prasasti Rayung dari Desa Ngayung, Kecamatan Maduran sekitar tahun 1930an.
Prasasti Rayung merupakan sebuah prasasti tinulad berbahan perunggu dengan model aksara masa Pu Sindok dan di-tinulad masa Majapahit yang menyebut tentang kebaktian terhadap sebuah bangunan suci 'batara I paro' milik warga Rayung, juga menyebut mengenai beberapa sawah yang berstatus sima untuk bangunan suci tersebut.
"Batara I paro yang disebut dalam prasasti ini besar kemungkinan terletak di Desa Porodeso, teridentifikasi dengan adanya sisa-sisa struktur bata yang sekarang jadi punden desa dan kesamaan toponimi," ujarnya.
Sementara itu, Prasasti Canggu (1358 M) dari masa Raja Hayam Wuruk membuktikan desa-desa di sepanjang Sungai Brantas dan Bengawan Solo, termasuk yang ada di Lamongan, diberi hak otonomi dan bebas pajak atas jasa penyeberangan.
Selain prasasti-prasati ini, ungkap Priyo, masih banyak prasasti lain yang ditemukan di Lamongan mulai dari masa Pu Sindok, masa Airlangga hingga masa Majapahit.
"Selain itu, temuan lain yang ada di Lamongan adalah situs candi, altar dan struktur lainnya seperti situs punden, situs megalitik hingga situs altar dan yoni serta petirtaan," paparnya.
Kondisi sosial politik dan ekonomi Lamongan pada masa Majapahit, jelas Priyo, dapat terlihat dari beberapa prasasti tersebut. Prasasti tersebut, sebut Priyo, misalnya Prasasti Balawi yang berisi tentang penetapan tanah sima Swatantra Balawi atas pengajuan sang wirapati, Prasasti Biluluk berisi tentang Desa sima biluluk dan aturan menimba air garam 'acibukana banyuasin'.
"Prasasti pada sebuah lampu di Sawen (Sendangrejo-Ngimbang) hanya berisi angka tahun 1270 Saka atau masa kepemimpinan Tribuwana tunggadewi. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa tulisan pada lampu tersebut adalah kata 'tan ala' atau tak ada keburukan alias makmur," jelasnya.
Sementara, pemerhati sejarah lainnya, Teguh Fatchur Rozi mengungkap peran penting wilayah pesisir utara Lamongan dengan Sedayu sebagai pusatnya. Menurut Teguh, Sedayu telah menjadi pusat pertemuan berbagai suku dan budaya sejak masa Hindu-Buddha.
Catatan kuno, seperti yang termuat dalam Kakawin Nagarakertagama, menyebut Sedayu sebagai Jaya Sidahajeng, menunjukkan statusnya sebagai daerah yang makmur.
"Sedayu telah mewarnai perjalanan sejarah panjang di Lamongan. Banyak catatan lokal maupun catatan asing telah memberitakan tentang Sedayu, baik itu di masa Hindu-Buddha, Islam, dan datangnya orang-orang Eropa," ungkap Teguh.
Teguh menerangkan, sejak abad 15 Sedayu sudah dikenal luas yang pusat pemerintahan berada di Sedayu Lawas. Pantai-pantai jaringan maritim sepanjang pesisir di Lohgung, Labuhan, Sedayu Lawas, Brondong, dan Kranji menjadi titik dagang sejak abad 15-18. Di wilayah ini dijumpai ada tokoh Sunan Drajat dan Sunan Sendangduwur.
"Beberapa catatan dari orang Eropa memperkuat informasi tentang ada 3 manuskrip terkenal yang ditemukan di Sedayu, di antaranya Kropak Ferrara, isinya petuah, Lontar Musyawarah Para Wali dan Kitab Pangeran Bonang," imbuhnya.
Dalam catatan seorang penjelajah Portugis, Tome Pires, terang Teguh, pada tahun 1513 mencatat Sedayu sebagai penghasil beras yang dipimpin oleh Pate Amiza. Sedayu, sebut Tome Pires, kotanya dikelilingi tembok, mempunyai bawahan sebanyak 2000 orang yang melindungi dan membela negerinya.
Sedayu juga disebut tidak cocok untuk perdagangan dikarenakan pantainya berbatu sehingga buruk untuk dijadikan tempat bersandar, namun daratannya bagus. "Dalam catatan Tome Pires, Sedayu adalah penghasil beras dan makanan, namun tidak memiliki jung ataupun pangajava," jelasnya.
Dengan adanya temuan dan kajian ini, Supriyo dan Teguh sepakat jika Lamongan terbukti memiliki sejarah yang jauh lebih kaya dan kompleks daripada yang diketahui banyak orang. Sejarah Lamongan tersebut mulai dari jejak peradaban kerajaan kuno hingga peran strategisnya sebagai kota pelabuhan yang vital di pesisir utara Jawa.
(auh/hil)