Ada Drama Jaka Tingkir di Tengah Festival Dayung Tejoasri Lamongan

Ada Drama Jaka Tingkir di Tengah Festival Dayung Tejoasri Lamongan

Eko Sudjarwo - detikJatim
Senin, 15 Sep 2025 08:51 WIB
Festival Dayung Tejoasri Lamongan yang diikuti 64 tim dari berbagai daerah di Jatim.
Festival Dayung Tejoasri Lamongan yang diikuti 64 tim dari berbagai daerah di Jatim. (Foto: Istimewa)
Lamongan -

Sorak sorai penonton menggema di sepanjang Bengawan Mati, Desa Tejoasri, Kecamatan Laren, Lamongan. Di bawah terik matahari Minggu (14/9/2025), ratusan warga menyaksikan puluhan perahu saling adu cepat dalam Festival Dayung Tejoasri 2025.

Sebanyak 64 tim dari berbagai desa di Jawa Timur turut dalam perlombaan ini. Setiap tim terdiri dari 8 pendayung dan seorang coxswain atau juru kemudi.

Puluhan tim ini berpacu untuk menaklukkan lintasan sejauh 200 meter dengan kayuhan serentak berirama ditemani sorakan warga yang berdiri berhimpitan di bawah pohon bambu maupun berpayung seadanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada 64 tim antardesa se-Jawa Timur yang bersaing pada Festival Dayung Tejoasri yang digelar di Desa Tejoasri, Kecamatan Laren ini dengan tujuan melestarikan olahraga tradisional sekaligus mempererat persaudaraan," kata Kepala Desa Tejoasri, Yusuf Bachtiar kepada wartawan, Minggu (14/9/2025).

Momen Tegang Pendayung Terempas ke Bengawan

Momen dramatis terjadi saat beberapa pendayung terhempas ke air Bengawan mati di Desa Tejoasri menjelang garis finish.

ADVERTISEMENT

Untungnya, panitia telah mewajibkan seluruh peserta di masing-masing tim agar mengenakan jaket pelampung demi keselamatan mereka saat berkompetisi dalam acara ini.

"Desa Tejoasri ini berada di bantaran Bengawan Solo. Sungai ini punya sejarah panjang dan menjadi sumber kehidupan warga kami. Karena itu festival dayung harus terus dilestarikan," ujar Yusuf Bachtiar.

Terselip Drama Kolosal Jaka Tingkir

Festival dayung ini bukan hanya soal adu cepat mendayung. Panitia menyelipkan drama kolosal Jaka Tingkir yang identik dengan sejarah Lamongan, hingga tradisi siraman tukon banyu yang sarat makna.

Festival yang digelar bukan hanya sekadar ajang hiburan, tetapi juga sarana menyampaikan nilai sejarah dan budaya kepada publik. Menurut Yusuf, sebagai desa yang berada di bantaran Bengawan Solo, mereka punya tanggung jawab menjaga kejayaan sungai yang dulu menjadi pusat peradaban.

"Bengawan Solo pada masa jayanya merupakan denyut nadi ekonomi, pusat kehidupan, sekaligus sumber kebanggaan. Karena itu, pada tahun ini kami juga mempersembahkan pertunjukan bernuansa sejarah yakni kolosal Joko Tingkir dan tradisi Siraman Tukon Banyu yang diperagakan warga setempat," tuturnya.

Diramaikan Musik EDM dan DJ Lokal

Suasana makin meriah dengan alunan musik EDM dari seorang DJ lokal yang menambah semangat penonton. Alunan musik dan riuh rendah penonton dan tepuk tangan serta teriakan menjadi penyemangat lomba yang sudah digelar rutin ini.

"Ajang ini bukan hanya lomba olahraga, melainkan wadah silaturahmi sekaligus menjaga tradisi dayung agar tetap hidup di tengah masyarakat," jelasnya.

Tahun ini, festival dayung ini digelar dengan skala lebih besar melibatkan desa-desa dari Lamongan hingga Sidoarjo dan Pasuruan. Format perlombaan pun diperbarui. Jika sebelumnya hanya 5 pendayung dalam 1 perahu, kini harus ada 8 pendayung plus seorang coxswain lengkap dengan ofisial dan cadangan.

Setiap tim diminta membayar biaya pendaftaran Rp400 ribu, sementara panitia menyiapkan total hadiah Rp20 juta bagi para juara.

"Kalau bisa, tahun depan tidak hanya antardesa, tapi bisa ditingkatkan menjadi festival provinsi. Bahkan kalau bisa skala nasional," kata Yusuf.

Dengan gema sorakan warga dan riak Bengawan Mati yang tak pernah sepi, Festival Dayung Tejoasri seakan menjadi pengingat bahwa sungai bukan hanya sumber air, tapi juga sumber identitas, budaya, dan kebersamaan masyarakat Lamongan.

Antusiasme Warga

Antusiasme warga jadi bukti bahwa festival ini layak dijadikan agenda tahunan berskala lebih besar. Bagi warga, tontonan ini jadi hiburan pelepas penat. Lomba ini bisa menjadi pengisi waktu bagi warga di sela-sela padatnya kerja.

"Kalau ada acara kayak gini, rasanya liburan jadi berbeda. Bisa lihat lomba, bisa ketemu banyak orang, sekaligus mendukung desa," kata Roni, salah satu penonton yang datang bersama keluarganya.

Bagi Pemkab Lamongan, festival ini bukan sekadar menjaga tradisi, tapi juga menggerakkan perekonomian lokal karena UMKM desa ikut membuka lapak, penonton membeli jajanan.

Bupati Lamongan, Yuhronur Efendi menyambut positif penyelenggaraan festival tersebut karena dinilai mampu menggerakkan ekonomi masyarakat. Pak Yes berharap, festival dayung di desa ini bisa menjadi agenda tahunan dan berkembang ke tingkat nasional.

"Kegiatan ini contoh nyata bagaimana desa bisa menjadi pusat kreativitas. Selain melestarikan budaya lokal, festival juga memberi manfaat ekonomi melalui UMKM," kata Pak Yes seraya mengatakan bahwa Pemkab Lamongan akan terus mendukung acara yang memperkuat identitas dan wisata lokal.




(dpe/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads