Jejak Prasasti Cunggrang, Bukti Tertua Identitas Pasuruan

Jejak Prasasti Cunggrang, Bukti Tertua Identitas Pasuruan

Fadya Majida Az-Zahra - detikJatim
Senin, 22 Sep 2025 13:45 WIB
PRASASTI CUNGGRANG.
PRASASTI CUNGGRANG. Foto: Keputusan Bupati Pasuruan
Pasuruan -

Prasasti Cunggrang, yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, bukan sekadar peninggalan masa lampau. Batu bertulis aksara Jawa Kuna ini menjadi saksi penting perjalanan Kerajaan Mataram pada abad ke-10, merekam jejak sejarah yang membentuk identitas Pasuruan hingga kini.

Saat ini, prasasti Cunggrang telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Aturan tersebut mewajibkan setiap situs bersejarah dijaga, dilestarikan, dan dijauhkan dari kerusakan.

Sehingga Pemerintah Kabupaten Pasuruan harus bertanggung jawab dalam pengawasan dan pelestariannya, sekaligus memastikan warisan sejarah ini tetap lestari untuk generasi mendatang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Prasasti Cunggrang

Sejarah Prasasti Cunggrang tak bisa dilepaskan dari kisah perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Pada abad ke-10, pusat kerajaan yang semula berada di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur karena berbagai faktor, mulai dari ancaman serangan musuh, bencana alam, hingga kebutuhan memperluas wilayah.

Di Jawa Tengah, Mataram diperintah dua dinasti besar, yaitu Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya berkuasa sejak abad ke-8, sebagaimana disebutkan dalam prasasti Canggal yang menempatkan Raja Sanjaya sebagai penerus Raja Sanna.

ADVERTISEMENT

Sementara Dinasti Syailendra muncul pada masa Rakai Panangkaran yang beralih ke agama Buddha, sebagaimana terbukti pada prasasti Kalasan tahun 779 Masehi. Kedua wangsa ini silih berganti memegang kendali, hingga akhirnya Rakai Pikatan dari Sanjaya menikahi putri Syailendra, menyatukan dua garis keturunan dan mengembalikan tahta kepada keluarga Sanjaya.

Letusan Gunung Merapi dan tekanan dari kerajaan tetangga memaksa Mataram memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur. Dari sinilah lahir Dinasti Icana, dipimpin Mpu Sindok Sri Icanawikrama Dharmmotunggadewa sejak tahun 929 Masehi.

Mpu Sindok tidak hanya memindahkan ibu kota, tetapi meletakkan dasar dinasti baru yang berkuasa hingga tiga abad berikutnya. Ia meninggalkan sekitar 30 prasasti yang sebagian besar berisi penetapan sima atau tanah perdikan untuk kepentingan bangunan suci.

Salah satu peninggalan penting dari Mpu Sindok adalah prasasti Cunggrang. Isinya menyebut Desa Cunggrang ditetapkan sebagai sima atau tanah perdikan atas permintaan para pejabat desa setempat. Penetapan ini menunjukkan Pasuruan pada masa itu memiliki peran penting dalam jaringan politik dan keagamaan kerajaan.

Hingga kini, prasasti Cunggrang tetap menjadi sumber pengetahuan berharga tentang sejarah Jawa Timur awal, sekaligus simbol eratnya hubungan antara kerajaan, agama, dan masyarakat.

Identitas Prasasti Cunggrang

Prasasti Cunggrang memiliki identitas yang lengkap sebagai salah satu cagar budaya penting di Kabupaten Pasuruan. Berikut identitas lengkap prasasti Cunggrang dilansir dari penelitian BRIN-EFEO tentang Survei Prasasti Zaman Hindu-Buddha.

Penanggalan Waktu Prasasti Dibuat: 851 Śaka atau 18 September 929 Masehi

Nomor Inventaris Pencatatan Resmi di Instansi Pelestari: 14/PSA/1988

Aksara dan Bahasa: Kawi/Jawa Kuna

Bahan dan Bentuk: Batu andesit berbentuk stela

Dimensi: tinggi 126 cm, lebar 97-95 cm, tebal 22 cm

Jumlah Baris Teks yang Terpahat: Sisi depan 51 baris, sisi belakang ±50 baris, sisi kanan ±4 baris tersisa

Kondisi Prasasti Cunggrang

Dilansir Keputusan Bupati Pasuruan Nomor 400.6.2/473/HK/424.013/2024 tentang Prasasti Cunggrang di Dusun Sukci Desa Bulusari Kecamatan Gempol Sebagai Benda Cagar Budaya Kabupaten Pasuruan, prasasti Cunggrang kini tersimpan di dalam sebuah cungkup yang berdiri di tengah permukiman warga Dusun Sukci.

Bangunan pelindung ini tampak terawat, berlantai ubin dengan pagar pembatas besi dan beratap genting. Di lokasi yang sama juga terdapat sebuah makam yang oleh masyarakat setempat disebut makam Mbah Brojo, yang diyakini sebagai tetua desa.

Prasasti tersebut berdiri tegak dengan bagian bawahnya terbenam di lantai cungkup. Terbuat dari batu andesit, permukaannya kini tampak kasar dan berpori, berbentuk menyerupai kurawal dengan tulisan pada dua sisi.

Kondisi tulisan di sisi belakang (utara) relatif lebih baik dibandingkan sisi depan (selatan) yang sudah banyak aus, sedangkan bagian puncaknya tampak rompal. Seluruh teks pada prasasti ini menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno.

Sementara itu, menurut penelitian BRIN-EFEO tentang Survei Prasasti Zaman Hindu-Buddha, di sekitar prasasti juga ditemukan beberapa artefak berupa batu silinder, batu berlubang, dan fragmen batu berlubang. Sebagian besar teks prasasti sudah aus, meski bagian depan, belakang, dan kanan masih bisa terbaca.

Aksara pada sisi kiri sangat aus sehingga sulit diidentifikasi. Bagian bawah prasasti disemen agar tetap tegak, namun lapisan semen itu menutupi sedikitnya satu baris aksara. Jejak pengerjaan lain juga terlihat pada sisi depan bagian bawah dan menutupi beberapa aksara.

Di lokasi yang sama terdapat batu silinder berukuran tinggi sekitar 100 cm dan diameter 38 cm. Penelitian tersebut mengingatkan kembali pembacaan Brandes (1913) yang menyebut Prasasti Cunggrang I dikeluarkan pada 851 Śaka oleh Raja Sindok.

Hingga kini belum ada pembacaan ulang secara menyeluruh setelah edisi Brandes itu, meskipun Stutterheim (1925) menyinggung adanya dua lempeng prasasti dari Malang yang disebut sebagai salinan Cunggrang I. Keberadaan prasasti asli sekaligus salinannya termasuk temuan yang sangat jarang.

Makna Prasasti Cunggrang bagi Identitas Pasuruan

Keberadaan prasasti Cunggrang memberikan gambaran bahwa Pasuruan telah menjadi bagian penting dari jaringan peradaban Jawa kuno. Keputusan kerajaan untuk menetapkan mata air Cunggrang sebagai tanah sima menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki nilai strategis dan spiritual.

Secara strategis, Prigen berada di lereng Gunung Arjuno-Welirang, daerah yang kaya dengan sumber air. Keberadaan mata air Cunggrang menegaskan peran vital Pasuruan sebagai daerah penyangga kehidupan agraris.

Dari sisi spiritual, penetapan tanah sima memperlihatkan keyakinan bahwa air adalah media suci yang menghubungkan manusia dengan alam dan kekuatan ilahi. Fakta ini sekaligus membantah anggapan bahwa Pasuruan baru berkembang di era belakangan, justru sejak ratusan tahun silam, wilayah ini sudah menjadi pusat aktivitas terorganisir dengan sistem sosial yang mapan.

Hingga kini, Prasasti Cunggrang masih menjadi salah satu peninggalan budaya paling berharga yang dimiliki Pasuruan. Nilainya bukan hanya sebagai artefak arkeologis, melainkan sebagai penanda identitas kolektif masyarakat.

Prasasti ini menghubungkan generasi sekarang dengan leluhur mereka, menghadirkan kebanggaan bahwa kota ini memiliki akar sejarah yang sangat panjang, bahkan lebih dari seribu tahun.

Penetapan Pasuruan sebagai wilayah penting di masa lalu lewat prasasti ini memberi makna tambahan bagi masyarakat modern. Prasasti ini mengajarkan bahwa identitas kota bukan hanya ditentukan perkembangan ekonomi dan infrastruktur, tetapi kekuatan sejarah dan warisan budaya.

Dengan demikian, Prasasti Cunggrang dapat dipandang sebagai simbol abadi yang memperkaya rasa kebangsaan, sekaligus mempertegas eksistensi Pasuruan dalam sejarah panjang Nusantara.

Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads