Seniman muda asal Surabaya, Shafira Onky Parasmita atau akrab disapa Rara memperkenalkan Mamaca lewat pertunjukan kekinian. Mamaca merupakan salah satu tradisi Madura yang hampir dilupakan kalangan muda.
Rara menjelaskan bahwa Mamaca sendiri merupakan tradisi membaca teks kuno yang dilagukan atau ditembangkan, lengkap dengan penjelasan makna atau panegghesnya. Biasanya, teks tersebut mengandung pesan-pesan moral, nilai budaya, hingga ajaran etika. Dahulu, tradisi ini menjadi sarana dakwah dan pendidikan masyarakat.
"Tradisi Mamaca dikenal dengan dinamika vokal, dialek Madura yang kuat serta ornamen vokal yang khas," ungkap Rara, Kamis (11/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, pamor Mamaca makin meredup, kalah populer dibanding budaya Madura lainnya. Dari keresahan itu, Rara berupaya membuat racikan kreatif agar Mamaca tetap hidup dan bisa diterima generasi sekarang.
Lewat karya bertajuk 'Unen', Rara menyulap Mamaca menjadi sajian yang lebih segar tanpa meninggalkan ruh aslinya. Ia mengambil inspirasi dari konsep kebebasan berkarya ala Pande Made Sukerta dan pemikiran Kepenak Ora Kepenak dari Epistemologi Penciptaan Seni milik Bambang Sunarto.
Berkat inovasi tersebut, Rara berhasil meraih gelar Magister Kesenian dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada akhir Agustus 2025 lalu.
"Sajian Mamaca original sangat sederhana namun menyentuh dan sakral. Menurut saya banyak yang tak bisa memahami makna yang disampaikan. Apalagi, kemasan Mamaca yang original ini kurang menarik hati gen Z," bebernya.
Unen disajikan dalam beberapa segmen pertunjukan. Segmen pertama, Rara menampilkan narasi Mamaca dalam bahasa Madura yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Kemudian dibalut dengan unsur humor serta iringan musik digital dan sentuhan vokal pop sehingga lebih menarik anak muda.
Masuk ke segmen kedua, penonton diajak berinteraksi langsung di dalam pertunjukan. Lulusan ISI Surakarta itu menyisipkan teknik vokal tradisi dari Jawa Timur seperti loak-laok, ura-ura, hingga senggak ala Gresik.
Sementara segmen terakhir menjadi penutup yang paling eksploratif. Rara memadukan musik digital, narasi tembang, peran dalang sebagai panegghes yang saling sahut, hingga senggak interaktif dari para penonton.
"Harapan saya masyarakat bisa menerima perubahan dari tangan kreatif anak muda tanpa meninggalkan esensi kesenian Mamaca original. Mau sebebas apapun menghasilkan karya, harus tetap berpijak pada akar tradisi," tuturnya.
Untuk lebih menarik kalangan muda, Rara menyelenggarakan pertunjukannya di salah satu kedai kopi favorit kawasan Surabaya Timur. Dalam pertunjukan tersebut, Rara juga melibatkan homeband Konspirasi Feel Orkes serta menghadirkan delapan vokalis, juga dua seniman Mamaca original.
Tak disangka, antusiasme penonton cukup tinggi. Pertunjukan budaya dengan kemasan kekinian itu disambut dengan positif serga berhasil membuka perspektif baru tentang bagaimana tradisi bisa tetap hidup di era perkembangan zaman.
"Saya ingin terus meramu tradisi yang mulai ditinggalkan dengan hal-hal baru yang digemari generasi sekarang. Agar tradisi asli tidak punah dan bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya," pungkas Rara.
(auh/abq)