Surabaya bukan hanya dikenal sebagai kota pahlawan dan pusat ekonomi Jawa Timur, tetapi juga menyimpan jejak sejarah yang panjang. Hampir setiap sudut kotanya memiliki cerita unik, termasuk dari nama-nama jalan yang kini menjadi bagian penting dalam kehidupan warganya.
Bagi sebagian orang, nama jalan mungkin sekadar penunjuk arah. Namun, bagi Surabaya, nama jalan adalah warisan sejarah yang merekam perjalanan kota dari masa ke masa. Mulai dari kisah perdagangan, pusat kerajinan, hingga legenda masyarakat setempat, semua terangkum dalam nama-nama jalan yang masih digunakan hingga sekarang.
Baca juga: Rekomendasi Destinasi di Peneleh Surabaya |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita Nama Jalan di Surabaya
Di balik setiap nama jalan, tersimpan kisah masa lalu yang mencerminkan budaya, kondisi sosial, hingga perkembangan ekonomi kota ini. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut cerita nama-nama jalan di Surabaya:
Jalan Pabean Sayangan
![]() |
Nama Jalan Pabean Sayangan tidak hanya sekadar identitas geografis, melainkan simbol warisan sejarah ekonomi Surabaya. Menurut Shohibudin Qhadir, pegiat sejarah dari komunitas Begandring Soerabaia, penamaan ini erat kaitannya dengan aktivitas perdagangan sejak masa kolonial.
Kata "Pabean" merujuk pada kantor pajak atau tolkantoor, sementara "Sayangan" berasal dari kata Sajangan, yang berarti perkakas tembaga. Pada masa kolonial, kawasan ini dikenal sebagai pusat kerajinan tembaga. Surat kabar Soerabaija Handelsblaad tahun 1887 bahkan menyebut wilayah ini sebagai Kampong Sajangan. Letaknya yang strategis dekat Pasar Pabean salah satu pasar tertua di Surabaya membuat kawasan ini berkembang pesat.
Jalan Kedungdoro
Terdapat dua versi sejarah terkait asal-usul nama Kedungdoro. Versi pertama menyebut nama ini berasal dari kata "kedung" yang berarti telaga kecil, dan "wedoro" dari pohon widara. Dahulu, kawasan ini memang banyak ditumbuhi pohon widara sehingga dinamakan Kedung Wedoro, yang kemudian berubah menjadi Kedungdoro pada 1892.
Versi lain, seperti dikutip dari situs resmi Kelurahan Kedungdoro, menyebut "kedung" berarti genangan air dalam, sedangkan "doro" berarti burung merpati. Terlepas dari perbedaan versi, Kedungdoro kini dikenal sebagai kawasan yang tak pernah sepi. Siang hari dipenuhi aktivitas perdagangan perlengkapan mobil, sedangkan malam hari menjelma menjadi pusat kuliner jalanan yang ramai.
Jalan Darmo
![]() |
Menurut pengamat sejarah Surabaya, Kuncarsono Prasetyo, nama Darmo berasal dari kata "Derma" atau "Dharma" dalam bahasa Jawa Kuna, yang berhubungan dengan tempat pendharmaan. Ia meyakini kawasan ini dulunya memiliki candi, kemungkinan di sekitar Taman Bungkul, yang diperkuat dengan temuan batu bata kuno di dekat Makam Mbah Bungkul.
Nama Darmo mulai dipakai sejak 1916 ketika pemerintah Hindia Belanda membangun perumahan besar-besaran di kawasan Surabaya bagian barat. Pembangunan ini menggusur banyak perkampungan dan sawah, lalu menghadirkan kawasan perumahan modern yang luas, megah, dan kharismatik. Hingga kini, Darmo masih dikenal sebagai salah satu kawasan elite di Surabaya.
Jalan Tunjungan
![]() |
Nama Tunjungan berasal dari kata "tunjung" dalam bahasa Jawa, yang berarti bunga teratai putih atau ujung tombak. Dahulu kawasan ini dipenuhi bunga teratai, sebelum akhirnya berkembang menjadi pusat perdagangan dan hiburan kota.
Menurut pengamat sejarah Surabaya, Kuncarsono Prasetya menjelaskan bahwa Tunjungan dulunya adalah koridor penghubung Kota Lama (Indisch) dan Kota Baru (Gemeente). Sejak 1888, kawasan ini semakin ramai karena menjadi jalur trem rute Krian-Wonokromo-Jembatan Merah. Seiring waktu, Tunjungan berkembang sebagai pusat belanja modern dengan hadirnya gedung Siola (kini pusat perbelanjaan), Toko Nam, hingga Hotel Majapahit yang sarat sejarah.
Jalan Rungkut
Dikutip dari situs resmi Kelurahan Rungkut Tengah, Kata "Rungkut" diyakini berasal dari kata "rumput". Dulu, kawasan ini memang dipenuhi rumput liar yang tumbuh lebat dan tidak terurus, sehingga lebih mudah disebut "rungkut" daripada "rumput". Dalam bahasa Jawa, "rungkut" juga berarti tumbuhan yang rimbun dan tak terpelihara.
Sebelum menjadi kelurahan, Rungkut Tengah dikenal sebagai daerah rawa-rawa dan persawahan di sisi timur Surabaya. Kini, kawasan tersebut telah berkembang pesat menjadi area industri, pendidikan, dan permukiman.
Jalan Sambikerep
Nama Sambikerep berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: "Sambi", merujuk pada pohon sambi yang dulu banyak tumbuh di kawasan ini, dan "Kerep" yang berarti sering atau banyak. Jadi, Sambikerep dapat diartikan sebagai daerah yang dulunya dipenuhi pohon sambi.
Masa lalu Sambikerep dikenal sebagai kawasan agraris subur dengan lahan sawah dan kebun yang luas. Namun, seiring berkembangnya Kota Surabaya ke arah barat, kawasan ini bertransformasi menjadi daerah permukiman modern dengan berbagai fasilitas perkotaan.
Jalan Peneleh
![]() |
Dikutip dari situs resmi Kelurahan Peneleh, nama Peneleh memiliki jejak sejarah panjang. Konon, kawasan ini dahulu merupakan tempat tinggal Pangeran Pinilih, putra Wisnuwardhana dari Kerajaan Singosari yang diangkat sebagai pemimpin di tepian Kalimas.
Sunan Ampel atau Raden Rahmat juga pernah singgah di Peneleh sebelum menetap di kawasan Ampel. Di tempat ini, ia mendirikan sebuah masjid yang kemudian dikenal sebagai Masjid Jami' Peneleh, salah satu masjid bersejarah di Surabaya.
Menelusuri asal-usul nama jalan bukan sekadar mengetahui sebuah sebutan, tetapi juga membuka kembali lembaran sejarah yang pernah tercatat di daerah tersebut. Semoga bermanfaat detikers.
(ihc/ihc)