Filosofi Jenang Sapar: Tradisi, Sejarah, dan Makna di Baliknya

Filosofi Jenang Sapar: Tradisi, Sejarah, dan Makna di Baliknya

Mira Rachmalia - detikJatim
Selasa, 19 Agu 2025 20:30 WIB
Jenang sapar yang biasa dibuat masyarakat Jawa di bulan Safar.
Jenang Sapar. Simak Filosofi Jenang Safar Foto: Perpustakaan Digital Budaya Indonesia
Surabaya -

Setiap bulan Safar dalam kalender Hijriah selalu hadir dengan berbagai tradisi yang hidup di tengah masyarakat Nusantara. Salah satunya adalah Jenang Sapar atau di beberapa daerah disebut Tajin Sapar. Hidangan manis berbahan dasar beras ketan ini bukan sekadar makanan biasa, melainkan sebuah simbol budaya dan religius yang diwariskan turun-temurun.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, keberadaan jenang sapar terasa kurang lengkap jika tidak dihadirkan saat memasuki bulan Safar. Tradisi ini menjadi sarana untuk menyampaikan rasa syukur sekaligus harapan akan kebaikan hidup. Filosofi yang terkandung dalam sajian ini sejalan dengan ajaran Islam, yakni menggunakan simbol atau tanda (tafa'ul) sebagai bentuk doa agar diberikan kehidupan yang manis dan penuh berkah oleh Allah SWT.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa Itu Jenang Sapar?

Merangkum Nu Online, Jenang Sapar merupakan olahan jenang bercita rasa manis dengan isian ketan yang dibentuk bulat-bulat. Bulatan ketan tersebut melambangkan manusia sebagai makhluk yang berasal dari asal-usul yang sama, meskipun nantinya berkembang menjadi beragam. Namun ketika disatukan kembali, seperti bulatan ketan yang dilumuri jenang, akan menghasilkan rasa manis yang khas.

Tradisi ini juga diyakini memiliki akar sejarah panjang. Dalam kitab Bada`iuzzuhur karya Syekh Muhammad bin Ahmad bin Iyas Al-Hanafy, disebutkan kisah Nabi Nuh AS yang membuat hidangan dari campuran tujuh biji-bijian setelah banjir besar. Hidangan itu kemudian menjadi simbol rasa syukur dan dikenang dalam berbagai tradisi masyarakat Muslim, termasuk lahirnya jenang sapar di Nusantara. Berikut kutipannya:

ويروي ان الطيور والوحوش والدواب جميعهم صاموا ذلك اليوم ثم ان نوح اخرج ما بقي معه من الزاد فجمع سبعة اصناف من الحبوب وهي البسلة والعدس والفول والحمص والقمح والشعير والارز فخلط بعضها في بعض وطبخها في ذلك اليوم فصارت الحبوب من ذلك اليوم سنة نوح عليه السلام وهي مستحبة

Artinya: Dan diriwayatkan, seluruh binatang dan hewan yang ikut dalam perahu Nabi Nuh juga melaksanakan puasa. Kemudian Nabi Nuh mengeluarkan sisa perbekalan selama terapung dalam kapal. Kemudian Nabi Nuh mengumpulkan sisa biji-bijian itu, ada tujuh macam jenis biji-bijian dan jumlahnya tidak banyak kemudian disatukan dan dijadikan makanan. dan selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya Nabi Nuh dan kaumnya selalu membuat makanan seperti itu, dan ini dianjurkan

Mitos Bulan Safar

Masih merangkum sumber yang sama, pada masa jahiliyah, bulan Safar sering dianggap sebagai bulan penuh kesialan. Namun, keyakinan ini sudah diluruskan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada istilah kesialan pada bulan Safar. Artinya, segala peristiwa buruk yang terjadi bukanlah akibat bulan tersebut, melainkan murni ketetapan Allah SWT. Berikut bunyi Hadisnya:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ

Artinya: Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa. (HR Bukhari dan Muslim

Imam Nawawi dalam kitab Bustanul Arifin menjelaskan, penamaan Safar sendiri berasal dari kata "shafar" yang berarti pucat. Hal itu menggambarkan kondisi masyarakat Arab yang sering tertimpa penyakit hingga wajah mereka tampak pucat pada bulan ini. Ada pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa bulan ini dinamai Safar karena diyakini sebagai waktu di mana iblis memanggil bala tentaranya.

Filosofi Jenang Sapar dalam Budaya Jawa

Merangkum NU Online, Budayawan Dermawan Setia Budi dari Lesbumi Lumajang menjelaskan bahwa tradisi Jenang Sapar erat kaitannya dengan dakwah Walisongo. Melalui budaya yang sudah ada, para wali menyisipkan nilai-nilai Islam sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Filosofinya cukup mendalam. Bulatan ketan dianggap sebagai simbol cikal bakal manusia, sedangkan lumuran jenang manis mencerminkan persatuan. Ketika bulatan-bulatan ketan disatukan dalam sajian jenang, terciptalah rasa manis yang khas. Hal ini diibaratkan sebagai gambaran bahwa meski manusia berbeda-beda, bila bersatu akan melahirkan kehidupan yang manis dan indah.

Makna Tradisi Jenang Sapar

Jenang Sapar bukan hanya sekadar makanan, melainkan doa yang diwujudkan dalam simbol budaya. Rasa manis dari jenang menjadi tafa'ul atau harapan agar kehidupan yang dijalani masyarakat selalu diliputi kebahagiaan, keberkahan, dan kebersamaan.

Melalui tradisi ini, masyarakat tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga menanamkan nilai spiritual dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Filosofi Jenang Sapar mengajarkan bahwa rasa manis sejati dalam hidup adalah ketika manusia bisa hidup rukun, bersatu, dan saling melengkapi satu sama lain.

Demikian detikers filosofi Jenang Sapar, tradisi yang masih eksis hingga hari ini.




(ihc/ihc)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads