Tradisi Jenang Shafar di Kota Malang, Makna Mbubur Sapar dan Jadwalnya

Tradisi Jenang Shafar di Kota Malang, Makna Mbubur Sapar dan Jadwalnya

Irma Budiarti - detikJatim
Selasa, 19 Agu 2025 15:00 WIB
Tradisi punggahan poso di Makam Ki Ageng Gribig Malang
ILUSTRASI. Tradisi memasak di Komplek Kiai Gribig Malang. Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim
Surabaya -

Tradisi Jenang Shafar kembali digelar di Kota Malang pada 2025, membawa suasana sakral sekaligus penuh kebersamaan di Kampung Gribig Religi, Kelurahan Madyopuro.

Warga setempat secara turun-temurun menyiapkan bubur sapar dari beras ketan, kemudian menggelar doa bersama sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan bagi kampung dan lingkungannya.

Makna bubur sapar bukan sekadar hidangan khas bulan Sapar, tetapi simbol eratnya persaudaraan. Dalam filosofi Jawa, ketan dimaknai sebagai "raketanane kahanan", pengingat bahwa kerekatan, ketenteraman, dan semangat gotong-royong penting untuk membangun masyarakat yang saling menghargai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Filosofi Bubur Sapar

Dilansir dari Jadesta Kemenpar, bubur sapar adalah sajian khas yang hanya dibuat pada bulan Sapar, bulan kedua dalam kalender Hijriah dan Jawa, setelah bulan Suro atau Muharram. Bubur ini terbuat dari ketan, bukan tanpa alasan.

Dalam filosofi Jawa, ketan memiliki makna raketanane kahanan, diharapkan masyarakat dapat hidup rukun, tenteram, dan saling merekatkan hubungan satu sama lain. Dari bahan sederhana ini, terselip doa agar kebersamaan dan semangat gotong royong terus terjaga, menjadi fondasi membangun masyarakat yang saling menghargai dan menyemangati.

ADVERTISEMENT

Di Kampung Gribig Religi, Kelurahan Madyopuro, tradisi ini dikenal sebagai mbabar bubur sapar. Setelah bubur ketan selesai dimasak, warga berkumpul untuk memanjatkan doa bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa dipimpin juru kunci Pesarean Kiai Gribig, tokoh yang menjadi penjaga spiritual kawasan tersebut.

Bubur sapar bukan sekadar hidangan, tetapi simbol harapan dan permohonan keselamatan, bukan hanya bagi satu keluarga, tetapi bagi seluruh kampung. Lewat bubur ini, tersampaikan doa agar masyarakat terhindar dari bala, dianugerahi ketenteraman, dan diberi kekuatan untuk selalu hidup dalam kebersamaan.

Makna Mbabar Bubur Sapar

Tradisi ini dilakukan dengan memasak bubur secara gotong royong, lalu membagikannya kepada warga sekitar. Dalam kepercayaan Jawa, bulan Sapar (Safar) kerap dipandang sebagai bulan penuh ujian.

Sehingga ritual ini menjadi simbol doa bersama untuk menolak bala, memohon keselamatan, sekaligus mempererat persaudaraan. Bubur yang dimasak-sering disebut jenang atau bubur Sapar-mewakili kesucian dan harapan baru, sementara bentuk bulatannya melambangkan roda kehidupan yang terus berputar.

Agenda Jenang Shafar 2025 di Madyopuro

Acara Jenang Shafar di Kota Malang tahun ini akan digelar pada 20-21 Agustus 2025. Salah satu lokasi kegiatan berada di Kelurahan Madyopuro, tepatnya di Komplek Pesarean Ki Ageng Gribig, Desa Wisata Kampung Gribig Religius, Kecamatan Kedungkandang.

Di sinilah masyarakat menggelar tradisi mbabar bubur Sapar, sebuah ritual turun-temurun yang sarat makna religi dan budaya. Rangkaian acara biasanya diawali doa bersama dan prosesi memasak bubur.

Kemudian dilanjutkan pembagian bubur kepada warga. Mereka yang hadir dapat mengikuti ritual doa, menyaksikan arak-arakan bubur, hingga menikmati suasana kebersamaan di sekitar komplek makam.

Tradisi ini tidak hanya melestarikan kearifan lokal, tetapi juga mempertegas identitas Desa Wisata Kampung Gribig Religius sebagai destinasi religi yang kaya nilai sejarah dan budaya.

Pesarean Ki Ageng Gribig

Komplek makam Ki Ageng Gribig yang berada di RW 04, Kelurahan Madyopuro berdiri di atas lahan seluas sekitar 5.000 meter persegi. Setiap nisan di area ini seolah bercerita tentang siapa yang dimakamkan dan pada masa apa mereka hidup.

Dari jejak tersebut, tergambar bahwa peradaban di sekitar komplek makam ini telah berkembang sejak zaman lampau. Saat berkunjung, pengunjung dapat menemukan jejak peninggalan Islam, deretan makam para tokoh yang dikenal sebagai "makam seribu bupati".

Hingga area penyangga mata air yang juga menjadi lokasi konservasi tanaman langka. Perpaduan nilai sejarah, religi, dan alam menjadikan Kampung Gribig Religius bukan hanya tempat ziarah, tetapi juga destinasi wisata budaya yang terus dijaga kelestariannya.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads