Pemutaran lagu di kafe, restoran, hingga tempat hiburan Surabaya kini berbuntut polemik. Para pengusaha hiburan merasa terbebani lantaran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menarik royalti dengan tarif selangit. Mereka pun vokal bersuara, bahkan menuding LMKN ugal-ugalan dalam mengelola royalti.
Ketua Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan (Hiperhu) George Handiwiyanto mengatakan, persoalan hukum ini bisa dihindari apabila LMKN melakukan pengawasan terhadap penggunaan karya cipta musik dan memastikan royalti dibayarkan sesuai ketentuan yang berlaku.
George menilai LMKN harus memiliki wewenang yang jelas dalam melakukan pemungutan royalti ini. Baik dalam bentuk pajak, retribusi, hingga beberapa pungutan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kuasa ini biasanya diberikan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apakah selama ini LMKN sudah ada surat kuasa? Untuk itu, saya minta mulai sekarang hentikan dulu penarikan royalti, harus dibuat dulu alat atau sistem dan aturan yang jelas," ujar George, Jumat (16/8/2025).
Dalam beberapa kasus, George menyoroti pencipta lagu dan musisi masih menghadapi tantangan dalam mendapatkan royalti yang adil. Bahkan, ada beberapa pihak mengusulkan perbaikan sistem pengelolaan royalti dan kepastian hukum yang lebih baik yang menurut George harus segera diselaraskan.
Maka dari itu, George menekankan LMKN dalam melakukan pemungutan juga harus memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat. Serta berperan aktif dalam memediasi sengketa hak cipta dan hak terkait, membantu menyelesaikan konflik antara pencipta, pemegang hak cipta, hingga pengguna karya cipta.
Pria yang juga pengacara senior di Surabaya itu pun mengkritisi peran LMKN yang selama ini dinilai kurang aktif memberikan hak kepada para pencipta lagu. Padahal LMKN bertanggung jawab menarik dan menghimpun royalti dari penggunaan karya cipta musik dan mendistribusikan kepada pemegang hak cipta.
Tetapi, acuan yang dijadikan penarikan selama ini dianggap George tidak jelas. Seyogyanya, kata dia, LMKN mempunyai sistem hingga alat yang bisa mendeteksi lagu apa yang diputar dan siapa penciptanya.
"Jangan sampai lagu yang digunakan diciptakan si A tapi royalti diberikan kepada orang lain. Ini bisa kena pidana!" ujarnya.
Royalti hak cipta lagu dan musik di Indonesia diatur oleh UU 28/2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik. George menilai ada perubahan signifikan dalam penanganan pelanggaran royalti, yakni peralihan ke ranah perdata.
"Saat ini, royalti lebih cenderung ditangani dalam ranah perdata, sehingga sengketa terkait royalti umumnya diselesaikan melalui gugatan perdata. Hal ini memungkinkan pencipta atau pemegang hak cipta menuntut ganti rugi atas penggunaan karya mereka tanpa izin," ujarnya.
"Kalau dulu ada pidana karena masih pakai CD dan kalau CD dibajak atau digandakan tanpa hak baru kena pidana," katanya.
George mengaku miris dengan apa yang terjadi. Menurutnya, LMKN dinilai ugal-ugalan dalam menarik royalti ke tempat hiburan. Tarifnya menurut dia tidak main-main.
Tarikan royalti itu besarannya mulai puluhan juta, ratusan juta, hingga miliaran rupiah. Tapi, yang didistribusikan hanya sebagian kecil kepada pencipta atau pemilik karya dari yang dipungut royaltinya.
George pun meminta agar dilakukan audit terhadap LMKN. Supaya LMKN memiliki sistem pengelolaan royalti yang transparan dan akuntabel, serta memastikan bahwa royalti dibagikan secara adil kepada pencipta dan pemegang hak cipta.
(auh/hil)