Sebuah rumah kuno bergaya Indis di kawasan Porong, Sidoarjo masih berdiri kokoh meski sudah berusia lebih dari satu abad. Tertulis pada bagian gevel atau fasad bangunan itu angka '908'. Diduga angka 1 sudah pudar seiring waktu berjalan.
Pantauan di lokasi, selain angka '908' masih terbaca dengan jelas di fasad bangunan itu tulisan "H. M. Tair". H.M. Tair diduga adalah nama pemilik atau keluarga yang pernah menempati rumah itu.
"Saya yang menempati rumah ini bersama kedua orang tua dan adikku. Saat ini tinggal di rumah ini hanya saya bersama adik," kata Rifki Afrianza Ramadhan (22) ditemui detikJatim di lokasi, Sabtu (26/7).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah bergaya Indis itu, yakni gaya arsitektur yang merupakan hasil akulturasi Budaya Belanda dengan budaya lokal Jawa itu menjadi saksi bisu sejarah panjang Hindia Belanda di tanah Sidoarjo.
"Meski saya menempati rumah ini bersama adik, tapi rumah ini masih milik keluarga besar H.M. Tair," kata Rifki.
Meski kini berada sekitar 10 meter di bawah permukaan jalan raya Porong akibat peninggian proyek jembatan Sungai Porong, struktur rumah ini tetap utuh dan tetap berdiri kokoh.
"Dari cerita keluarga, rumah itu dibangun sejak era Belanda di Indonesia. Itu terbukti tertera tahun 1908, karena angka 1 sudah hilang akhirnya terlihat 908," ujar Rifki.
Bangunan ini menampilkan elemen-elemen khas rumah bergaya Indis. Warna dinding didominasi oleh krem dan putih dengan jendela-jendela berukuran besar yang berlapis dan dilengkapi jalusi atau krepyak, komponen penting untuk mengatur sirkulasi udara dan pencahayaan alami di dalam rumah.
![]() |
"Memang benar struktur bangunan masih kenal dengan rumah tempo dulu, di antaranya terlihat dari jendela dan pintu berukuran besar dan berlapis dua pintu," katanya.
Pintu utama pun tak kalah unik, terdiri dari dua daun pintu yang juga dilengkapi lubang angin untuk menjaga aliran udara. Atap rumah yang berbentuk limasan atau perisai, salah satu bentuk atap khas yang pada bangunan tropis, konon mampu melindungi penghuni rumah dari panas dan curah hujan tinggi.
Dinding rumah kuno itu terlihat masih kokoh, tebal, dan terbuat dari susunan bata merah dengan ketebalan antara 15 hingga 30 sentimeter. Di bagian dalam, lantainya menggunakan material teraso yang sebagian besar masih menunjukkan keaslian dan keutuhannya.
Langit-langit rumah itu juga lebih tinggi dari bangunan rumah saat ini. Hal ini menciptakan kesan lapang sekaligus menjaga sirkulasi udara tetap baik, meski tanpa menggunakan pendingin ruangan.
"Saya menempati rumah ini bersama orang tua mulai tahun 2002, sementara orang tua kami menempati rumah ini mulai tahun 1977," kata Rifki.
Keberadaan rumah ini menjadi bukti nyata bagaimana arsitektur kolonial Belanda berhasil beradaptasi dengan iklim tropis Indonesia. Dengan ukuran ruangan yang luas, jendela tinggi dan lebar, serta sirkulasi udara yang maksimal, rumah ini tetap terasa sejuk meski berada di kawasan panas seperti Porong.
![]() |
Bentuk atap rumah itu juga menunjukkan perpaduan antara gaya Eropa dan lokal. Salah satu yang paling mencolok adalah atap joglo yang menjadi penanda pengaruh arsitektur tradisional Jawa dalam struktur kolonial itu.
Meski keberadaannya saat ini terhimpit oleh pembangunan infrastruktur modern, rumah berusia lebih dari 117 tahun itu tetap menjadi simbol sejarah dan warisan budaya yang penting bagi masyarakat Sidoarjo.
"Semenjak Jembatan dan Jalan Raya Porong ditinggikan akhirnya rumah Milik keluarga besar H.M. Tair ini seperti di bawah. Sehingga terlihat tidak berpenghuni, anehnya banyak orang-orang gelandangan tidur di teras rumah," kata Rifki.
(dpe/hil)