Di tengah derasnya arus modernisasi, Kota Kediri tetap memegang teguh nilai-nilai budaya warisan leluhur. Sejumlah tradisi dan upacara sakral masih dilestarikan hingga kini, menjadi bagian penting dalam kehidupan spiritual dan sosial masyarakat.
Tradisi ini tak hanya menjadi simbol identitas budaya, tetapi sarana untuk mempererat hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tradisi ini juga cermin kearifan lokal yang telah membentuk identitas masyarakat Kediri selama berabad-abad.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi dan Upacara Sakral Kediri
Beberapa tradisi bahkan masih dijalankan secara rutin hingga kini, menjadi bagian dari kehidupan spiritual dan sosial warga. Berikut ini tiga tradisi dan upacara sakral yang masih lestari dan menjadi warisan budaya penting di Kediri.
1. Manusuk Sima
Manusuk Sima merupakan upacara sakral yang digelar setiap tahun untuk memperingati Hari Jadi Kota Kediri yang jatuh pada 27 Juli. Tradisi ini memiliki akar sejarah kuat, sebagaimana disebut dalam Prasasti Kwak, yang mencatat berdirinya Kediri pada hari Senin Legi, 27 Juli 879.
Saat itu, Dusun Kwak ditetapkan sebagai tanah sima atau daerah perdikan. Wilayah ini dikenal sangat subur karena dialiri Petirtaan Tirtoyoso, yang diyakini menjadi salah satu penopang utama peradaban Kediri sejak masa lampau.
ManusukSima menjadi bentuk rasa syukur atas limpahan berkah tersebut sekaligus doa agar dijauhkan dari bencana dan kekeringan. Mengutip laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, ritual ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki dan keselamatan yang diberikan.
2. Larung Sesaji
Larung Sesaji merupakan tradisi budaya yang dilakukan oleh masyarakat Kediri, khususnya di wilayah yang dekat dengan aliran sungai atau sumber air. Tradisi ini biasanya digelar di Sungai Brantas, tepatnya di kawasan Pasar Bandar Kediri.
Ritual ini dilakukan dengan melarung berbagai sesaji berupa hasil bumi, makanan tradisional, sayuran, hingga kepala sapi dan unggas ke sungai sebagai simbol persembahan kepada alam. Usai prosesi larung, gunungan sesaji sering kali diperebutkan oleh warga untuk dibawa pulang atau disantap bersama.
Menurut laman resmi Pemerintah Kota Kediri, Larung Sesaji dilangsungkan sebagai bentuk harapan agar seluruh kesulitan, penyakit, dan musibah warga dapat hanyut bersama arus sungai, menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi kota.
3. Kirab 1 Muharram
Kirab 1 Muharram adalah tradisi keagamaan yang rutin digelar untuk menyambut Tahun Baru Islam. Bulan Muharram dianggap sebagai bulan yang penuh berkah dan kebaikan oleh umat Muslim, sehingga perayaannya dilakukan dengan penuh khidmat.
Pada 26 Juni 2025, Pemerintah Kota Kediri untuk pertama kalinya mengadakan kirab budaya bertajuk Mapag Wiyosan dalam rangka menyambut 1 Muharram. Rangkaian acara meliputi pawai budaya dan arak-arakan tumpeng yang disambut antusias oleh masyarakat.
Tradisi ini menjadi simbol syukur sekaligus doa agar Kota Kediri senantiasa dijauhkan dari bencana serta dipenuhi kedamaian dan kerukunan. Kirab ini tidak hanya memperkuat ikatan spiritual warga, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai Islam dalam bingkai budaya lokal.
Kediri membuktikan bahwa di tengah kemajuan zaman, budaya dan nilai-nilai tradisional tetap bisa lestari. Tradisi seperti Manusuk Sima, Larung Sesaji, dan Kirab 1 Muharram tidak hanya mempererat hubungan masyarakat dengan leluhur dan alam, tetapi juga menjadi magnet budaya yang memperkaya identitas kota ini.
(dpe/irb)