DPP PDI Perjuangan (PDIP) Bidang Pariwisata dan Kebudayaan menggelar Teater Musik bertajuk Imam Al-Bukhari & Soekarno. Teater ini menggandeng produsen seni Bumi Purnati Indonesia.
Ketua Bidang Kebudayaan DPP PDI Perjuangan Rano Karno mengatakan teater ini adalah pentas kolaborasi yang mencoba menelusuri dan memaknai kembali kunjungan kenegaraan Presiden Sukarno ke Uzbekistan pada 1956.
"Kunjungan itu sendiri mengandung nilai sejarah yang penting karena mempertegas diplomasi politik Indonesia di tengah situasi Perang Dingin yang belum reda. Kunjungan Soekarno saat itu mempererat hubungan Indonesia dan Uzbekistan yang penduduknya beragama Islam dan di Samarkand, Uzbekistan, terdapat makam pemimpin perawi Hadis Imam Bukhari," jelas Rano saat konferensi pers di Hotel Majapahit Surabaya, Jumat (27/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rano menceritakan secuil latar belakang kisah Soekarno memperjuangkan makam Al Bukhari untuk ditemukan. Kala itu Indonesia dan Uzbekistan telah bertemu Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, 18-24 April 1955. Rano melanjutkan kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke Uzbekistan dimulai dari undangan Presiden Uni Soviet Nikita Khrushcev pada 1956.
"Sebelum menyetujui undangan itu, Sukarno meminta syarat agar Khruschev menemukan kembali makam Imam Bukhari, pemimpin para perawi Hadis yang sangat dihormati di kalangan umat Islam. Situasi politik yang memanas antara Blok Barat dan Blok Timur yang dikenal dengan Perang Dingin membuat Soekarno harus berhati-hati dalam melakukan kunjungan kenegaraan ini," bebernya.
"Indonesia dalam hal ini harus menjalankan haluan politiknya yang bebas-aktif dan nonblok dan karenanya Sukarno meminta untuk menziarahi makam Imam Bukhari. Sesungguhnya, tidak mudah bagi negara komunis semacam Uni Soviet untuk menemukan makam seorang tokoh Islam yang menjadi pemimpin para perawi Hadis ini. Namun, permintaan Bung Karno ini justru mendorong kerja sama kedua negara kemudian. Setelah Bung Karno mengunjungi Uzbekistan pada 1956, Nikita Khrushchev mengunjungi Indonesia pada 1960. Kerja sama Indonesia-Uzbekistan kali ini berkonsentrasi kepada teater dan seni pertunjukan sebagai bahasa diplomasi universal," tambahnya.
Rano kemudian mengungkap teater ini merupakan kolaborasi karya yang menampilkan bukan hanya aspek-aspek penting teater modern, tetapi juga musik klasik dan modern, lagu nasional, musik tradisi di Indonesia dan Uzbekistan, untaian zikir, film dokumenter, hingga simbol-simbol keagamaan kedua negara.
Selain itu, tokoh-tokoh kunci yang menjadi saksi sejarah dalam kunjungan Soekarno ke Uzbekistan ditampilkan kembali dengan pemeranan yang kuat dan rapi dengan dukungan alunan musik zikir, videografi, gerak dan dialog (tableau theater) yang isi-mengisi gubahan seniman kedua negara.
"Pentas Imam Al-Bukhari dan Soekarno adalah sebuah historical reenactment (menghidupkan kembali) dan teater arsip yang mengingatkan kita kembali kepada misi-misi kesenian Indonesia ke mancanegara pada masa pemerintahan Sukarno, terutama sepanjang 1950-1965," jelasnya.
"Sebagai sebuah pementasan musik-teater pentas ini juga membuat peristiwa sejarah selalu aktual di atas panggung dan kontekstual untuk khalayak penonton hari ini. Dengan pentas ini khalayak penonton akan mendapatkan watak ganda teater, sebagai pengolahan seni peran yang berusaha menggali asal muasal psikologi manusia sejak era Perang Dingin dan pengingat kembali akan sejarah, arus sosial-politik, yang berlalu di sekitarnya," tandasnya.
Produsen seni Bumi Purnati Indonesia menggandeng The Drama Theater of Kattakurgan sebagai mitra, demi menampilkan kekuatan artistik dan warisan tradisi kedua negara seraya menafsir kembali warisan budaya, politik, dan spiritual kunjungan Sukarno ke Uzbekistan.
(dpe/hil)