Apa itu jamasan pusaka? Tradisi ini menjadi salah satu ritual sakral yang biasa digelar masyarakat Jawa setiap 1 Suro. Jamasan pusaka adalah prosesi penyucian benda-benda pusaka seperti keris, tombak, dan peninggalan leluhur yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual.
Di berbagai daerah Jawa Timur, tradisi jamasan pusaka masih dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya. Ritual ini tak hanya bermakna merawat fisik pusaka, tetapi juga sebagai simbol pembersihan diri dan penghormatan kepada leluhur.
Apa Itu Jamasan Pusaka?
Jamasan pusaka adalah ritual adat Jawa yang bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan benda pusaka, seperti keris atau senjata warisan leluhur. Tradisi ini bukan hanya bentuk perawatan fisik, tetapi memiliki makna spiritual yang dalam. Jamasan pusaka menjadi salah satu warisan budaya yang memperkuat identitas daerah, khususnya di Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari situs resmi Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, ritual ini dilakukan dengan mencuci benda pusaka secara khusus dan sakral. Istilah "jamasan" berasal dari bahasa Jawa Kromo Inggil yang berarti mencuci atau membersihkan, sedangkan "pusaka" merujuk pada benda keramat yang dipercaya memiliki kekuatan magis.
Setiap tahunnya, ritual jamasan pusaka digelar pada malam 1 Suro dalam kalender Jawa. Di mana, malam ini dipercaya sebagai waktu paling tepat untuk membersihkan benda pusaka sekaligus menyucikan diri secara batiniah.
Filosofi dan Makna Ritual Jamasan Pusaka
Jamasan pusaka bukan sekadar membersihkan benda peninggalan, tapi juga menjadi simbol introspeksi diri. Masyarakat Jawa meyakini bahwa membersihkan keris ibarat membersihkan hati dan pikiran dari hal-hal negatif.
Dalam prosesi jamasan, terdapat ubo rampe atau perlengkapan ritual yang wajib disiapkan. Ubo rampe ini mencakup jajanan pasar, dupa, minyak wangi, air kelapa, serta bunga-bungaan seperti melati, mawar, dan kantil. Semua bahan tersebut memiliki makna simbolis dalam budaya Jawa.
Selain itu, masyarakat juga menggelar tumpengan atau doa bersama sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan. Tumpeng menjadi pengingat pentingnya berbuat baik, hidup bijaksana, serta menjaga hubungan harmonis dengan sesama dan alam.
Nilai Filosofi dalam Sebilah Keris
Keris sebagai salah satu benda pusaka memiliki banyak nilai filosofis. Setiap bagiannya, mulai dari pesi (pegangan), gonjo, tikel alis, pijetan, hingga greneng, mengandung simbol kehidupan manusia. Dari proses pembuatannya saja, seorang empu atau pembuat keris diajarkan untuk bersabar, tekun, teliti, dan penuh doa.
Tak heran jika jamasan pusaka dianggap sebagai ritual sakral yang sangat dihormati oleh masyarakat Jawa hingga kini. Tradisi ini juga menjadi sarana pelestarian nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun.
Tahapan Penting dalam Prosesi Jamasan Pusaka
Setiap prosesi jamasan pusaka memiliki urutan atau tahapan tertentu yang tidak bisa dilewati. Berikut ini beberapa tahapan penting ritual jamasan pusaka yang umumnya dilakukan saat malam 1 Suro.
1. Susilaning Nglolos Dhuwung
Tahapan pertama adalah pemberian penghormatan kepada pembuat dan pemilik pusaka. Biasanya dilakukan penjamas atau orang yang bertugas merawat benda pusaka tersebut.
2. Mutih
Pusaka dibersihkan dari kotoran dan karat dengan menggunakan campuran tradisional berupa abu arang kayu jati, perasan jeruk nipis, dan sedikit deterjen. Proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak merusak pamor atau motif keris.
3. Warangan
Warangan adalah proses perendaman pusaka dalam air yang telah dicampur dengan batu warangan dan air jeruk nipis. Batu warangan sendiri dulunya berupa campuran arsen, kapur, dan belerang.
Namun, kini bahan ini diganti dengan arsen yang lebih stabil. Tujuan proses ini adalah untuk menampilkan keindahan pamor atau motif khas keris. Air perasan jeruk nipis dan arsen biasanya digosokkan secara searah menggunakan kuas halus.
4. Keprok
Setelah proses warangan, pusaka dicuci bersih dengan sabun dan air mengalir guna menghilangkan sisa bahan asam. Kemudian dikeringkan dengan kain bersih, dan dijemur di bawah sinar matahari.
Selanjutnya, pusaka kembali diolesi warangan untuk perlindungan tambahan. Sebagai penutup, permukaan pusaka diolesi minyak khusus atau wewangian seperti sari melati, mawar, atau cendana agar tetap harum dan terawat.
Ritual jamasan pusaka bukan hanya tentang menjaga kebersihan benda pusaka, melainkan juga menyangkut nilai spiritual, etika, dan filosofi kehidupan yang dalam. Dengan berbagai tahapan yang sarat makna, tradisi ini menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Jawa yang masih hidup hingga sekarang.
(hil/irb)