Menjelang malam 1 Suro, masyarakat pesisir Banyuwangi kembali menggelar tradisi sakral yang telah diwariskan turun-temurun, yakni Petik Laut. Ritual ini bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan bentuk penghormatan terhadap alam dan ungkapan syukur atas limpahan rezeki dari laut.
Dilaksanakan setiap tanggal 15 Suro, Petik Laut menjadi momen sakral yang dipenuhi doa, pengajian, hingga pelarungan sesaji ke tengah laut. Tradisi ini tidak hanya menguatkan spiritualitas masyarakat nelayan, tetapi menarik ribuan pengunjung untuk menyaksikan harmoni budaya dan religi yang hidup di tanah Blambangan.
Apa Itu Tradisi Petik Laut?
Petik Laut adalah tradisi khas masyarakat pesisir Banyuwangi, khususnya di daerah Muncar, yang digelar setiap pertengahan bulan Suro. Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rezeki dari hasil laut, sekaligus permohonan agar dijauhkan dari marabahaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa sumber menyebutkan, tradisi Petik Laut telah berlangsung sejak tahun 1927 atau lebih dari 90 tahun. Warga percaya bahwa jika tidak melaksanakan tradisi ini, akan datang kesialan atau musibah. Maka dari itu, tradisi ini rutin dilakukan setiap tanggal 15 Suro dalam kalender Jawa.
Mengutip jurnal Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi, ritual ini biasanya berlangsung tiga hari. Hari pertama diawali pengajian dan pembacaan Yasin serta tahlil di masjid. Hari kedua dilanjutkan khataman Al-Qur'an, lalu ditutup dengan puncak acara di hari ketiga yang menghadirkan pentas seni serta pelarungan sesaji ke laut.
Prosesi Ritual Petik Laut
Tradisi Petik Laut dimulai dengan doa bersama, pembacaan tahlil, serta ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sejumlah juragan kapal mempersiapkan sesaji yang nantinya diletakkan di perahu-perahu kecil. Sebelumnya, sesaji telah didoakan agar membawa berkah.
Tak hanya itu, sejumlah pengajian dan yasinan juga digelar di rumah para nelayan sebagai bentuk doa bersama. Ada pula prosesi unik berupa mengaitkan pancing emas pada lidah kambing atau sapi, simbol harapan akan hasil tangkapan yang melimpah.
Setelah semua siap, perahu bergerak menuju laut diiringi lantunan salawat. Sesaji dihanyutkan ke laut sambil terus dilantunkan doa. Puncak ritual jatuh pada tanggal 15 Suro, ditandai dengan pelarungan sesaji berisi buah, sayuran, ayam, ikan, kepala sapi, uang, dan bahan lainnya.
Acara ini juga dimeriahkan dengan pentas seni, pesta rakyat, dan hiburan lain yang membuat suasana semakin meriah. Tak heran jika Tradisi Petik Laut tak hanya dinantikan masyarakat lokal, tetapi juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai daerah.
Makna Filosofis Petik Laut
Tradisi Petik Laut bukan hanya tentang budaya, tetapi juga mengandung filosofi dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ritual ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Dengan mempersembahkan hasil bumi dan laut, masyarakat mengungkapkan rasa syukur atas rezeki serta harapan akan keselamatan dan kemakmuran. Sesaji yang dilarungkan menjadi simbol penghormatan terhadap roh laut dan leluhur, sebagai bentuk ketaatan terhadap kepercayaan yang sudah mengakar.
Lebih dari itu, Petik Laut kini menjadi identitas budaya yang melekat kuat di hati masyarakat Banyuwangi, sekaligus pengingat bahwa hidup selaras dengan alam adalah bagian penting dalam menjalani kehidupan.
(auh/irb)