Jejak G30S/PKI di Surabaya: Kisah Perlawanan dan Pengkhianatan

Jejak G30S/PKI di Surabaya: Kisah Perlawanan dan Pengkhianatan

Sri Rahayu - detikJatim
Rabu, 25 Sep 2024 12:25 WIB
Tiket masuk Lubang Buaya perlu diketahui sebelum berkunjung ke tempat bersejarah itu. Seperti diketahui, Lubang Buaya menjadi saksi bisu peristiwa G30S PKI.
Monumen Pancasila Sakti. Foto: Agung Pambudhy
Surabaya -

Pada pertengahan tahun 1960-an, Indonesia berada pada situasi politik yang tidak stabil. Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai politik terbesar dan paling berpengaruh dalam demokrasi di tanah air saat itu.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) menjadi babak kelam dalam sejarah nasional yang tak hanya melibatkan pertikaian di Jakarta, tetapi juga memiliki dampak besar di berbagai daerah, termasuk Kota Surabaya.

Kota ini menjadi saksi bisu dari ketegangan politik yang melibatkan PKI dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Sehingga menciptakan dinamika yang rumit antara perlawanan dan pengkhianatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latar Belakang Sejarah G30S dan PKI di Surabaya

Sebelum peristiwa G30S, PKI memiliki pengaruh yang signifikan di Indonesia, terutama Jawa Timur, yang dikenal sebagai basis massa partai ini. Berawal dari maklumat yang dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945, pemerintah memberikan izin untuk berdirinya partai-partai politik.

Setelah maklumat tersebut dikeluarkan, berbagai partai berupaya menjadikan desa sebagai basis dukungan. Tak terkecuali PKI. Partai ini membuat program-program yang menjanjikan keadilan sosial bagi masyarakat bawah.

ADVERTISEMENT

Dilansir dari jurnal Universitas Indonesia berjudul Strategi Partai komunis Indonesia Terhadap Petani dan Pengaruhnya di Jawa Timur (1953-1965), yang ditulis Ahmad Fathul Bari dan Saleh A Djamhari, PKI melibatkan masyarakat pedesaan, khususnya petani, sebagai pendukung dalam gerakan politik yang dilaksanakannya.

PKI berhasil menarik dukungan dari kalangan buruh, petani, serta intelektual. Surabaya, sebagai ibu kota Jawa Timur, menjadi pusat aktivitas politik yang sangat strategis. Namun, ketegangan antara PKI dan kelompok militer, termasuk Angkatan Darat dan organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), semakin meningkat menjelang akhir 1960-an.

Peristiwa ini bermula pada bulan September 1965, ketika muncul isu tentang Dewan Jenderal yang mengindikasikan ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan niat untuk menggulingkannya. Menanggapi itu, Soekarno diduga memerintahkan pasukan Cakrabirawa (pengawal istana) menangkap para jenderal itu untuk diadili.

Ketegangan ini semakin meruncing pada malam 30 September 1965. Di mana, saat itu sekelompok orang yang mengeklaim diri sebagai G30S menculik enam jenderal Angkatan Darat. Dalam operasi penangkapan tersebut, pembunuhan dilakukan kepada enam jenderal Angkatan Darat, yaitu:

  • Letjen TNI Ahmad Yani(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando
  • Mayjen TNI Raden Suprapto(Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono(Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman(Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan(Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan

Enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya itu dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa), yang dianggap setia kepada PKI, yang saat itu dipimpin Letkol Untung.

Perlawanan Masyarakat dan Pengkhianatan yang Dilakukan

Kejadian G30S itu memicu gelombang represif terhadap PKI dan simpatisannya di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya. Mayjen Soeharto, yang menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, melakukan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Aksi ini mendapat dukungan tentara, dan kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi Islam sayap kanan, seperti Barisan Ansor NU serta Tameng Marhaenis PNI. Mereka terlibat dalam serangkaian pembunuhan massal yang terjadi, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam hitungan hari, banyak orang yang dianggap terlibat dengan PKI ditangkap, diintimidasi, bahkan dibunuh. Laporan menunjukkan, Sungai Brantas dekat Surabaya dipenuhi mayat-mayat hingga di beberapa titik sungai tersebut terhalang tubuh-tubuh korban.

Menjelang akhir tahun 1965, diperkirakan 500 ribu hingga 1 juta anggota dan pendukung PKI tewas akibat tindakan brutal itu, sementara ratusan ribu lainnya ditahan di kamp-kamp konsentrasi tanpa ada perlawanan. Regu militer yang mendapat dukungan dana dari CIA menangkap dan membantai semua yang dianggap anggota atau simpatisan PKI.

Masyarakat Surabaya mengalami perubahan yang dramatis setelah peristiwa G30S. Banyak dari mereka yang sebelumnya mendukung PKI merasa terjebak antara pilihan untuk berjuang membela ideologi, atau menyelamatkan diri dari penangkapan yang mengancam.

Pengkhianatan menjadi salah satu aspek yang paling menyakitkan. Banyak orang yang sebelumnya bersahabat harus membuat pilihan sulit antara mempertahankan loyalitas kepada teman dan tetangga, atau menyelamatkan diri dari penangkapan.

Fenomena ini menyebabkan perpecahan dalam komunitas, orang-orang saling menuduh dan mengkhianati satu sama lain demi menghindari nasib buruk. Meski begitu, di tengah ketidakpastian, sejumlah demonstrasi dan perlawanan juga bermunculan. Pendukung PKI berusaha membela diri dan menolak stigma negatif yang diarahkan kepada mereka.

Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads