Moerachman, Wali Kota Surabaya Rekomendasi PKI yang Lenyap Usai G30S

Moerachman, Wali Kota Surabaya Rekomendasi PKI yang Lenyap Usai G30S

Tim detikJatim - detikJatim
Rabu, 28 Sep 2022 21:43 WIB
Moerachman, Wali Kota Surabaya periode 1964-1965
Moerachman, Wali Kota Surabaya periode 1964-1965/(Foto Ilustrasi: Rezak Andi Purnomo/detikJatim)
Surabaya -

Tragedi tahun 1965 merupakan babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Tragedi yang diawali dengan penculikan dan pembunuhan 7 jenderal itu kemudian meluas menjadi pembantaian massal di berbagai daerah.

Korbannya adalah orang-orang yang dianggap tokoh, anggota, pengikut hingga simpatisan PKI. Dalih pembunuhan massal ini karena PKI dituding sebagai dalang dalam peristiwa yang kemudian dinamakan Gerakan 30 September atau G30S.

Tak terkecuali di Surabaya. Meski tak semasif penumpasan di daerah lain, namun Kota Pahlawan juga sempat diwarnai penangkapan dan penahanan, yang disertai pembunuhan kepada pejabat, anggota dan simpatisan PKI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satunya yakni Moerachman, Wali Kota Surabaya saat itu. Sejak ditangkap dan ditahan, kuburnya tak pernah ditemukan hingga sekarang. Moerachman menjabat sebagai wali kota dari periode 1964-1965. Minimnya arsip dan data mengenai Moerachman juga membuat sosoknya semakin misterius hingga kini.

Pradipto Niwandhono dalam jurnalnya Palu Arit di Kota Pahlawan: Peran Sosial-Politik PKI di Surabaya Masa Demokrasi Terpimpin 1957-1966 mengungkapkan mengenai sosok Moerahman. Pria kelahiran 25 November 1929, Benculuk, Banyuwangi itu adalah seorang politisi muda alumnus Fakultas Hukum, Universitas Airlangga.

ADVERTISEMENT

"Ketika mahasiswa, ia (Moerachman) merupakan salah seorang aktivis yang bergabung dalam CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan PKI dan memimpin delegasi mahasiswa Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung (1955)," tulis Pradipto Niwandhono.

Menurutnya, Moerachman bukan anggota PKI. Namun ia menjadi wali kota atas rekomendasi dari PKI yang saat itu sangat dominan di Kota Surabaya. Rekomendasi itu kemudian disampaikan ke Presiden Soekarno dan disetujui.

Moerachman diusulkan PKI menjadi wali kota setelah Wali Kota sebelumnya, Satrio Sastrodiredjo (1958-1963) tak menuntaskan jabatannya karena terpilih menjadi Wakil Gubernur Jatim. Karena itu, PKI kemudian mengisi kekosongan jabatan wali kota dengan mengusulkan Moerachman.

"Meskipun secara resmi bukan anggota PKI, pengangkatan Moerachman adalah berdasarkan rekomendasi partai tersebut yang waktu itu begitu dominan di Kota Surabaya, sehingga presiden (Soekarno) menyetujui rekomendasi tersebut dan mengangkatnya sebagai wali kota," jelas Pradipto.

Berbeda dengan Moerachman, Satrio merupakan tokoh dan kader PKI yang menonjol saat itu. Satrio tercatat merupakan alumnus Nederlandsch- Indische Artsen School atau Fakultas Kedokteran Unair saat ini.

"Pada tahun 1942, Satrio lulus dari pendidikan dokter di NIAS (Nederlandsch- Indische Artsen School). Ia pernah menjabat sebagai Menteri Muda Kesehatan pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948)," terang Pradipto.

Namun situasi politik usai G30S di Jakarta juga berpengaruh ke daerah termasuk di Surabaya. Sejumlah kantor-kantor PKI diserang oleh ormas-ormas Islam. Tak hanya itu, toko-toko milik orang China juga diserbu.

Puncaknya, sebuah pertemuan organisasi anti-komunis digelar di Tugu Pahlawan pada 16 Oktober 1965. Pertemuan itu menyerukan untuk mengganyang dan menumpas PKI yang dituding sebagai dalang G30S.

"Salah seorang tokoh militer setempat yang hadir dan ikut berpidato pada kesempatan tersebut adalah Kolonel Soekotjo Sastrodinoto, salah satu perwira Divisi Brawijaya di Surabaya. Dengan demikian, situasi aman dan hati-hati di Surabaya menyusul upaya kudeta, seketika berubah menjadi gelombang kekerasan dan para simpatisannya," jelasnya.

Kekerasan semakin meluas setelah pada 22 Oktober 1965, seluruh organisasi massa yang bernaung di bawah PKI juga turut dilarang. Sejak saat itu eskalasi kekerasan semakin meningkat di Surabaya. Penangkapan, penahanan disertai pembunuhan marak terjadi.

"Ledakan kekerasan berupa pembunuhan dan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga pendukung komunis merebak di berbagai penjuru kota. Beberapa kampung yang dianggap sarang komunis seperti Dukuh Kupang dan Pandegiling diserbu oleh tentara dan ormas-ormas Islam," terangnya.

Tak terkecuali Moerachman. Ia ditangkap dan sempat ditahan di penjara Kalisosok karena terindikasi sebagai pendukung PKI. Sejak saat itu, Moerachman tak pernah diketahui rimbanya hingga kini.

"Beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa Wali Kota Surabaya (Moerachman) telah ditahan bersama tujuh orang bupati di Jawa Timur yang diindikasikan sebagai pendukung PKI," terang Pradipto.

Tak hanya dihilangkan, foto Wali Kota Moerachman juga tak pernah dipasang di dinding Balai Kota Surabaya hingga kini. Moerachman tak sendiri, karena wali kota sebelumnya yakni Satrio Sastrodiredjo juga fotonya tak dipasang. Itu diduga karena pertimbangan politik. Sebab sejak zaman Orde Baru, semua hal yang berbau PKI harus dilarang dan dihapus.

Sepeninggal Moerachman, jabatan Wali Kota Surabaya kemudian diganti oleh Kolonel Soekotjo Sastrodinoto yang sempat hadir dalam pertemuan seruan penumpasan PKI di Tugu Pahlawan. Soekotjo menjabat Wali Kota Surabaya mulai 1965 hingga 1974.

Halaman 2 dari 2
(abq/sun)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads