Mengenang Gugurnya 38 Pejuang Melawan Belanda di Coban Jahe Malang

Urban Legend

Mengenang Gugurnya 38 Pejuang Melawan Belanda di Coban Jahe Malang

Muhammad Aminudin - detikJatim
Kamis, 22 Agu 2024 13:01 WIB
pertempuran Kalijahe Coban Jahe Malang
Taman Makam Pahlawan Kalijahe tempat peristirahatan terakhir 38 pejuang (Foto: Muhammad Aminudin)
Malang -

Coban Jahe di Malang menjadi saksi perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah. Di kawasan hutan yang dinamakan Kalijahe, para pejuang berusaha menghadapi serangan dari Belanda dan pasukan sekutu yang berusaha kembali menguasai Indonesia.

Coban Jahe atau air terjun jahe sendiri berada di wilayah Desa Taji, Jabung, Kabupaten Malang. Lokasinya berdekatan dengan kaldera Gunung Bromo.

Saat itu sekitar 150-an pasukan yang disebut Kompi Gagak Lodra di bawah pimpinan Kapten Sabar Sutopo sedang berjuang melawan Belanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setidaknya 38 pejuang gugur dalam pertempuran itu. Lantaran serangan dari pasukan Belanda yang ada di sekeliling bukit pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

pertempuran Kalijahe Coban Jahe MalangPrasasti mengenang pertempuran di Kalijahe Malang (Foto: Muhammad Aminudin)

Sejarawan sekaligus pegiat sejarah Malang Eko Irawan menuturkan saat itu Kompi Gagak Lodra mendapat tugas khusus dari Mayor Hamid Rusdi untuk menuju Tosari melalui lautan pasir Gunung Bromo. Tujuannya untuk merebut pos Tosari yang berhasil ditaklukkan Belanda pada 22 Desember 1948.

ADVERTISEMENT

Namun saat perjalanan ke Pasuruan, pasukan Gagak Lodra terhalang oleh pertahanan yang kuat dimiliki Belanda.

"Dari sana pasukan kembali ke arah Malang dan sampai ke Kalijahe. Namun di Kalijahe ini mereka terjebak hujan dan cuaca buruk selama dua hari di hutan Kalijahe. Tapi saat berada di Kalijahe ini para pasukan diserang dari atas pegunungan oleh pasukan Belanda," ujar Eko kepada detikJatim, Kamis (22/8/2024).

Eko menjelaskan meski para pejuang telah berhati-hati dan berjalan kaki di sepanjang hutan lembah untuk menghindari pasukan Belanda, ternyata ada warga pribumi yang membocorkan tempat persembunyian pasukan Gagak Lodra ini.

"Ada warga kita yang membocorkan ke Belanda mengatakan ada pasukan gerilyawan ini berada di lembah hutan Kalijahe. Kan memang warga sendiri ada yang pro dan kontra Belanda. Jadi mungkin Belanda ini bisa memprovokasi untuk menjadi mata-mata," terang pria yang juga pengelola Museum Reenactor Ngalam ini.

Pertempuran selama dua hari di Coban Jahe ini berjalan tak seimbang, pasukan Belanda yang menggunakan senapan otomatis dan granat yang berada di atas bukit dengan kekuatan pasukan lebih banyak, harus melawan gerilyawan pejuang Indonesia dengan persenjataan senapan rampasan perang yang berada di lembah atau bawah bukit.

Belum lagi saat pertempuran kondisi hujan dan kabut membuat pejuang Indonesia kesulitan melihat lawan.

"Hasilnya ya dari ratusan pasukan itu 38 pejuang kita gugur, sementara yang selamat diperkirakan 150 orang tapi akhirnya mundur dan melarikan diri melalui sungai menuju kampung," ucapnya.

Namun pertempuran besar di Kalijahe yang banyak memakan korban juga membawa hikmah. Pasalnya pasukan lainnya yang dipimpin Abdul Syarif dan Samsul Islam dari Jajang, Poncokusumo berhasil melewati Tosari, hingga akhirnya menuju Probolinggo dan Pasuruan untuk menyiapkan pasukan yang lebih besar lagi.

"Keberhasilan ini karena pasukan Belanda terfokus di Kalijahe menghadapi pasukan Sabar Sutopo. Ini merupakan keberhasilan dari kepentingan strategi, masuknya Kompi Gagak Lodra memandu berbagai pasukan yang akan melakukan wingate action menuju ke arah timur," paparnya.

Meski porak-poranda oleh serangan Belanda, Kompi Gagak Lodra akhirnya dapat dibangun kembali, bahkan dengan kekuatan yang berlipat ganda. Setelah pertempuran di Kalijahe, pasukan yang tersisa berkumpul kembali di Garotan, Wajak.

"Berkat konsolidasi yang dilakukan secara terus menerus selama tiga bulan, ditambah lagi dengan kedatangan pasukan Letnan Soemodiharjo (yang terkenal sebagai pasukan penangkis serangan udara), Kompi Gagak Lodra kembali dapat dibangun. Pasukan Letnan Soemodiharjo membawa banyak senjata berat yang terdiri dari senapan mesin 12.7, 13.2, mortir 8 dan beberapa pucuk senjata ringan," lanjutnya.

Dengan kekuatan utuh tersebut, lanjut Eko, Kompi Gagak Lodra mampu mempertahankan daerah Garotan dan sekitarnya (kecamatan Wajak). Bahkan berulang-ulang mereka melakukan serangan ke pos-pos Belanda di Wajak, Codo, dan Turen.

"Beberapa kali pasukan Belanda mencoba menyusup ke daerah basis gerilya tetapi kami gagalkan karena kerjasama antara tentara dan rakyat yang terjalin erat, sehingga gerak langkah Belanda selalu diawasi terus dan dilaporkan ke markas gerilya," tutupnya.

Urban Legend adalah rubrik detikJatim tentang legenda, kisah rakyat, dan tradisi yang ada di masyarakat. Urban Legend hadir setiap Kamis. Lebih lengkapnya bisa dibaca di sini




(mua/iwd)


Hide Ads