8 Urutan Selamatan Orang Meninggal dalam Budaya Jawa

8 Urutan Selamatan Orang Meninggal dalam Budaya Jawa

Irma Budiarti - detikJatim
Jumat, 12 Jul 2024 17:00 WIB
tahlilan di rumah korban tewas terbakar di Kediri
Ilustrasi selamatan orang meninggal. Foto: Andhika Dwi Saputra
Surabaya -

Masyarakat Jawa memiliki ritual selamatan untuk orang meninggal dunia, yang dimulai sejak hari kematian hingga 1000 hari. Selamatan ini ditujukan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Simak urutan selamatan untuk orang meninggal dunia dalam budaya Jawa.

Setiap tahapan selamatan orang meninggal dunia bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang meninggal. Harapannya, orang tersebut mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan dan memberikan dukungan emosional untuk keluarga yang ditinggalkan.

Urutan Selamatan Orang Meninggal di Jawa

Dilansir dari situs resmi Sistem Informasi Desa dan Kelurahan Kabupaten Kendal, selamatan orang meninggal biasanya diisi dengan tahlilan. Tradisi Islam ini dilakukan untuk mendoakan orang yang meninggal. Selamatan dilakukan sejak malam pertama setelah seseorang meninggal dan malam-malam tertentu hingga menyentuh 1000 setelah kematian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Upacara Kematian

Sebelum selamatan yang biasanya digelar pada malam hari, masyarakat Jawa melakukan serangkaian upacara kematian. Dimulai dari memandikan jenazah yang dilakukan keluarga atau orang yang ditunjuk. Jenazah dimandikan dengan air yang dicampur daun-daun tertentu seperti daun pandan atau daun bidara.

Setelah dimandikan, jenazah dikafani atau dibungkus kain putih. Kemudian jenazah disalati yang dilakukan keluarga dan tetangga sekitar yang beragam Islam. Dan, tibalah pada prosesi terakhir, yaitu penguburan. Jenazah dikuburkan sesuai ajaran Islam, biasanya dilakukan secepat mungkin setelah kematian.

ADVERTISEMENT

2. Selamatan Hari Pertama

Selamatan ini dilakukan pada malam pertama setelah orang meninggal dunia. Biasanya dilakukan pada malam hari setelah salat Magrib maupun Isya. Beberapa daerah di Jawa melakukan selamatan ini selama seminggu hingga selamatan tujuh hari.

3. Selamatan Tujuh Hari

Orang Jawa menyebutnya selamatan atau tahlil pitung dinoan. Dalam bahasa Indonesia artinya tahlil tujuh harian. Selamatan ini dilakukan pada hari ketujuh. Sama seperti selamatan hari pertama, acara ini diisi dengan pembacaan doa, zikir, dan surat-surat Al-Qur'an seperti Yasin dan tahlil mendoakan almarhum/almarhumah.

Selain membacakan doa untuk almarhum/almarhumah, selamatan ini juga untuk menguatkan keluarga yang ditinggalkan. Tahlilan hari ketujuh juga dianggap sebagai hari penting dalam mempersiapkan almarhum untuk menghadap kepada Allah SWT.

4. Selamatan Hari ke-40

Selamatan ini bertepatan dengan 40 hari setelah meninggalnya almarhum/almarhumah. Acara selamatan ini biasanya diadakan lebih besar dibanding sebelumnya. Pemilik hajat akan mengundang lebih banyak orang dan menyiapkan hidangan untuk dibawa pulang jemaah.

5. Selamatan Hari ke-100

Setelah selamatan hari ke-40, keluarga akan kembali mengadakan tahlilan atau selamatan hari ke-100. Dalam adat Jawa, disebut satus dino. Acara ini mirip dengan selamatan hari ke-40, keluarga almarhum/almarhumah akan mengadakannya lebih besar.

6. Selamatan 1 Tahun

Selamatan satu tahun ini biasa disebut pendhak pisan. Dilakukan untuk memperingati satu tahun wafatnya almarhum/almarhumah. Beberapa daerah menyebut sebagai selamatan haul. Masih sama seperti selamatan sebelumnya, keluarga mengadakan pembacaan doa, zikir, pengajian, dan makan bersama.

7. Selamatan 2 Tahun

Masyarakat Jawa menyebutnya selamatan pendhak pindho, yang berarti selamatan dua tahun wafatnya almarhum/almarhumah. Keluarga juga akan menggelar pembacaan doa, zikir, pengajian, dan makan bersama.

8. Selamatan 1000 Hari

Selamatan ini merupakan yang terakhir. Masyarakat Jawa menyebutnya sewune atau seribu harinya. Selamatan dilakukan setelah 1000 hari atau sekitar tiga tahun setelah kematian. Tidak jauh berbeda, keluarga juga akan menggelar pembacaan doa, zikir, pengajian, dan makan bersama.

Setiap tahapan selamatan memang diadakan dengan makan bersama atau kenduri. Makanan yang disajikan juga memiliki makna simbolis dan disusun dalam bentuk tumpeng atau makanan tradisional lainnya. Upacara selamatan ini untuk mendoakan almarhum/almarhumah, sekaligus mempererat hubungan sosial antar keluarga dan masyarakat.

Sejarah Tradisi Selamatan

Dilansir dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Kabupaten Madiun, istilah selamatan berasal dari bahasa Arab "salamah", yang memiliki arti selamat atau bahagia. Tradisi ini masih dilestarikan masyarakat Jawa. Upacara adat Jawa ini sebagai wujud rasa syukur atas anugerah dan karunia Tuhan.

Selamatan dilakukan dengan mengundang kerabat dan tetangga. Dimulai dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk, doa bersama, dan dilanjutkan menikmati nasi tersebut bersama-sama.

Sejarah selamatan sendiri bermula dari kepercayaan yang dianut masyarakat Jawa sebelum kedatangan agama Hindu dan Islam atau sejak zaman prasejarah. Berawal dari munculnya kepercayaan animisme dan dinamisme karena kebutuhan masyarakat Jawa akan keselamatan, keamanan, kesejahteraan, ketenteraman, dan kedamaian hidup.

Kepercayaan ini melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sehingga terciptalah percampuran atau akulturasi antara agama pendatang dengan kepercayaan nenek moyang. Dan, rituan selamatan menjadi salah satu tradisi hasil akulturasi budaya yang masih tetap dilestarikan hingga saat ini.

Selamatan dipimpin pemuka agama (modin) daerah setempat, dan diisi dengan doa dan makan-makan bersama. Ritual ini dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tujuan utama diadakannya ritual ini adalah keselamatan. Sehingga tradisi selamatan dilakukan hampir pada setiap peristiwa yang dianggap penting. Misalnya kelahiran, kematian, pernikahan, atau ketika mengadakan kegiatan besar.




(irb/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads