Suku Tengger Tinggal di Gunung Apa? Ini Asal-usulnya

Suku Tengger Tinggal di Gunung Apa? Ini Asal-usulnya

Albert Benjamin Febrian Purba - detikJatim
Rabu, 19 Jun 2024 20:30 WIB
Sejumlah wisatawan menyaksikan matahari terbit di Penanjakan Satu Bromo, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (13/6/2024). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur (Jatim) menargetkan mampu menggerakkan 324,8 juta wisatawan ke Jatim sepanjang tahun 2024 dengan perputaran transaksi hingga Rp400 triliun. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa.
Gunung Bromo (Foto: ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)
Probolinggo -

Di antara panorama pegunungan yang megah dan hamparan kawah yang luas, terukir cerita tentang Suku Tengger. Berikut ini penjelasan asal-usul dan tempat tinggal masyarakat Suku Tengger yang dikenal unik.

Suku Tengger menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Mereka mendiami dataran tinggi di sekitar pegunungan Tengger, Bromo, dan Semeru di Jawa Timur.

Dikenal juga dengan sebutan Wong Tengger, Wong Brama, atau Wong Bromo, Suku Tengger memiliki asal-usul dan keunikan tersendiri yang menarik untuk ditelusuri. Lantas, bagaimana asal-usul dan sejarah Suku Tengger? Berikut penjelasannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal-usul Suku dan Penamaan Tengger

Sebenarnya, asal-usul suku ini masih belum dapat dipastikan dan masih menimbulkan banyak pertanyaan. Sehingga tak heran terdapat banyak teori yang menyebar untuk menjelaskan sejarah munculnya suku yang mendiami lereng Bromo Tengger Semeru ini.

Untuk kata "Tengger" dalam masyarakat setempat sendiri memiliki tiga makna. Pertama, Tengger dapat diartikan sebagai tegak atau diam, yang mencerminkan sifat orang Tengger.

ADVERTISEMENT

Kedua, kata ini merujuk pada budi pekerti yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir, Tengger merupakan gabungan dari nama nenek moyang mereka, Roro Anteng dan Joko Seger.


Suku Tengger Berasal dari Kerajaan Majapahit

Sebagian orang meyakini bahwa Suku Tengger berasal dari Kerajaan Majapahit. Bukan tanpa alasan, Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memang menyimpan cukup banyak sejarah dan arkeologi yang membantu mengungkap asal-usul kehidupan Suku Tengger.

Prasasti kuno menunjukkan bahwa desa Walandhit di pegunungan Tengger telah menjadi tempat suci sejak tahun 851 Saka (929 M), dihuni oleh hulun hyang yang menjalani kehidupan sebagai abdi dewata. Peribadatan di kawasan ini ditujukan kepada Gunung Bromo dan Sang Hyang Swayambuwa, yang setara dengan Dewa Brahma dalam agama Hindu.

Pada tahun 1880, sebuah prasasti kuningan dari tahun 1327 Saka (1407 M) ditemukan oleh seorang perempuan Tengger di Desa Wonokitri. Prasasti ini menguatkan status suci Walandhit dan kebebasan warga dari pajak upacara kenegaraan, menegaskan hubungan Tengger dengan tradisi keagamaan Hindu-Buddha Majapahit.

Seperti yang diketahui, nama "Tengger" diyakini berasal dari Rara Anteng dan Jaka Seger, nenek moyang Tengger. Rara Anteng, putri Raja Brawijaya V dari Majapahit, dan Jaka Seger, seorang brahmana yang bertapa di Tengger, memberikan asal-usul nama dan tradisi spiritual yang khas bagi suku Tengger.

Meskipun telah menikah beberapa tahun, mereka belum juga diberkahi dengan anak. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan pertapaan di Gunung Bromo, berharap agar Sang Hyang Widhi Wasa mengabulkan permintaan mereka untuk memiliki keturunan. Dalam pertapaan tersebut, mereka berjanji akan mengorbankan anak mereka jika doa mereka dikabulkan.

Beberapa waktu kemudian, mereka diberkahi dengan 25 anak. Roro Anteng dan Jaka Seger membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Namun, mereka lupa akan janji mereka untuk mengorbankan salah satu anak mereka di kawah Gunung Bromo.

Ketika hal ini terungkap, hanya Kusuma, anak bungsu dari 25 bersaudara, yang bersedia menjadi tumbal. Sebelum mengorbankan dirinya, Kusuma memberikan pesan kepada keluarga dan masyarakat Suku Tengger saat itu. Dia menjelaskan bahwa dirinya telah dipilih untuk menjadi tumbal agar kedamaian tetap terjaga bagi mereka yang ditinggalkan.

Kusuma juga meminta agar dilakukan persembahan kepada Kawah Gunung Bromo setiap tanggal 15 bulan Kasada. Ini juga yang menjadi awal dari salah satu tradisi Suku Tengger yang dikenal dengan Yadnya Kasada. Sisa keturunan dari pasangan tersebut inilah yang diyakini sebagai asal-usul Suku Tengger.

Sementara teori lain menyebutkan bahwa Suku Tengger sudah ada sejak zaman yang jauh sebelum keberadaan Majapahit. Penganut teori ini, menolak pandangan bahwa Suku Tengger berasal dari keturunan Majapahit.

Menurut sejarawan dan pengamat sejarah Probolinggo, Eko Arahman, bukti terkait adalah prasasti Pananjakan yang berasal dari tahun 1350-1389 Masehi, dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Prasasti Pananjakan mencatat bahwa masyarakat Tengger memiliki kemampuan untuk mempertahankan budaya Tengger mereka. Prasasti ini dikeluarkan oleh Prabu Hayam Wuruk pada periode tahun 1350-1389 Masehi, menunjukkan bahwa Suku Tengger telah ada sejak zaman pemerintahan Hayam Wuruk.

Tradisi Suku Tengger

Adapun beberapa tradisi yang masih dipertahankan oleh Suku Tengger di dataran tinggi Bromo Tengger Semeru, sebagai berikut:

1. Upacara Kasada atau Yadnya Kasada

Upacara Kasada merupakan hari raya bagi masyarakat Tengger yang menganut ajaran Hindu Dharma. Yadnya Kasada diadakan pada hari ke-14 bulan Kasada dengan sesembahan berupa sesaji kepada Sang Hyang Widhi, yang merupakan manifestasi dari Batara Brahma.

Upacara ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu puja Purkawa, Manggala upacara, Ngulat umat, Tri Sandiya, Muspa, Pembagian Bija, Diksa Widhi, dan penyerahan sesaji di kawah Bromo. Prosesi dimulai dengan Sadya Kala Puja dan berakhir dengan Surya Puja.

Masyarakat Tengger berbondong-bondong menuju Gunung Bromo untuk mengantarkan sesaji berupa hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poten Agung. Selama upacara, Rama Dukun Pandita akan membacakan Japa Mantera untuk mendoakan keselamatan alam semesta.

2. Hari Raya Karo atau Yadnya Karo

Hari Raya Karo atau Yadnya Karo adalah perayaan besar kedua setelah Yadnya Kasada, yang diadakan pada bulan kedua dalam kalender Suku Tengger. Perayaan ini diikuti oleh tiga desa, yaitu Desa Jetak, Wonotoro, dan Ngadisari.

Makna dari Yadnya Karo adalah simbol asal mula kelahiran manusia yang diciptakan oleh Sang Hyang Widiwasa melalui perkawinan antara pria dan wanita.

3. Tradisi Unan-unan

Warga Suku Tengger di lereng Gunung Bromo juga melaksanakan tradisi unan-unan. Istilah unan-unan berasal dari kata "tuno" yang berarti berkurang, terkait dengan jumlah hari dalam penanggalan Suku Tengger.

Biasanya setiap bulan memiliki 30 hari, namun pada bulan tertentu hanya memiliki 29 hari, sehingga terdapat selisih lima hingga enam hari dalam setahun.

Untuk melengkapi kekurangan tersebut, selisih hari tersebut dimasukkan ke dalam Bulan Dhesta, bulan kesebelas yang hanya ada dalam penanggalan setiap 5 tahun sekali. Pada Bulan Dhesta ini, warga Suku Tengger menggelar ritual unan-unan untuk membersihkan desa agar terhindar dari malapetaka.

4. Tempat Tinggal Suku Tengger

Sebagian besar Suku Tengger mendiami wilayah sekitar dataran tinggi Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Oleh karena itu, suku ini dikenal juga dengan sebutan Wong Brama atau Wong Bromo.

Selain itu, sebagian dari masyarakat Suku Tengger juga tinggal di wilayah lain, seperti Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Pasalnya, Gunung Bromo sendiri memang terletak di titik bertemunya batas keempat kabupaten tersebut.

Masyarakat Tengger adalah salah satu sub kelompok dari orang Jawa yang memiliki budaya yang unik. Keunikan ini terlihat dari bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Jawa dengan dialek Tengger.

Dialek Tengger tidak memiliki tingkatan bahasa, baik dalam interaksi sesama mereka maupun dengan orang di luar komunitas mereka. Sebagian besar masyarakat Tengger memeluk agama Hindu.

Namun, agama Hindu di Tengger memiliki perbedaan dengan Hindu di Bali. Mereka tidak menerapkan sistem kasta. Agama Hindu di suku Tengger telah berakulturasi dengan budaya asli mereka.


Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads