Cerita Sawunggaling Saat Kecil Sering Di-bully gegara Tak Punya Ayah

Urban Legend

Cerita Sawunggaling Saat Kecil Sering Di-bully gegara Tak Punya Ayah

Imam Wahyudiyanta - detikJatim
Kamis, 13 Jun 2024 15:08 WIB
Makam Raden Sawunggaling berada di Jalan Lidah Wetan Gang III, Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri. Apakah detikers pernah ke sana?
Makam Sawunggaling di Lidah Wetan (Foto: Jemmi Purwodianto/detikJatim)
Surabaya -

Surabaya pernah mempunyai Adipati yang begitu membenci Kompeni Belanda. Adipati itu adalah Sawunggaling. Sebelum menjadi adipati, hidup Sawunggaling penuh lika liku termasuk ketika ia mendapatkan perundungan (bully) saat ia masih kecil.

Nama asli Sawunggaling adalah Joko Berek. Nama itu diberikan oleh ayahnya yakni Adipati Jayengrono (Jangrono) III. Kisah tentang Sawunggaling dimulai saat ayah dan ibunya bertemu pertama kalinya di hutan Surabaya barat. Saat itu Jayengrono III sedang berburu dan bertemu Dewi Sangkrah.

"Saat berburu itu, Adipati Jayengrono III bertemu Dewi Sangkrah di Desa Lidah Donowati. Yang sekarang menjadi Lidah Wetan dan Kulon," ujar pengurus makam Sawunggaling, Tulus Warsito kepada detikJatim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jayengrono III terpesona dengan kecantikan Dewi Sangkrah. Mereka lalu menikah. Namun sebagai Adipati Surabaya, Jayengrono III harus kembali ke kedaton. Saat itu ia mendengar Belanda ingin mengambil alih Kadipaten Surabaya.

"Sebelum pergi, Adipati Jayangrono meminta Dewi Sangkrah untuk tetap tinggal di Donowati. Ia juga bertitip pesan agar anaknya diberi nama Joko Berek. Jayangrono III juga memberikan selendang cindei puspita, sebagai tanda untuk mencarinya di Kedaton Surabaya," jelas tulus.

ADVERTISEMENT

"Jadi sejak lahir, Joko Berek ini sudah ditinggal ayahnya. Ia dibesarkan oleh Mbah Buyut Suro dan Ibunya Dewi Sangkrah. Mbah Buyut Suro ini orang tua angkat Dewi Sangkrah sekaligus guru Sawunggaling," tambah Tulus.

Saat berumur sekitar 8 tahun, Sawunggaling menemukan seekor anak ayam di hutan. Ia menyelamatkan anak ayam itu dari burung Elang yang hendak memangsanya. Sawunggaling membawa anak ayam tersebut pulang untuk dirawat.

"Karena ayam tersebut jantan, ia memberikan nama Bagong," kata Tulus.

Saat beranjak dewasa, Joko Berek selalu diejek oleh teman-temannya, karena tidak mempunyai ayah seperti anak-anak lainnya. Ia kerap disebut anak haram. Setiap hari ia selalu menanyakan kepada ibunya mengenai keberadaan ayahnya.

"Karena sering diilokno (diejek) nggak punya ayah, Joko Berek pun bertanya ayahnya masih hidup atau sudah mati. Kalau masih hidup di mana dia sekarang, kalau sudah mati di mana kuburannya," jelas Tulus.

Mendapat pertanyaan itu, hati Raden Ayu Dewi Sangkrah bingung dan hatinya berdebar. Ia sudah menduga anaknya akan menanyakan siapa ayahnya. Dia harus menjawabnya dengan jujur.

Dewi Sangkrah pun menceritakan siapa ayahnya, seorang pembesar (adipati) di Surabaya. Untuk menemui ayahnya, sang ibu berpesan agar Sawunggaling mengenakan cindei puspita.

"Karena selendang itu adalah pemberian ayahnya yang akan menjadi bukti nyata, kalau Sawunggaling adalah anak kandung yang telah lama ditinggalkannya," kata Tulus.

Ditemani seekor ayam bernama Bagong, Sawunggaling berangkat menemui ayahnya ke Kadipaten Surabaya. Untuk bertemu Jayengrono tidaklah muda. Ia sempat dihentikan oleh penjaga gerbang Kadipaten Surabaya.

"Sempat ada pertarungan antara penjaga dengan Sawunggaling. Karena sudah dilatih kanuragan dan kesaktian oleh kakeknya (Mbah Buyut Suro), ia pun berhasil mengalahkan para penjaga itu dengan mudah," kata Tulus.

Saudara tiri Sawunggaling bernama Sawungrana dan Sawungsari menghentikan keributan itu. Sang penjaga pun berhenti menyerang Sawunggaling.

Sawungrana dan Sawungsari menanyakan tujuan Sawunggaling bertemu ayah mereka. Namun Sawunggaling hanya akan menyampaikan maksud dan tujuannya ketika sudah berhadapan dengan ayahnya.

"Karena tak mau mengatakan tujuannya, Sawungrana menantang Sawunggaling untuk adu ayam. Karena saat itu Sawunggaling membawa ayamnya," terang Tulus.

"Jadi ini juga meluruskan cerita yang tersebar luas jika Sawunggaling suka adu ayam itu nggak benar. Jadi adu ayam itu hanya pada saat itu saja, karena harus mengalahkan saudara tirinya itu untuk bertemu ayahnya," kata Tulus.

Ayam yang diberi nama Bagong itu sudah dianggap sebagai temannya oleh Sawunggaling. Bagong kemudian mengalahkan ayam saudara tirinya.

Tak terima ayamnya kalah, Sawungrana menantang Sawunggaling untuk berduel. Namun sebelum terjadi perkelahian, Adipati Jayengrono keluar dan menghentikan pertikaian tersebut.

"Setelah menjelaskan semuanya kepada Adipati Jayengrono, Sawunggaling pun menunjukkan selendang cindei puspita. Sehingga Jayengrono pun mengakui jika Sawunggaling adalah putranya," tutup Tulus.




(irb/iwd)


Hide Ads