Kabupaten Bondowoso selama ini seolah tak terpisahkan dengan hewan sapi. Hal itu terlihat dari logo Pemkab setempat yang bergambar kepala sapi, serta budaya aduan sapi yang sudah termasyhur.
Saat ini budaya adu hewan berkaki empat tersebut telah punah atau bahasa tepatnya 'dipunahkan'. Bagaimana sejarah budaya aduan sapi itu bermula?
Budaya aduan sapi muncul sejak era bupati pertama Bondowoso, yakni Raden Bagus Asra atau dikenal dengan sebutan Ki Ronggo, yang memerintah sejak tahun 1819.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konon, budaya aduan sapi bemula saat Raden Bagus Asra atau Ki Ronggo menetapkan sebidang tanah sebagai pusat kota Bondowoso. Lokasi ini kelak di kemudian hari dikenal sebagai alun-alun Raden Bagus Asra.
![]() |
Kala itu, sebidang tanah tersebut masih berupa lahan kosong yang kondisinya tidak rata dan dipenuhi semak belukar. Pun ketika musim hujan kondisinya penuh kubangan dan becek.
Untuk mengatasi kondisi itu Ki Ronggo lantas berpikir bahwa calon pusat kota yang akan dijadikan tempat kegiatan kabupaten tersebut harus lapang, bersih, dan tanahnya rata.
Maka, dibuatlah sebuah kegiatan rutin yang dapat mendatangkan massa. Kegiatan itu selain memberi hiburan pada masyarakat juga dapat membuat tanah rata setelah diinjak-injak.
Karena ketika banyak orang yang datang, secara tidak langsung orang-orang pasti menginjak tanah, yang pada akhirnya membuat tanah menjadi rata.
Ada beberapa kegiatan yang kerap digelar kala itu. Yakni aduan sapi, balap burung puyuh, serta beberapa kegiatan lain yang bersifat menghibur masyarakat.
Dalam perjalanannya, aduan sapi yang paling banyak diminati sebagai tontonan dan mampu mendatangkan massa. Bahkan, aduan sapi tersebut lantas digelar tiap akhir pekan.
![]() |
Bukan cuma itu. Masyarakat sekitar lantas berlomba-lomba untuk memiliki sapi yang dapat diadu dan ditampilkan dalam atraksi rutin tersebut.
Sapi lantas bukan hanya diadu. Tapi juga disertai gamelan sebagai pengiring. Pun diikuti tarian-tarian yang dibawakan oleh masing-masing pendukung sapi yang akan diadu.
"Dari situlah lantas aduan sapi tersebut menjadi budaya secara turun-temurun," kata Supriyadi Imam Supeno, ketika berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Kamis (28/3/2024).
Generasi ke-5 trah Ki Ronggo tersebut menyampaikan aduan sapi tersebut sebenarnya layak dilestarikan, sebagai peninggalan budaya leluhur. Apalagi, budaya itu secara tak langsung bersinggungan dengan perintis kabupaten ini.
"Menurut saya, jangan hanya dilihat hanya hal negatifnya. Tapi sebagai budaya yang adiluhung," tukas Supriyadi Imam Supeno, yang juga Ketua Ikatan Keluarga Besar Ki Ronggo ini.
(abq/iwd)