Bondowoso ditetapkan sebagai keranggan atau kabupaten pada tanggal 17 Agustus tahun 1819 Masehi. Penentuan tanggal tersebut tidak serta-merta ditetapkan. Seperti apa kisahnya?
Penetapan tanggal 17 disebut tidak asal comot. Tapi berdasarkan hasil perenungan dan munajat yang dilakukan Ki Bagus Asra. Penetapam tanggal 17 itu juga memiliki makna tersendiri.
"Soal penetapan tanggal 17 itu dari kisah para sesepuh terdahulu yang disampaikan secara turun-temurun," papar salah seorang generasi ke-5 trah Ki Bagus Asra, Supriadi Imam Supeno, kepada detikJatim, Kamis (13/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disebutkan Supriadi, penentuan tanggal 17 itu memiliki beberapa makna filosofis. Yaitu berasal dari jumlah total rakaat salat lima waktu umat Islam. Selain itu, turunnya wahyu berupa Al-Qur'an setiap tanggal 17 Ramadan.
![]() |
"Jadi, angka 17 itu memiliki makna. Pun tirakatnya dilakukan di gumuk Karpote, yang sekarang jadi pesareannya. Dari cerita embah-embah dulu, konon sebelum meninggal Ki Bagus Asra sesudah berpesan agar dimakamkan di tempat klangenannya, yakni gumuk karpote itu," imbuh Supriyadi, yang juga Ketua Ikatan Keluarga Besar Ki Ronggo tersebut.
Tempat pesarean atau makam Ki Bagus Asra atau Ki Ronggo terletak di gumuk (bukit kecil) Karpote, Sekarputih, Tegalampel. Posisi makam Ki Ronggo terletak di lokasi tertinggi di banding makam lain yang ada di sekelilingnya. Berada di atas gumuk yang memiliki ketinggian sekitar 30 meteran.
Salah satu keunikannya yaitu anak tangga untuk menuju puncak gumuk atau pesarean Ki Ronggo dan kerabat dekatnya berjumlah 25 anak tangga.
Jumlah itu memiliki makna bahwa dilantiknya Ki Ronggo tepat pada tanggal 17 Agustus tahun 1819 Masehi bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1240 Hijriah.
"Jumlah anak tangga tersebut memang dibuat langsung oleh Ki Ronggo," kata Supriyadi.
Padahal, imbuhnya, 25 anak tangga tersebut dibuat jauh hari sebelum Ki Ronggo dilantik sebagai bupati pertama pada tanggal 25 Syawal tersebut.
"Beliau ini bertirakat dan bermunajat di gumuk itu sejak masa mudanya. Jauh sebelum diangkat menjadi bupati," ujar Supriyadi.
Selain itu, gumuk tempat pesarean Ki Ronggo juga dipercaya sebagai tempat bermunajat orang yang tak memiliki keturunan. Caranya dengan mendatangi tempat itu lalu memanjatkan doa agar segera diberi keturunan.
Entah kebetulan atau bagaimana. Tapi memang sudah banyak orang yang terkabul permintaannya untuk segera punya anak, setelah datang ke tempat tersebut.
"Sudah banyak kok, yang membuktikan dan terkabul," ujar Kiki Dermawan, salah seorang keturunan ke-6 Ki Bagus Asra.
Salah satu peninggalan Ki Ronggo yang hingga kini masih ada yakni sebuah blangkon atau udeng. Blangkon tersebut merupakan ikat kepala yang dikenakan Ki Ronggo saat acara-acara kebesaran.
"Blangkon peninggalan Ki Ronggo ini diwariskan kakek buyut saya secara turun temurun. Uniknya memiliki 17 lipatan," imbuhnya.
Menurutnya, sepintas memang tak ada kelebihan dari blangkon berbahan kain motif batik tersebut. Namun jika diperhatikan secara seksama, blangkon itu dibuat dari selembar kain tanpa sambungan.
"Pernah dibawa ke Jogja untuk dibuatkan replikanya. Ternyata tidak ada yang bisa. Kalaupun bisa, modelnya malah berubah," pungkas Supriyadi.
Blangkon model Ki Ronggo ini memang sempat diusulkan untuk dijadikan bagian dari pakaian khas daerah Bondowoso. Hanya saja hingga saat ini belum terwujud.
(sun/iwd)