10 Contoh Cerpen Tema Jenaka

10 Contoh Cerpen Tema Jenaka

Irma Budiarti - detikJatim
Rabu, 24 Jan 2024 15:08 WIB
Ilustrasi seseorang yang sedang tertawa saat membaca pesan singkat.
Ilustrasi tertawa membaca cerpen jenaka/Foto: Getty Images/iStockphoto/interstid
Surabaya -

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Cerpen adalah cerita fiksi yang sekali baca langsung selesai mulai dari pengenalan tokoh, konflik, hingga penyelesaian.

Cerpen terdiri dari 500-10.000 kata. Cerpen pendek hanya memiliki 500-700 kata dan cerpen sedang 700-1.000 kata. Cerpen panjang lebih dari 1.000 kata, bahkan ada yang panjangnya 5.000-10.000 kata.

Melansir Ruang Guru, cerpen seringkali mengangkat tema dari kehidupan sehari-hari. Namun, tokoh dan latar biasanya direkayasa untuk memperindah cerita dan membedakannya dengan cerita nyata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Struktur Cerpen:

Cerpen ditandai dengan jumlah karakter yang sedikit. Meski singkat, cerpen terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, latar, alur dan plot, serta sudut pandang. Sementara struktur cerpen sebagai berikut.

1. Orientasi

Bagian ini menunjukkan pengenalan para tokoh hingga hubungan antartokoh.

ADVERTISEMENT

2. Rangkaian Peristiwa

Cerita kemudian berlanjut pada serangkaian peristiwa satu ke peristiwa lain.

3. Komplikasi

Selanjutnya cerita menuju konflik atau puncak masalah, hingga pertentangan. Kesulitan-kesulitan para tokoh akan mempengaruhi latar waktu dan karakter.

4. Resolusi

Bagian ini cerita masuk pada solusi untuk masalah. Bisa dikatakan, tantangan telah mencapai hasilnya. Pada resolusi juga menyajikan akhir cerita.

Contoh Cerpen Jenaka

Cerpen bisa mengambil berbagai tema kehidupan. Cerita sedih hingga lucu juga bisa menjadi tema cerpen. Seperti cerpen jenaka yang menceritakan kisah lucu.

Jalan cerita cerpen jenaka mampu membuat pembacanya tergelitik. Berikut contoh cerpen lucu untuk dibaca atau sebagai referensi, dilansir dari HaiBunda.

Cerpen Jenaka #1

Judul: Teman yang Baik

Rina dan Dini dikenal sebagai sahabat baik yang populer di sekolah. Meskipun berbeda kelas, tapi mereka selalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Tidak ada yang meragukan eratnya persahabatan di antara mereka.

Meski berbeda karakter, tetap tidak menghalangi kedekatan mereka. Rina merupakan seorang siswi pendiam yang tidak akan populer jika tidak bersama Dini. Sedangkan Dini cenderung seperti seorang pembual yang hobi memamerkan barang-barang milik Rina.

Suatu hari pada sebuah acara pengundian hadiah, Rina terpilih menjadi salah satu pemenang. Ia datang bersama Dini. Di sana para pemenang diperbolehkan memilih sendiri hadiah berupa voucher belanja dengan berbagai nominal.

Dari lima pemenang terpilih, Rina mendapat giliran keempat untuk mengambil hadiah. Rina melihat pemenang yang akan mengambil hadiah setelahnya, yaitu seorang ibu berpakaian lusuh dengan keempat anaknya yang masih kecil. Ia kemudian melihat voucher yang tersisa.

Melihat nominal pada voucher yang tinggal dua pilihan, ia memilih voucher belanja dengan nominal paling rendah, kemudian berbalik dan tersenyum pada ibu dan empat anaknya. Hal ini membuat Dini terkejut dan menganggapnya bodoh.

Dini kemudian mencoba menguji Rina dengan uang yang ia bawa. Ia meminta Rina untuk mengambil salah satu uang yang ia sodorkan. Sedikit bingung, Rina mengambil uang dengan nominal paling rendah.

Keesokan harinya Dini bercerita kepada teman-temannya tentang kebodohan Rina. Untuk membuktikannya, Dini memanggil Rina ke hadapan teman-teman kelasnya.

"Hai, Rin, aku ada uang nganggur nih. Kamu pilih yang mana? Aku kasih buat kamu," Dini menyodorkan uang sejumlah Rp 10.000 dan Rp 20.000 kepada Rina.

Rina pun mengambil Rp 10.000 dari Dini. Dini dan teman-temannya tertawa dan mengatakan bahwa Rina bodoh. Peristiwa ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Beberapa teman Dini juga ikut-ikutan melakukan hal itu.

Rina tetap diam dipermalukan seperti itu. Dan setiap kali dipaksa untuk memilih, ia selalu bersikap tenang dan memilih uang dengan nominal yang paling rendah. Ia juga ikut tertawa ketika orang-orang menertawakannya.

Hingga suatu hari Dini memamerkan kebodohan Rina pada salah seorang kakak kelas terpopuler bernama Rifki di hadapan teman-teman kelasnya. Dini kembali menyodorkan uang, kali ini bernominal Rp 50.000 dan Rp 100.000 kepada Rina dan memintanya memilih.

Lagi-lagi Rina memilih uang dengan nominal terendah. Semua orang tertawa, menertawakan Rina yang hanya tertunduk, kecuali Rifki. Ia tertegun mengamati siapa sebenarnya yang sedang membodohi siapa.

"Lihat, Kak. Teman baikku yang satu ini unik kan?" kata Dini kembali mulai mempermalukan Rina.

"Ya, dia memang unik dan cerdas. Jika saja ia memilih uang dengan nominal tertinggi dari awal, maka kalian tidak akan mau bermain dengannya bukan? Cobalah kalian hitung berapa ratus ribu yang sudah kalian keluarkan cuma-cuma," kata Rifki.

Dia pintar, memilih bersabar untuk mengambil keuntungan lebih. Jadi, sebenarnya siapa yang sedang membodohi siapa?" lanjut Rifki tertawa.

Semua orang terdiam mendengar penjelasan dari Kak Rifki. Seketika mereka merasa telah melakukan hal bodoh yang sia-sia. Sedangkan, Rina tersenyum memandang Kak Rifki yang berbalik menertawakan Dini dan teman-temannya.

Pada akhirnya, bagi Rina teman yang baik itu selalu ada memberikan tambahan penghasilan tak terduga meski harus dibayar dengan kesabarannya. Tapi tidak apa-apa, setiap perbuatan pasti ada bayarannya dan perbuatan Dini dibayar dengan uang serta rasa malu.

Cerpen Jenaka #2

Judul: Es Krim dari Sampah

Sore itu, Pompom dan teman-teman bermain bola di taman. Mereka berlari, melompat, dan menangkap bola dengan lincah.

"Hosh... hosh... hosh... capek," Pompom membungkuk memegang lutut.

"Istirahat dulu, yuk!" ajak Ditdot sambil mengeluarkan botol minum.

"Ahhh, aku lupa membawa minum," erang Pompom.

"Minum punyaku saja," tawar Ditdot.

"Mhh... asyiknya kalau makan es krim," gumam Pompom sambil minum. Tapi uang Pompom sudah habis, ia hanya bisa membayangkan segarnya es krim.

"Kita main lagi, yuk!" Ditdot berdiri sambil menepuk Pompom.

"Ayo Pom, lempar bolanya! Hei, melamun, ya," tegur Moni.

Pompom terdiam. Pandangan matanya tertuju pada Pak Krebi yang mengorek-ngorek tong sampah.

"Kasihan Pak Krebi mencari makanan di sampah," kata Pompom,

"Pak Krebi sedang memilah sampah, kok," sahut Moni terbahak.

"Untuk apa?" tanya Pompom heran. Pompom segera menghampiri Pak Krebi.

"Hai Pak Krebi! Bapak sedang cari apa?" tanya Pompom.

"Oh, ini!" Pak Krebi mengacungkan botol bekas. Lalu ia memasukkannya ke kantong penuh botol dan kaleng bekas.

"Ini dapat dijual, lho!" Pak Krebi menjawab keheranan Pompom.

"Mahal ya?" tanya Pompom.

"Harganya sih tidak seberapa, tapi botol ini nanti bisa didaur ulang menjadi barang yang lebih berguna," jelas Pak Krebi.

"Selain itu, hitung-hitung untuk membersihkan taman dari sampah," mendengar penjelasan Pak Krebi, Pompom tertarik untuk ikut mencari botol. Pompom tergiur dengan uang hasil penjualan botol.

"Lumayan kan buat jajan es krim," pikir Pompom.

Pompop melonjak senang ketika menemukan kaleng di bawah pohon. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak botol dan kaleng. Dari kolong kursi hingga semak-semak, ada saja botol berserakan.

"Lumayan kan?" seru Pak Krebi.

Setelah botol dan kaleng terkumpul, Pak Krebi membawanya ke tukang loak. Di sana botol dan kaleng ditimbang lalu ditukar dengan uang.

"Ayo kita jajan es krim!" Pak Krebi mengacungkan uang yang diterimanya.

Keinginan Pompom tercapai, makan es krim!

"Lezatnya...," gumam Pompom.

"Padahal es krim kita ini dari sampah, hahaha," kata Pak Krebi terbahak-bahak.

Pompom tertawa gembira menikmati jajanan dari hasil usahanya sendiri. Esoknya, Pompom bertekad untuk mengumpulkan botol lebih banyak. Terbayang jumlah es krim yang bisa dibelinya.

Pompom mencari ke sana kemari, tapi ia tak menemukan satu pun. Pompom kemudian melihat Moni yang sedang duduk sambil membaca buku. Hei, di sebelah Moni ada botol minuman. Pompom melonjak senang.

"Moni, botol ini untukku saja ya." Pompom langsung meraih botol Moni.

"Eh botolnya masih kupakai. Lumayan bisa diisi lagi," tolak Moni. Moni dan Pompom bertengkar seru.

"Moni, botol minuman dalam kemasan hanya boleh dipakai sekali saja," untunglah Pak Krebi melerai mereka.

"Kenapa?" tanya Moni heran.

"Kan sayang kalau langsung dibuang. Aku bisa menggunakannya lagi."

"Karena berbahaya untuk kesehatan. Kalau ingin menggunakannya lagi, carilah yang seperti punyaku ini," Pak Krebi menunjukkan botolnya.

Akhirnya Moni mengerti. Ia menyerahkan botolnya kepada Pompom.

Pompom senang menerimanya. Ia melanjutkan mencari botol bekas. Rupanya hari ini taman bersih dari sampah. Pompom hanya mendapat sedikit botol bekas.

Ia pulang dengan langkah gontai. Pompom sangat lelah. Sesampainya di rumah, ia langsung membuka kulkas mencari minuman dingin.

"Aha!" gumam Pompom riang. Dilihatnya ada banyak botol minuman. Ia mengambil semua botol itu lalu membuang isinya ke wastafel. Untunglah Ibu segera muncul.

"Astaga Pompom! Kenapa semua isinya dibuang?" jerit Ibu.

"Aku sedang mengumpulkan botol bekas," jawab Pompom polos.

"Tapi itu bukan bekaaas." Ibu berkata dengan putus asa.

Pompom hanya tertunduk malu dan takut.

"Pompom mau beli es krim."

Mata Ibu membelalak lebar, tak mengerti apa hubungannya dengan es krim? Hanya Pompom yang tahu. Pompom kan ingin es krim dari sampah.

Cerpen Jenaka #3

Judul: Pencuri Level Tujuh

Pencuri itu menengok ke kanan dan kiri, selanjutya meloncati pagar yang lumayan tinggi. Perlahan didekatinya jendela, diambilnya obeng dan peralatan lain yang sudah dipersiapkan.

Kembali dia melihat ke kanan dan ke kiri, diam sebentar mengambil napas, kemudian bergegas membobol jendela. Dalam hitungan detik, jendela sudah bisa dimasuki. Pencuri memang sudah menjadi profesinya. Dia sangat menikmati pekerjaannya.

Menjelang hari raya, dia harus lebih hati-hati. Bukan hanya kepada penghuninya, tapi lebih kepada masyarakat sekitarnya. Dia lebih senang dan memilih mencuri di perumahan mewah karena tidak ada penjagaan dari warga. Mereka lebih mengandalkan satpam untuk menjaganya.

Sebagai pencuri dia tidak mau berkonspirasi dengan sesama pencuri. Sangat riskan dan berbahaya. Jika temannya tertangkap dia juga secara otomatis akan tertangkap atau paling tidak menjadi buron.

Oleh polisi, dia diklasifikasikan sebagai pencuri level ketiga, pencuri yang belum pernah tertangkap. Sepertinya polisi sudah punya daftar pencuri level pertama dan level kedua. Pencuri level pertama itu sebenarnya penjambret yang sering beroperasi di pasar atau tempat keramaian.

Sedangkan pencuri level kedua adalah pencuri yang mencegat korbannya di tempat sepi. Dia tidak mengetahui apakah masih ada level pencuri di atas level tiga. Kalau ada, dapat dipastikan pencuri tersebut jauh lebih hebat darinya.

Dari primbon Jawa yang dipelajari, dia menyakini malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon saat yang tepat untuk melancarkan aksinya. Dia pun tidak lupa selalu memanjatkan doa sebelum melakukan aksinya.

"Ya... Tuhan, mudahkanlah aku dalam melaksanakan pencurian, lindungilah aku, jangan sampai aku tertangkap, sebesar 2.5 % dari hasil yang aku peroleh akan aku sumbangkan kepada masjid atau yayasan yatim."

Sudah beberapa hari dia mengamati rumah yang akan dijadikan sasarannya. Rumahnya cukup mewah, berlantai dua, berada di kompleks perumahan yang penjaganya relatif sedikit.

Penghuninya hanya berdua, lelaki yang sudah lanjut usia di atas 70 tahunan dan wanita muda yang umurnya jauh di bawahnya. Dia kurang tahu apakah wanita itu istrinya, selingkuhannya, atau anaknya.

Malam itu, penghuninya hanya lelaki itu sendiri, wanita muda yang biasa menemaninya pergi bersama lelaki muda dengan mengendarai mobil berkelas yang biasa diparkir di depan rumahnya. Kamar di lantai dua terlihat redup, artinya lelaki yang ada di kamar sudah berada di tempat tidur.

Tidak terlalu sulit dia masuk rumahnya melalui jendela yang sudah dibuka. Ditutupnya kembali jendela. Pada lantai satu, dilihatnya barang-barang, ada TV yang cukup besar, mungkin ukurannya 70-79 inch. Jam berdiri dengan tinggi sekitar 2 meter yang dilindungi kayu jati dan perabot rumah tangga lainnya.

Dia tidak tertarik untuk mengambilnya. Barang-barangnya terlalu besar. Memang dia hanya berniat mengambil barang-barang kecil tapi cukup berharga. Apakah jam tangan, cincin, emas, uang atau yang lainnya. Pokoknya yang mudah dibawa.

Dia yakin barang-barang berharga berada di lantai 2, di kamar penghuninya. Perlahan dia menuju lantai 2. Dirabanya pistol yang berada di jaketnya. Dia melihat kamar setengah terbuka. Perlahan, pintunya didorong. Dilihatnya seorang laki-laki terbaring di atas ranjang.

Di atas meja terserak barang-barang HP, laptop, uang kertas, arloji, asbak dengan puntung rokok, obat-obatan, cemilan, secangkir kopi yang tinggal separuh. Dia menuju lemari yang tidak jauh darinya dengan tetap memperhatikan lelaki yang berbaring.

Tiba-tiba lelaki di ranjang mengerang dan membuka mata. Tangan kanannya menyelinap ke bawah bantal, sepertinya akan mengambil sesuatu.

"Jangan bergerak," ujarnya. Saat mengucapkan intonasinya sangat tenang seperti orang sedang berbicara. Pistol kaliber 38mm diarahkan kepada lelaki itu.

"Angkat tangan!"

Lelaki itu bangun dan duduk di ranjang serta mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.

"Angkat tangan dua-duanya."

Lelaki itu masih tetap mengangkat satu tangan kanannya.

"Saya hitung sampai tiga kali, satu, dua, tiga. Cepat! Sekarang!"

"Saya tak bisa mengangkat tangan yang sebelah kiri." Jawabnya.

"Kenapa?"

"Bahu sebelah kiri saya rematik, mendekati lumpuh."

Beberapa saat, pencuri berdiri diam, memindahkan pistol ke lengan sebelah kiri.

"Aduh." Pencuri teriak dan meringis menahan sakit.

Laki-laki itu menatap wajah pencuri. Antara percaya atau tidak, wajah pencuri itu memperlihatkan wajah kesakitan ketika memindahkan pistolnya.

"Kalau kau mau mencuri, kenapa tidak langsung saja? Ambil yang kamu mau. Aku tidak mungkin melawanmu. Pistolku sudah kamu ambil, lagi pula aku sudah terlalu tua untuk berkelahi."

Pencuri itu melirik laci. Dia menatap laki-laki di ranjangnya. Tiba-tiba dia meringis kembali menahan sakit.

"Kita sepertinya senasib."

"Tangan kiriku juga rematik. Penyakit itu sudah akrab denganku sejak lama," kata pencuri melanjutkan.

Pencuri itu menyeret kursi yang tidak jauh darinya dan duduk berhadapan dengan laki-laki. Duduk tidak terlalu dekat, laras pistol tetap diarahkan kepadanya.

"Siapa pun akan langsung menembakmu saat engkau tidak mengangkat kedua tanganmu. Kecuali aku, tentu saja."

"Sudah simpan saja pistolmu. Aku tidak mungkin melawanmu."

Pencuri menyimpan pistolnya dan pistol milik lelaki di depannya ke dalam saku jaket bagian dalam.

"Sudah berapa lama penyakitmu?" tanyanya lelaki tua.

"Empat tahun. Sampai sekarang masih sakit. Sekali rematik, seumur hidup tetap rematik. Setidaknya itu yang aku yakini."

"Benar. Kau benar sekali."

"Baiklah, karena kita satu nasib, niatku untuk mencuri aku batalkan."

"Terima kasih. Bagaimana kalau malam ini kita ngobrol sambil ngopi."

Pencuri itu mengangguk. Lelaki tua itu, mengambil dua cangkir dan diisinya dengan kopi dari termos yang memang sudah tersedia.

"Ngomong-ngomong sudah berapa lama menjadi pencuri?"

"Sudah hampir lima tahun."

"Apakah pernah tertangkap?"

"Belum, belum pernah. Mudah-mudahan jangan sampai tertangkap. Kalau tertangkap saya pilih tertangkap polisi, ketimbang tertangkap oleh masyarakat."

"Apakah engkau menikmati sebagai pencuri?"

"Ya.., saya menikmati. Sepertinya mencuri itu sudah menjadi panggilan. Paling tidak dalam satu bulan sekali aku pasti mencuri. Apakah malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon."

"Sampai ada perhitungan waktu kala mencuri?"

"Ya, betul. Aku baca primbon Jawa. Bahkan aku membaca mantra segala."

"Terus, uang yang kamu peroleh untuk apa?"

"Ya untuk keluarga. Apalagi mendekati hari raya, anak-anak pengin baju baru, istri pengin pakai gelang emas dan keperluan lainnya. Oh ya..., 2.5% hasil pencurian yang aku peroleh aku sumbangkan ke masjid atau anak yatim."

"Woow, masih ingat masjid dan anak yatim segala."

"Seandainya kamu lagi apes, ketangkap masyarakat, pasti dipukuli beramai-ramai. Bisa-bisa kamu tinggal nama saja. Bagaimana dengan anak istrimu? Coba pikirkan pekerjaan lainnya."

"Iya... sih. Sampai sekarang belum terpikirkan."

"Kamu sudah tahu ada berapa level pencuri?"

"Setahu saya hanya ada tiga, dan saya termasuk level yang ketiga, pencuri yang belum pernah ketangkap polisi."

"Wooow hebat."

"Tapi, menurutku, suatu saat pencuri itu bisa saja tertangkap polisi dan masyarakat. Bukankah ada pepatah yang mengatakan sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali jatuh juga. Betul tidak? Kecuali?"

"Kecuali apa?"

"Kecuali dilakukan oleh pencuri level tujuh, pencuri level tertinggi."

"Wooow, baru tahu."

"Boleh saya tahu siapa pencuri level tujuh?"

"Cukup banyak atau malahan sangat banyak pencuri level tujuh. Salah satu di antaranya aku sendiri."

Pencuri itu menatap laki-laki di hadapannya. Antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin lelaki rapuh dengan usia di atas 70 tahunan mengaku sebagai pencuri level 7. Untuk jalan saja sudah mengalami kesulitan.

"Pasti kamu tidak percaya, bagaimana mungkin lelaki seperti aku bisa menjadi pencuri level tujuh."

"Kamu tahu siapa yang membangun stadion olahraga terbesar di kota ini? Kamu tahu siapa yang membangun mal terbesar di kota ini? Berapa biayanya?"
Pencuri itu menggelengkan kepalanya.

"Tentu saja yang proyek itu pejabat bisa kepala daerah apakah bupati, walikota, gubernur atau pejabat lainnya."

Ditatapnya wajah pencuri sebelum melanjutkan ceritanya.

"Bagaimana memperoleh proyeknya? Berapa banyak fee yang harus diberikan kepada pejabat dan penegak hukum?"

"Saya tidak mungkin tertangkap penegak hukum. Yang penting bagaimana saya harus pandai-pandai membagi proyek kepada para pejabat dan penegak hukum."

"Maksudnya untuk memperoleh proyek-proyek harus memberikan upeti kepada pejabat pemerintah dan penegak hukum?"

"Ya... memang harus begitu."

"Jadi para pejabat tersebut pencuri level tujuh?"

"Ya..., begitulah."

Pencuri itu duduk termangu. Tidak terpikirkan olehnya kalau lelaki yang duduk yang dihadapannya pencuri level tujuh. Lelaki tua yang sudah rapuh namun dapat mengendalikan pejabat dan para penegak hukum.

Lelaki itu mengambil semua uang yang ada di laci. Dilihatnya pencuri itu masih duduk terpekur.

"Ambillah."

"Sekarang pulanglah. Uangku ada di berbagai bank tidak terhitung jumlahnya. Jangan lupa sumbangkan ke masjid atau anak yatim seperti yang engkau janjikan."

"Bulan depan, jangan sungkan datang lagi, nanti akan saya ajak jalan-jalan melihat property yang saya miliki di berbagai daerah."

Dia juga baru tahu kalau cukup banyak bupati, wali kota, gubernur, dan pejabat pemerintah yang menjadi pencuri level tujuh seperti halnya lelaki tua.

Pencuri itu pulang dengan kepala tertunduk. Ada rasa gundah di hati. Pencuri level tiga yang dibanggakan ternyata bukan apa-apa. Dia bertekad menjadi pencuri level tujuh, berguru kepada lelaki tua itu.

Cerpen Jenaka #4

Judul: Kala Lapar Tengah Malam

Angin pendingin ruangan berembus kencang, sontak kutarik erat-erat selimut, bersembunyi di baliknya, menggeliat menggigil. Baterai ponselku menyisakan segaris merah dengan cahaya rendah, nyaris mati. Suasana gelap ini seakan menjadi pendorong bagi lambungku 'tuk bergejolak, berisik.

"Tak bisakah kau diam? Jangan lupa kita telah bertambah 2 kilo minggu ini,"

"Kau kebanyakan minum minuman berkalori, bodoh. Kau bahkan hanya makan sekali. Lainnya? Penuh minuman, dari es buah sampai kopi, dari teh sampai sirup. Pantas saja kau semakin mirip dengan babi,"

"Alamak lambung, lalu apa yang ingin kau makan?"

"Semangkuk mi instan cukup, ya nyonya,"

"Cari mati! Mama bisa terbangun bahkan dengan langkah kaki, apalagi bunyi nyala kompor,"

"Tidak ada lauk selain ayam geprek tadi, kalaupun ada, nasi yang tidak ada, hanya ada nasi keras hasil sahur, sudah basi mungkin. Mama juga tidak menyetok roti tawar selama Ramadhan, apalagi yang bisa kau makan selain mi instan?"

"Sudahlah, sedikit lagi sahur, tunggu saja,"

"Memangnya kau bisa bangun? Kau tidur seperti kerbau atau apalah itu,"

"Salahkan saja otak, dia terlalu malas gerak,"

Yang disebut merasa terpanggil.

"Apa maksudmu? Bukannya kaulah yang seenaknya mengganti jadwal tidur setiap hari, begadang sampai hampir hilang akal. Padahal, berdasarkan informasi yang kusimpan, dari sederet YouTuber diet yang kau pernah tonton, begadang dan tidak sahur itu juga berpotensi menambah nafsu makan, tahu!"

"Apa kubilang! Ini semua salahmu! Berikan aku mi instan!"

"Aku lelah menjadi budakmu! Aku mau tidur!" Si pengendali kian kontra, menyangkal.

"Tapi, aku belum makan! Aku lapar!"

Si pembuat masalah dengan tebal muka ikut bersorak rusuh.

"Hentikan, kalian berdua!" Sahut dua suara tiba tiba, kompak.

"Majikan butuh minum! Aku kesulitan bekerja tahu! Berikan aku segelas air! Susah sekali mencerna minuman berkalori,"

"Ginjal, tolong jangan terlibat! Airnya tiris, tadi galon juga kosong. Satu satunya sumber air ada di kamar Mama! Yang ada aku-" Bodoh! Otak dan Lambung sudah cukup riuh dan rewel di sini, dua kembar ini... Malah ikut-ikutan saja! Kujual tahu rasa!

"Ah! Masa bodoh! Aku butuh air, bukankah begitu kerongkongan?" Mencari pembelaan, cih.

"Betul! Aku sangat kering dan perih, aku butuh air.."

Lima organ bodoh ini layaknya orang yang berdemo rusuh. Ingin rasanya aku semprot mereka dengan gas air mata. Kelima organ, sama sama menyebalkan. Dasar lemah.

"Aku butuh air!"

"Mi instan!"

"Ayolah tidur! Aku lelah!"

Perdebatan itu berputar-putar saja dengan kelima organ yang juga itu-itu saja.

"Aku lelah mengetik cerita kalian semua," tangan dan kesepuluh tangan kanannya mengeluh.

"Sudahlah, tangan. Aku juga pegal karena pendingin ruangannya tidak mengotak sama sekali, aku bertaruh kutub utara kalah dingin! Kau, sih, masih mending!"

Kaki dengan 10 anak buahnya tak kalah mengadu nasib. Ia hanya sibuk mencari spot hangat dalam selimut dan tumpukan bantal.

"Untung saja tugasku hanya bernapas," si kembar paru sibuk menukarkan oksigen dan karbondioksida. Pertengkaran ini seperti hiburan di seling pekerjaan mereka yang tidak pernah berhenti. Ah, kala lapar tengah malam.

Cerpen Jenaka #5

Judul: Horee.. Masuk TV!

Halo, namaku Sharon. Aku murid kelas 6 di SD Talenta. Aku punya kakak perempuan yang bernama Sherlina. Dia sekarang kelas 11 di SMA Talenta. Kami sekeluarga tinggal di Kota Bandung.

Suatu hari sepulang sekolah kakak memberitahu bahwa di sekolahnya akan ada acara "Pesta Sahabat Kodomo", yaitu acara panggung hiburan yang disiarkan salah satu siaran TV nasional.

Dengan sangat bersemangat dia bilang, "Aku akan ikut tampil di TV."

Ibu bertanya, "Memangnya kamu mau menampilkan apa?"

Tapi Kakak hanya menjawab, "Rahasia. Ibu nonton saja nanti. Aku akan memberi surprise."

Sore hari waktu ayah pulang dari kantor, kakak menyampaikan hal yang sama. Waktu ayah bertanya, kakak pun memberi jawab yang sama. Kami sekeluarga menjadi penasaran.

"Dance ya kak?" tanyaku.

"Bukan" jawabnya

"Vokal grup?" tanyaku lagi semakin penasaran.

"Ah, pokoknya nanti aja nonton acaranya di TV. Aku nggak mau kasih tahu kamu," jawabnya lagi sambil masuk ke kamarnya.

Kami bertiga hanya terbingung-bingung melihat tingkah kakak. Hari acara semakin dekat. Kakak masih saja tidak mau memberi tahu apa yang akan ditampilkannya di acara TV nanti.

Tapi kami sudah tidak banyak bertanya lagi karena setiap ditanya dia selalu memberi jawaban yang sama. Benar-benar membuat kami semakin penasaran

Hari H acara tiba. Hari itu sekolahnya diliburkan. Sayangnya, acara katanya tidak disiarkan secara langsung tapi akan disiarkan minggu depannya. Sehingga terpaksa kami masih harus memendam rasa penasaran.

Acaranya sendiri akan berlangsung siang hari. Sejak pagi kakak sudah mulai dandan. Dia berangkat ke sekolah mengenakan kaus dan celana panjang jeans terbaiknya. Aku dan ibu hanya memperhatikan saja tingkah kakak.

Acara berlangsung di sekolah hingga sore hari. Sepulangnya dari sekolah wajahnya terlihat sangat gembira. Tapi dia tetap tidak mau membocorkan tentang apa yang ditampilkannya pada acara tersebut.

Seminggu kemudian, pukul 4 sore semua keluarga sudah berkumpul di ruang keluarga untuk menonton acara tersebut. Ayahku sampai sengaja cuti dari kantor demi menonton kakakku muncul di acara ini.

Acara pun dimulai. Pengisi acara tampil bergantian. Ada yang menyanyi, ada yang menari, dan sebagainya. Kami sama-sama menonton sambil menunggu kemunculan Kakakku.

Tiba-tiba kakak berseru, "Siap-siap sebentar lagi aku akan muncul!"

Kami semua menatap ke layar TV. Kemudian kakakku berseru lagi, "Itu-itu, aku di pojok sebelah kanan!"

Kami bertiga bengong. Memang ada kakak di sana, tapi bukan di atas panggung melainkan duduk di kursi penonton di baris paling depan. Dia tersorot kamera sekitar 3 detik.

Ibu langsung menyela, "Hanya ini yang ingin kamu tunjukkan kepada kami? Kami sudah menghabiskan waktu untuk menonton ini."

Ayah pun menimpali, "Kamu ini ada-ada saja. Ayah sampai cuti dari kantor untuk melihatmu tampil di TV."

Kakak pun menjawab dengan wajah cemberut, "Tetapi kapan lagi kan bisa masuk tv seperti ini. Ini momen yang menyenangkan". Kami semua tertawa terbahak-bahak.

"Kalau hanya seperti ini mending ayah kerja saja mencari uang daripada menonton kamu di acara ini," kata Ayah sambil tertawa. Tetapi Kakak tidak menghiraukan itu dan tetap senang dirinya bisa muncul di siaran TV tersebut. Walaupun hanya 3 detik.

Cerpen Jenaka #6

Judul: Bumi Perkemahan

Malam di musim penghujan hari ini lumayan dingin. Bau tanah yang disebabkan gerimis beberapa menit yang lalu masih tercium. Malam ini adalah malam terakhir sebelum menyanyikan lagu perpisahan.

"Woi nasi matang itu gimana bentuknya?"

"Lihat dulu, kalau sudah kayak nasi berarti udah matang," timpal cowok di belakang yang tengah sibuk membenarkan tenda.

"Walaupun nggak dimasak tampangnya udah kayak nasi dodol!!" teriaknya diakhiri dengan umpatan.

"Kalo belum dimasak namanya beras bukan nasi," jawabnya lagi menghindari kekalahan. Kini ia sudah selesai membereskan tenda. Cowok yang kerap kali dipanggil Dopid itu tengkurap dengan kepala menyembul keluar tenda.

"Udah udah, berantem mulu. Nanti dimakcomblangin sama dedemit baru tahu rasa kalian," Ulma melerai dan segera menggantikan posisi Geina di depan tungku.

"Ini udah matang Na, kamu ambil telor sama wadah dulu. Aku mau pindahin nasinya," lanjutnya yang dibalas dengan anggukan.

"Oke adik-adik waktu makan kakak beri waktu 20 menit. Mohon pergunakan waktu kalian dengan baik. Jam sembilan nanti harus sudah berada di sini untuk acara pentas seniet. Selah itu istirahat untuk upacara perpisahan besok. Mengerti?" teriak kakak pembina yang berada di tengah tanah lapang.

Pukul 20.55, kakak pembina yang berada di tengah tanah lapang mulai menyerukan peluit dengan lantang, memberi aba-aba untuk segera berkumpul di sana. Beberapa kelompok sudah berjalan dengan properti pentas mereka, tapi sebagian besar masih berusaha menolong nasi yang tampak sayang jika tak dihabiskan.

"Woi daun pisangnya mau jatuh itu," semarak Aska dengan teman se-sanggarnya setelah melihat tata busana kelompok sebelah yang memakai daun pisang kering.

Tak lupa Dopid yang tak bisa mengedipkan matanya setelah dilewati cewek idaman seantero sekolah. Malam mendung hari ini dihiasi tawa yang semakin membahana setelah kelompok 3 menampilkan pentas dagelan.

"Fiuhh akhirnya bisa tidur juga," Kkelegaan Geina setelah selesai acara pentas seni hanya berlangsung dua menit.

Tiba-tiba dari tenda sebelah terdengar suara melengking khas cewek yang telat puber. Akibat kejanggalan itu, semua yang sudah berada di dalam tenda keluar.

Geina dengan tampang jengkelnya itu hanya mengintip dari sela-sela tenda. Ia melihat semua siswa bergerombol di tenda yang berjarak tiga meter dari tendanya. Dengan rasa penasaran Geina memaksakan kakinya untuk melangkah menuju ke sana.

Baru dua langkah dari tenda, Geina mendapati si Dopid menyembul keluar dari gerumbulan tersebut. Dengan ekspresi seperti dikejar harimau, Dopid berlari dan menjerit.

"Woi lari woii, ada ular piton woiii. PITONN!!" jerit si Dopid.

Tak berselang lama banyak siswa yang mengikuti tingkah si Dopid. Semua berhamburan meninggalkan gerumbulan dengan berbagai jeritan khas kaum hawa. Hanya tersisa kakak Pembina yang mencoba masuk ke dalam tenda dengan menggenggam alat khusus.

Geina mengurungkan niatnya, ia memilih menemui temannya Ulma dan memakan cemilan yang belum sempat ia makan. 30 menit berlalu. Suasana sudah kembali normal karena ular kayu yang disangka Dopid ular piton itu sudah tertangkap dan dilepaskan ke tempat yang lumayan jauh. Beruntung tidak ada yang terkena gigitan.

Pengecualian untuk Aska yang jumpalitan akibat ulat yang baru saja merambat ke lehernya. Dengan tampang sok jagoannya, ia tertantang untuk menelusuri hutan di belakang tenda sendirian.

Tak berlangsung lama Aska kembali dengan berbagai umpatan yang menyertai setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Semua teman tendanya tak menghiraukan jeritan kesengsaraan Aska. Mereka melanjutkan tidur seolah tak terjadi apa-apa.

Cerpen Jenaka #7

Pagi itu seperti biasa, si jupri membawa galon-galon air isi ulang yang telah diisi penuh, berkeliling kompleks dengan menunggangi motor roda tiganya. Satu per satu toko kelontong yang ia titipi air isi ulang ia tukarkan galon kosongnya dengan galon yang sudah terisi penuh. Hingga tak lama berselang ia berbalik arah, pulang dengan membawa galon kosong.

Ketika ia sampai di depo isi ulang miliknya, sang istri yakni Susan Susinta yang galak luar biasa telah siap mengisi lagi galon-galon kosong itu dengan air isi ulang miliknya. Karena lelah, sejenak jupri duduk di sofa depan sembari mengambil sebuah puntung rokok yang ujungnya berwarna hitam, pertanda dimatikan paksa.

"Eeeh... Ayo?? Mau merokok lagi ya kamu?" seketika tangan jupri melepas rokok bekas hisapan di jarinya. Pria berkacamata itupun nyengir.

"Eh.. Ti tidak beb, ini tadi mau kubuang di tempat sampah," jawab jupri sembari memegang belakang kepalanya.

"Awas ya!! Kalau merokok lagi, nggak aku kasih nanti malam.." ancam perempuan bertubuh besar itu sambil melotot ke arah sang suami. Jupri yang masih mengelus-elus rambut belah tengahnya pun nyengir.

Malam itu adalah malam Jumat Kliwon. Sampai jam 12 malam Jupri belum juga tidur. Tatapannya kosong menatap ke depan sambil sesekali dilihatnya sang istri yang tertidur pulas di sampingnya. Digoyang-goyangkannya tubuh subur sang istri.

"Ooh.. Udah pulas dia," ucapnya lirih.

Jupri pun dengan pelan turun dari ranjangnya. Dengan langkah pelan ia berjalan ke arah kursi rias di kamarnya. Diambilnya sebatang rokok dari bawah meja rias, dengan wajah kegirangan ditatapnya tajam satu batang rokok di jarinya.

"Aha... Rokoknya masih ada.." ucapnya lirih. Sejurus kemudian di sulutnya rokok yang sudah menempel di bibirnya.

Di tengah asyiknya Jupri mengisap rokok sambil menunduk ke bawah. Tiba-tiba ia merasakan suatu keanehan.

"Kok kayak ada orang di belakang," gumamnya.

Sejurus kemudian diarahkan kepalanya ke belakang kursi rias. Alangkah terkejutnya dia tatkala melihat tubuh besar sang istri sudah berdiri tegap di belakangnya.

"Ayooo.. Bandel ya kamu..??" bentak sang istri sembari menjewer telinga Jupri. Kepala Jupri pun tertarik ke atas.

"Atah.. Atah.. Ampun beb.. Ampun.." Sang istri menarik tubuh Jupri ke belakang dan melemparkannya kembali ke tempat tidur.

"Sekali lagi aku lihat kamu merokok, aku pulangkan kembali kamu ke orang tuamu," ancam sang istri dengan nada tinggi.

"Ammmpun beeb.." Jupri pun merintih sambil memohon-mohon pada sang istri.

Pagi itu kembali Jupri mengantarkan air galon berkeliling kompleks. Tiba-tiba Jupri memberhentikan motornya di bawah pohon palem di taman kompleks.

"Kalau merokok di sini kayaknya aman, jauh dari gajah Way Kambas itu," ucapnya.

Tak lama kemudian di tengah keasyikan Jupri sedang merokok, tiba-tiba suara nada dering handphone berbunyi. Diambilnya handphone dari saku celananya. Alangkah terkejutnya Jupri setelah melihat layar handphone. Ternyata sang istri tercinta yang sedang menelepon.

"Ha.. Halo beb.." sapanya dengan terbata-bata.

"He... Kamu ya?? Sekarang kamu kembali ke depo, terus kamu kemasi pakaianmu. Dan kamu pulang ke rumah orang tuamu..." suara lantang sang istri dari dalam handphone memekakkan telinga Jupri. Sontak jupri pun terkejut.

"Lho?? Kenapa lagi sayaaang??" tanyanya bingung.

"Kamu nggak usah mengelak... Kamu sekarang merokok kan???"

"Ka.. Ka.. Kata siapa??" dengan nada terbata-bata Jupri bertanya pada sang istri.

"Udahh.. Nggak usah banyak cing cong.. Cepetan ke depo..." pinta sang istri.

"I.. I.. Ya..." Jupri pun menyanggupi permintaan sang istri.

Sesampainya di depo isi ulang, sang istri dengan sigap menyambut kedatangan Jupri dengan membawa pentungan dari kayu balok. Melihat kondisi itu, Jupri langsung putar balik kembali ke jalan raya karena takut dipukuli sang istri secara membabi buta. Dengan motor roda tiganya yang berisi galon air isi ulang, Jupri melaju kencang menyusuri jalanan kota.

Setengah jam kemudian, Jupri telah sampai di rumahnya di desa. Kini jupri bisa tenang. Karena tidak ada yang melarangnya merokok lagi. Saking girangnya Jupri, untuk merayakan kebebasannya Jupri langsung membeli 5 slop rokok filter.

Tepat 10 hari, Jupri merayakan pesta rokok, tiba-tiba dada Jupri terasa sesak. Sejurus kemudian Jupri ambruk di kursi warung ketika sedang ngopi di warung. Warga yang mengetahui hal itu, langsung melarikan Jupri ke puskesmas dengan membawa motor roda tiga milik Jupri.

Namun sayang seribu sayang, di tengah perjalanan ke puskesmas nyawa Jupri tak tertolong. Ia mengembuskan napas terakhirnya di atas gerobak motor roda tiga hasil warisan dari mertuanya. Setelah diperiksa bu bidan, ternyata Jupri terkena serangan jantung.

Cerpen Jenaka #8

Judul: Sepi Sendiri

Semakin beranjak dewasa, sunyi adalah teman terbaik yang selalu menemani hari-hariku. Entah sampai kapan kesunyian ini berakhir. Apa aku punya kesempatan untuk menikmati hidup kembali? Atau aku rasa aku hanya belum bisa menyadari apa yang membuatku bahagia.

Aku mulai khawatir perihal karier dan jodohku. Saat teman-temanku sudah berkeluarga dan memiliki karier yang bagus, aku di sini masih memikirkan jumlah semut yang ada di rumahku. Haha konyol sekali bukan. Semut saja mempunyai banyak teman, sedangkan aku hanya sendirian. Sungguh menyedihkan.

Mengenai jodoh pun aku bingung bagaimana kami akan bertemu. Apakah di sebuah pesta? Lalu, sepatuku tidak sengaja terlepas satu dan dia datang untuk mengembalikan sepatuku, lalu kami saling cinta dan menikah. Kami pun hidup bahagia. Tamat. Oh tidak semudah itu kawan-kawanku.

Walaupun di masa sekarang gampang mencari jodoh hanya bermodalkan HP. Tapi, di dunia tipu-tipu ini kita harus banyak waspada ya. Masih banyak orang-orang menyalahgunakan sosial media untuk kesenangan pribadinya saja.

Ada yang foto profilnya berseragam tentara, eh ternyata hanya pengangguran yang ingin memanfaatkan uang kamu. Ada juga yang sang*an, selalu minta pap yang aneh-aneh, kamu dimanfaatkan hanya untuk memuaskan hawa nafsunya saja, jangan terbodohi yaa, itu bukan cinta.

Ada yang hanya memanfaatkan perasaanmu, chat setiap hari, selalu dikasih perhatian, tapi kalau dia bosan langsung pergi gitu saja. Huft. Ya begitulah dunia. Seakan-akan sendiri itu lebih baik.

Sampai aku berpikir, apa fungsinya aku di dunia ini? Aku dilahirkan di dunia hanya untuk pajangan kah? Tak seorang pun yang tahu keberadaanku, aku sedang apa. Lagi sibuk apa? Kabarku bagaimana? Tidak seorang pun yang peduli.

Bahkan, sampai orang tuaku saja tidak peduli aku mendapat juara 1 lomba makan krupuk saat 17 Agustus kemarin. Hehe, jangan serius-serius gitu dong bacanya. Biar nggak tegang aja ya, sudah jomblo tapi banyak pikiran.

Aku mulai mencari apa tujuan hidupku di dunia. Apakah aku ingin uang yang berlimpah? Jalan-jalan ke luar negeri? Mempunyai rumah dilapisi emas? Menjadi super hero? Mempunyai pasangan yang penyayang?

Atau mengejar pendidikan sampai bergelar profesor? Aku terus merenung apa sebenarnya tujuanku ada di dunia. Sampai akhirnya aku menemukan titik terang dari keresahanku mengenai rasa sepiku ini, yaitu tidur.

Cerpen Jenaka #9

Judul: Xixixi

Apa? Kenapa kalian ketawa? Gara-gara judul cerita? Yap. Judul cerita ini memang sengaja dibuat begitu supaya para pembaca baik yang lagi gundah gulana maupun yang sedang nggak gimana-gimana semuanya auto tertawa.

Nggak boleh ada duka di zona saya. Adanya cuma bahagia seperti waktu gajian. Walaupun besoknya dah habis buat bayar cicilan. Nggak papa, tinggal kerja lagi aja. Hidup itu mudah bukan? Bukan!

Tapi ngomong-ngomong, apa sih "xixixi" ini? Yak betul sekali pemirsa. Xixixi adalah ketawanya bapack-bapack penghuni lapak biru (baca: fesbuk). Bukan lapak biru tempat gibah atau tempat booking tiket itu ya guys ya, bukan.

Di antara penghuninya ada Pak Somad, Pak Agus, Pak Rahmat, Pak Eko, dan bapack-bapack lokal yang lainnya. Jarang tuh, ada Pak Richard, Pak Peter, atau Pak Daniel. Mereka lagi sibuk meeting sama klien penting.

Juga jarang ada Koh Aliong atau Koh Anming. Soalnya mereka lagi sibuk ngurus bisnis. Ya bisnis toko sembako, toko obat herbal, toko jam, pokoknya semua jenis pertokoan.

"Cuci motor dulu pack, biar kinclong. Xixixi." Begitulah status Pak Umar pagi ini. Meskipun orangnya belum mandi, yang penting motor sudah ready. Dan tentunya tak ketinggalan xixixi.

Xixixi ini bacanya gimana dah? Apakah semacam sisisi atau zizizi? Kalau bacanya saja sudah bingung dan susah, apalagi menyuarakannya. Coba kalian baca keras-keras xixixi. Gimana suara yang keluar? Secara tidak langsung kalian sudah seperti bapack-bapack.

Lagian, mau aja disuruh-suruh. Emang enak dikerjain penulis? Haha. Kalau nggak terima langsung aja ke rumah. Jangan lupa bawa kopi sama gula.

"Habis nganter istri ke pasar. Xixixi." Tulis Pak Jayadi pada grup "Menjadi Bapack-Bapack Indonesia Part 1" segera setelah sampai depan rumah dan buru-buru nyetandarin motor Honda Revo kesayangan. Tak lupa dilampiri foto selfie lengkap masih pakai helm Suzuki dan jaket Yamaha.

"Loh, Pak? Ibuk mana?"

"He?"

Sayurannya dibawa, istrinya lupa. Siap-siap bapak tidur di luar, xixixi.

Yang bikin penulis kepikiran, kalau bapack-bapack punya ciri khas ketawanya sendiri, lalu bagaimana dengan emak-emak? Bagaimana cara emak-emak menuangkan ketawanya dalam tulisan?

Selama ini penulis belum pernah lihat. Apakah ciri khas emak-emak hanya terletak pada omelannya saja? Atau memang penulis yang kurang menaruh perhatian. Kalian ada yang tahu nggak? Kalau tahu komen ya gaes ya.

Kalau nggak tahu ya tetap komen, biar rame xixixi. Setidaknya kalian ninggal sandal di kolom komentar. Nggak, maksudnya ninggal jejak bahwa kalian pernah ada di dunia.

Nggak lagi, yang bener adalah ninggal jejak kalo kalian pernah mampir di tulisan saya. Biar ada bekasnya seperti kenangan masa lalumu itu, lho. Xixixi-nya jangan lupa.

Pada akhirnya, penulis cuma mau tanya, bapak kalian gitu juga nggak? Kalo ngelihat HP jaraknya jauh banget (tangan sampai lurus), matanya sambil nyipit, font size-nya big, screen brightness full secerah masa depan penulis. Terus angle foto profilnya dari bawah, no senyum-senyum club, kumis tegang. Satu frame abis cuma buat wajah semua.

Ini bukan tentang durhaka karena ngomongin orang tua. Tapi memang data dan fakta di lapangan berbicara. Dan siapa yang membuat standar sehingga hampir semua bisa sama rata?

Ini adalah suatu budaya yang tercipta secara nggak sengaja! Ini adalah suatu peristiwa yang alamiah di lingkungan sekitar kita. Ya nggak papa, justru menambah keunikan tersendiri dalam bersosial media.

Kalau anak-anak saja bisa buat tren fashion week dan challenge-challenge tertentu seperti fenomena di BNI City atau TikTok itu, kini saatnya bapak-bapak untuk maju. Udah ah, capek ketawa. Bye, xixixi.

Cerpen Jenaka #10

Judul: Aku dan Jin Milenial

Senja yang memunculkan tanya, di sinilah aku yang sedang berjalan di tengah keramaian yang terasa hening di taman buana (bualan belaka), seraya tangan kiriku memijit kepalaku yang lelah, karena kepala berkecamuk tentang acara keluarga yang akan diselenggarakan di rumah.

Sementara aku tidak bisa memasak dengan waktu sesingkat ini. Andaikan aku memiliki robot kucing seperti Doraemon, pastinya keluhanku akan terjawab.

BRUKKK... Aku terguling-guling sampai 10, 15 meter, karena tersandung kendi berwarna emas.

"Uaaanjinngg!" pekikku kesal, seketika mataku terbelalak karena kendi itu bisa mengeluarkan asap seperti motor yang pakai oli kotor dan ring piston yang telah berumur.

"Kendi kok keluar asap, atau jangan-jangan kendi ini lagi merokok?" tanyaku dengan diri sendiri.

Selang beberapa detik, betapa kagetnya aku, sampai-sampai tersungkur tujuh kali, dan kakiku tidak kuat menopang tubuhku, karena asap dari kendi itu muncul Jin seperti iklan rok*k.

"Aaannnjjjuuuuaaayyyyyy!" kataku terperangah tidak percaya dengan apa yang indra mataku lihat.

"Aku akan mengabulkan kamu satu permintaan!" tantangnya.

"A-aku," kataku terbata masih tidak percaya. "A-aku mau makanan yang bisa langsung disajikan untuk acara keluarga nanti malam."

Jin itu tertawa terbahak-bahak. "Aku saja belum makan," balasnya dengan memelas masih dengan sisa ketawa.

"Hoalaaa... Om Jin belum makan?" tanyaku yang tidak tega melihatnya membuatku semakin bingung. Makanan untuk acara keluarga nanti malam belum ada sudah ditambah lagi masalah, ketemu dengan Jin yang kelaparan.

"Tapi, Tenang saja. Om Jin ada solusinya," kata om jin dengan raut wajah percaya diri, dengan sebelah tangan merogoh saku celananya dan mengambil ponsel.

"Bagaimana?" tanyaku yang mengerutkan dahi.

Om Jin melihatkan layar ponselnya ke padaku dan membuka FB pempek batang sangir.

"Cukup lewat inbok atau tinggal telepon ke pempek batang sangir. Di sana hanya Rp 5 ribu satu porsi, dan bisa memesan buanyaaaakkkkk.... Kamu juga bisa memesan kerupuk pekring, bukankah ini cocok banget untuk acaramu nanti malam," jelas om Jin.

5 jam berlalu...

Acara keluarga pun terselesaikan karena aku memesan di pempek batang sangir, tidak lupa om Jin pun tidak hanya ikut di acara keluargaku dia juga kekenyangan karena menikmati enaknya pempek batang sangir dan kerupuk pekring.




(irb/sun)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads